Terampil AI, Karyawan Berpeluang Terima Gaji 36-53 Persen Lebih Tinggi
Selama lima tahun ke depan, 98 persen perusahaan di Indonesia akan memakai teknologi AI generatif.
Oleh
AGNES THEODORA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kemampuan memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan (AI) dapat mendongkrak gaji dan membuka peluang karier luas. Namun, di tengah permintaan yang kian tinggi, sampai saat ini Indonesia masih defisit talenta yang cakap menggunakan AI. Pekerja umumnya masih sulit mengakses program pelatihan AI karena tidak tahu dan tidak mampu secara finansial.
Kondisi itu tergambar dalam hasil riset Amazon Web Services (AWS) dengan Access Partnership bertajuk”Accelerating AI Skills: Preparing the Asia Pacific Workforce for Jobs of the Future” yang dirilis pada Maret 2024. Penelitian itu menyurvei 1.670 karyawan dan 525 perusahaan di seluruh Indonesia.
Riset itu menunjukkan, kebutuhan akan pekerja yang cakap memanfaatkan AI semakin tinggi di kawasan Asia-Pasifik, termasuk Indonesia. Dalam waktu lima tahun ke depan, 98 persen perusahaan teknologi dan nonteknologi di Indonesia diperkirakan bakal memakai teknologi AI generatif (generative AI tools) untuk meningkatkan produktivitas dan efektivitas kerja.
Director of Economics Strategy Access Partnership, Abhineet Kaul, dalam paparannya di Jakarta, Kamis (7/3/2024) mengatakan, kecakapan menggunakan teknologi AI generatif bisa meningkatkan gaji pekerja Indonesia hingga 36-53 persen dan memajukan karier mereka. Bukan hanya di bidang teknologi informasi (TI), tetapi juga di profesi dan industri tradisional.
”Pengusaha di Indonesia bersedia membayar 36 persen sampai 53 persen persen lebih tinggi untuk mempekerjakan karyawan yang cakap menggunakan AI. Persentasenya berbeda-beda tergantung sektor dan jenis profesinya,” kata Abhineet.
Dongkrak produktivitas
Sebagai contoh, karyawan yang cakap menggunakan AI di bidang hukum berpotensi naik gaji hingga 36 persen. Di bidang penjualan dan pemasaran, berpotensi naik 49 persen. Sementara di bidang TI, berpotensi mengalami kenaikan gaji paling tinggi, yakni 53 persen.
Head of Training and Certification ASEAN di AWS Emmanuel Pillai mengatakan, AI diharapkan mampu mendongkrak produktivitas dan efektivitas dalam bekerja sehingga perusahaan tidak ragu meningkatkan gaji karyawan yang terampil memanfaatkannya.
Indonesia masih defisit talenta cakap AI. Kebutuhan dan permintaan akan pekerja yang cakap AI semakin tinggi.
Di sisi lain, saat ini Indonesia terhitung masih defisit talenta cakap AI. Kebutuhan dan permintaan akan pekerja cakap AI semakin tinggi. Sementara jumlahnya masih sangat terbatas di Indonesia. Merekrut pekerja cakap AI telah menjadi prioritas bagi 96 perusahaan di Indonesia. Namun, 69 persen masih kesulitan mencari talenta yang dibutuhkan di dalam negeri.
Ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan di pasar kerja cakap AI itu membuat seseorang yang memiliki talenta AI berpeluang lebih tinggi untuk mendapat tawaran gaji lebih besar. ”Ini masalah yang masih banyak ditemukan di negara-negara berkembang. Ada demand yang tinggi, tetapi supply kurang,” ujar Emmanuel.
Lintas generasi
Kesadaran angkatan kerja Indonesia untuk mengembangkan keahlian AI sebenarnya sudah tinggi. Riset menunjukkan, 96 persen pekerja menempatkan AI sebagai lima keterampilan teratas yang ingin mereka kembangkan dalam lima tahun ke depan. Mereka umumnya berencana menggunakan AI secara moderat, atau 20-30 persen dari pekerjaannya.
Ini menunjukkan keinginan pekerja untuk meningkatkan keterampilannya, bukan hanya karena dorongan dari perusahaan, tetapi untuk menaikkan produktivitas kerja dan memajukan karier.
Minat mengembangkan keahlian AI pun bisa ditemukan di segala kelompok generasi, termasuk baby boomers. Generasi yang paling sadar mendalami AI adalah generasi milenial (98 persen), generasi Z (97 persen), dan generasi X (93 persen). Minat generasi baby boomers juga terhitung tinggi, yaitu 75 persen.
CEO RevoU, Matteo Sutto, cukup terkejut dengan animo pekerja dan perusahaan untuk mengakses program pelatihan yang disediakan organisasinya. ”Demandtumbuh sangat signifikan. AI semakin mainstream di Indonesia. Bahkan, permintaan datang dari industri yang tidak kami kira-kira, seperti hospitality, sektor tradisional yang non-tech,” kata Matteo.
Program dan akses
Sayangnya, ujar Abhineet, ketersediaan program pelatihan AI yang memadai dan terjangkau bagi pekerja di Indonesia masih sedikit. Sebanyak 67 persen perusahaan tidak tahu cara membuat program pelatihan AI yang tepat untuk karyawannya.
Sementara, 54 persen pekerja Indonesia tidak tahu cara mengakses program pelatihan AI. Sebanyak 59 persen tidak mampu secara finansial untuk mengikuti program pelatihan yang tersedia.
”Di dunia yang semakin dikepung AI, masih ada tantangan besar yang harus dihadapi oleh pekerja dan perusahaan Indonesia. Mempersempit gap keterampilan ini sangat kritis jika Indonesia ingin meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan kerjanya,” katanya.
Perusahaan perlu didorong untuk lebih berani berinvestasi dan mengeluarkan biaya untuk peningkatan keterampilan karyawannya.
Matteo mengatakan, perusahaan perlu didorong untuk lebih berani berinvestasi dan mengeluarkan biaya untuk peningkatan keterampilan karyawannya. Selain itu, peran pemerintah juga penting untuk memberi insentif dan menyediakan program pelatihan yang lebih terjangkau bagi pekerja kebanyakan.
”Bisa ada inisiatif subsidi dari pemerintah lewat kerja sama dengan organisasi swasta untuk menyediakan program pelatihan yang biayanya lebih murah dan bisa diakses seluruh masyarakat, dari level SMA, mahasiswa, pekerja, sampai penganggur yang sedang upskilling,” kata Matteo.