Sempat Terkendala Isu Keamanan-Korupsi, Pembangunan ”BTS 4G” di Papua Dilanjutkan
Dengan adanya isu keamanan, proses pembangunan dan pemeliharaan menara pemancar di Papua bisa bekerja sama dengan Polri.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menargetkan pembangunan menara pemancar berteknologi akses seluler 4G di 512 titik di Papua, yang pembangunannya menjadi tanggung jawab Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi, selesai Juni 2024. Pembangunan menara pemancar sebanyak itu sempat terkendala faktor keamanan di Papua.
”Kami tetap diminta menyelesaikan pembangunan karena anggaran sudah turun. Wilayah Papua harus terpapar sinyal internet. Saat ini kami tengah berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk mengetahui perkembangan keamanan di sana,” ujar Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Fadhilah Mathar saat sesi Ngopi Bareng Kominfo, Jumat (8/3/2024) petang, di Jakarta.
Sebanyak 12.548 desa di Indonesia belum menikmati layanan jaringan 4G. Sebanyak 9.113 desa di antaranya berada di wilayah daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Berdasarkan data Kemenkominfo, 12.548 desa di Indonesia belum menikmati layanan jaringan 4G. Sebanyak 9.113 desa di antaranya berada di wilayah daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) yang pembangunan infrastruktur pemancar 4G-nya menjadi tanggung jawab Bakti Kemenkominfo. Sementara 3.435 desa sisanya jadi tanggung jawab operator telekomunikasi seluler.
Dari 9.113 desa tanggung jawab Bakti, 4.200 desa menjadi prioritas. Perencanaan pembangunan terjadi pada 2020. Implementasi pembangunan menara pemancar berteknologi akses seluler 4G di 4.200 desa itu dibagi menjadi lima paket yang dikerjakan oleh Bakti pada 2021 dan 2022.
Tersandung korupsi
Pembangunan proyek menara pemancar tersebut tersandung kasus korupsi yang sekarang proses penegakan hukumnya masih berlanjut. Meski demikian, Kemenkominfo memutuskan tetap melanjutkan pembangunan.
Kementerian bahkan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Base Transceiver Station(BTS) 4G Bakti. Dari jumlah 4.200, tersisa 630 titik belum selesai dibangun dan berlokasi di wilayah pegunungan Papua.
”Dari 630 titik, di 118 titik sudah terbangun menara pemancar 4G dan saat ini statusnya sudah menyala. Jadi, masih ada 512 titik lagi yang harus kami tuntaskan sesuai arahan pemerintah, yaitu Juni 2024 sudah beroperasi,” kata Fadhilah.
Lebih jauh Fadhilah melanjutkan, Bakti Kemenkominfo mengutamakan keselamatan tim yang akan membangun. Pemerintah daerah harus menjamin lokasi sasaran pembangunan aman. Bakti Kemenkominfo tidak bisa memaksakan pembangunan jika tidak ada jaminan keamanan.
”Segala peralatan untuk 512 titik sudah berada di lokasi. Tinggal dibangun, tetapi ada ancaman keamanan jiwa. Situasinya sama seperti saat pembangunan jaringan tulang punggung Palapa Ring, ada delapan orang anggota tim meninggal,” tuturnya.
Fadhilah menambahkan, jika belum ada jaminan keamanan, ada kemungkinan Bakti Kemenkominfo menggeser ke titik lokasi yang lebih aman. Tujuannya agar layanan internet bagi masyarakat di Papua segera tergelar.
Minimal 3G
Kepala Perwakilan Ombudsman Provinsi Papua Yohanes Babtis Jaka Rusmanta saat dihubungi, Sabtu (9/3/2024), dari Jakarta mengatakan, layanan internet amat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan komunikasi di ibu kota-ibu kota kabupaten dan distrik dengan penduduk cukup banyak. Layanan internet yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat di Papua minimal adalah satelit telekomunikasi.
”Walaupun adanya 3G, itu sudah bisa memenuhi minimal permintaan. Kegiatan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi serba membutuhkan internet,” katanya.
Jaka berpendapat, dengan adanya isu keamanan, proses pembangunan menara pemancar di Papua bisa bekerja sama dengan Polri. Pemeliharaan juga dapat melibatkan Primer Koperasi Kepolisian (Primkopol).
Dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung, Mohammad Ridwan Effendi, mengatakan, satelit Satria-1 bisa menjadi solusi sementara untuk mencukupi hak penduduk Papua mengakses internet. Namun, secara teknis, distribusi layanan internet lewat satelit tidak lebih baik dari melalui jaringan kabel telekomunikasi.
”Satelit orbit rendah yang ada sebaiknya tidak dijadikan media akses langsung pelanggan karena berbahaya bagi kedaulatan siber dan kedaulatan negara. Indonesia tidak bisa mengontrol gateway-nya,” ujarnya.
Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi Jerry Mangasas Swandy memandang, bentuk geografis Indonesia yang berupa kepulauan memiliki tantangan tersendiri dalam hal pembangunan infrastruktur jaringan tetap telekomunikasi (fixed broadband). Beberapa wilayah di Indonesia juga masih berhadapan dengan tantangan keamanan.
Oleh karena itu, jika swasta dilibatkan dalam percepatan penggelaran fixed broadband sampai merata ke seluruh daerah, pemerintah perlu memberikan insentif. Misalnya, swasta tidak dikenai iuran dana kewajiban pelayanan umum atau universal service obligation (USO) khusus membangun infrastruktur di daerah yang tidak menguntungkan.