Membangun Bisnis ”Event Organizer” Bisa dengan ”Modal Dengkul”
Modal utama memulai bisnis ”event organizer” pertama-tama bukan dana, melainkan dengkul. Apa maksudnya?
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
Setelah jungkir balik berupaya bertahan hidup dari badai pandemi Covid-19, bisnis event organizer(EO) alias penyelenggara kegiatan kini perlahan mulai kembali menemukan tajinya. Ini seiring dengan tidak berlakunya lagi pembatasan aktivitas masyarakat.
Antusiasme khalayak terhadap sejumlah gelaran konser musik ataupun ragam festival dalam beberapa waktu terakhir sangat tinggi. Indikatornya adalah semua tiket pertunjukan ludes terjual hanya dalam hitungan jam, bahkan menit. Setiap perhelatan di ruang publik juga selalu disesaki penonton atau peserta.
Modal utama yang menjadi prioritas dalam membangun bisnis EO adalah jaringan kerja atau ’networking’.
Di balik berbagai kegiatan itu, selalu ada peran EO yang pada dasarnya bertugas menyelenggarakan acara. EO mengurusi semua aspek yang terkait dengan acara, mulai dari perencanaan, pengorganisasian, hingga pelaksanaan. Melihat gemerlap dan semarak hasil kerja EO, timbul kesan bahwa untuk membangun bisnis ini dibutuhkan modal finansial yang besar.
Namun, Yan Sapto Arief, founder dari Step Up Indonesia, perusahaan jasa yang bergerak di bidang event support system (sistem pendukung acara), tak sepenuhnya sepakat dengan anggapan itu. Bagi dia, modal utama yang menjadi prioritas dalam membangun bisnis EO adalah jaringan kerja atau networking.
”Dengan networking yang baik, kita bisa dapatkan sumber daya manusia yang kompeten, vendor tepercaya, dan calon klien. Ketiga aspek tersebut sebenarnya menjadi modal yang lebih penting daripada modal finansial,” ujarnya saat berbincang dengan Kompas di Jakarta, Kamis (7/3/2024).
Bahkan, dari sudut pandang yang lebih ekstrem, saat sudah punya modal sumber daya manusia, jaringan vendor, dan klien dengan proyek yang sudah disepakati, modal finansial tak lagi dibutuhkan untuk membangun sebuah bisnis EO.
Kultur masyarakat Indonesia yang gemar merayakan pencapaian sekecil apa pun merupakan ceruk pasar jasa EO di Indonesia yang akan selalu ada.
CEO sekaligus founder Step Up Indonesia, Edwardo Wattiheluw, menuturkan, keputusannya membangun perusahaan EO bersama Arief tak datang sekonyong-konyong. Kultur masyarakat Indonesia yang gemar merayakan pencapaian sekecil apa pun merupakan ceruk pasar jasa EO di Indonesia yang akan selalu ada.
Pria yang akrab disapa Edo ini sebelumnya sudah bertahun-tahun berkecimpung di dunia manajemen artis dan musisi. Sementara Arief sudah sejak 2015 nyemplung di bidang event.
Bermodal jaringan yang mereka miliki, Edo dan Arief memutuskan untuk menjadikan Step Up Indonesia sebagai usaha berbadan hukum pada 2021, saat pemerintah menerapkan pembatasan kegiatan masyarakat akibat pandemi Covid-19.
Upaya meresmikan Step Up Indonesia sebagai badan hukum dilakukan beriringan dengan upaya penjajakan terhadap salah satu perusahaan telekomunikasi dalam negeri sebagai calon klien pertama. Adapun proyek yang digodok adalah relaunching sekaligus konferensi pers sebuah aplikasi secara daring.
Kesepakatan pun terjalin antara kedua belah pihak. Singkat kata, acara berlangsung sukses. Ongkos produksi kala itu sudah terpenuhi dari klien. Margin yang didapat dari proyek pertama ini digunakan untuk biaya operasional perusahaan.
”Kunci dari keberlanjutan proyek EO adalah selalu memberikan layanan terbaik ke klien. Wajib hukumnya bagi EO untuk memelihara klien dengan jasa dan servis terbaik yang dimiliki. Klien yang puas, baik dari sisi harga maupun kinerja, pastinya akan terus merekomendasikan jasa dari EO,” ujar Edo.
Kini, setelah tiga tahun berselang, Step Up Indonesia sudah mengerjakan proyek dari sedikitnya 30 klien. Perusahaan juga punya 10 karyawan tetap di bidang kreatif, sales, admin, hingga keuangan. Selebihnya, terdapat puluhan pekerja lepas untuk tim show management serta dokumentasi.
Namun, Arief mengingatkan, meskipun peluangnya besar, menjalankan bisnis EO memerlukan kemampuan membaca situasi. Di awal berdirinya EO, sasaran klien juga akan menentukan apakah perusahaan membutuhkan modal finansial atau tidak.
Kemampuan komunikasi
Membangun bisnis tanpa modal rupanya juga berlaku untuk penyelenggara kegiatan pernikahan (wedding organizer). Deean, pendiri sekaligus Captain of Luzie Wedding, salah satu wedding organizer yang berbasis di Kota Padang, Sumatera Barat, mulai membangun brand-nya pada Januari 2015 tanpa modal finansial. Adapun klien pertama baru didapat enam bulan berselang.
”Modal utama dari bisnis ini adalah networking dan kemampuan komunikasi untuk dapat meyakinkan calon klien untuk menggunakan jasa,” katanya.
Selain untuk memersuasi calon klien, menurut Deean, kemampuan komunikasi yang baik juga diperlukan dalam mengelola hubungan dengan para vendor. Dalam lini bisnis ini, hubungan dengan vendor penyedia berbagai aspek dalam pesta pernikahan, mulai dari dekorasi, suvenir, undangan, make-up, kostum, hingga dokumentasi, sangatlah krusial untuk layanan jasa.
”Seiring berjalannya waktu, pasti ada saja vendor yang up and down. Di sinilah diperlukan komunikasi agar kualitas setiap vendor terjaga. Tapi, kalau ada vendor yang secara performance sudah tak sebaik sebelumnya, kami tidak akan merekomendasikannya kepada klien,” lanjutnya.
Sampai saat ini, Luzie Wedding rata-rata menyelenggarakan 40 acara pernikahan per tahun. Profit yang didapat wedding organizer diambil dari biaya jasa yang sudah termasuk dalam daftar harga paket pernikahan yang ditawarkan kepada klien.
Deean mengingatkan kepada pihak yang berminat untuk memulai bisnis wedding organizer bahwa menjalani bisnis ini seperti lari maraton. ”Jadi, tidak masalah jika perkembangan bisnis lambat di awal memulai, yang penting determinasi bisa terjaga hingga garis finis,” ujarnya.
”Jangan pernah terburu-buru mengambil proyek dengan nilai besar, tetapi tak mampu pertahankan kualitas sehingga malah memperjelek portofolio,” kata Deean.