Ekonomi Kreatif, Sumber Pertumbuhan Baru untuk Indonesia Maju
Sukses kolaborasi Singapura dan Taylor Swift menjadi bukti dahsyatnya ekonomi kreatif. Bagaimana dengan Indonesia?
Gegap gempita dan gemerlap konser Taylor Swift selama enam hari di Singapura, 2-9 Maret 2023, baru saja lewat. Sekarang, pemerintah, penyelenggara, semua pemangku kepentingan terkait, dan berbagai elemen yang kecipratan manfaat barangkali sedang menghitung jumlah cuan masuk.
Dari perspektif ekonomi kreatif (ekraf), sukses kolaborasi berbagai pihak dan aspek dalam perhelatan itu menjadi bukti dahsyatnya kekuatan ekraf. Dalam penerimaan pariwisata saja, Singapura diperkirakan meraup 260 juta dollar AS hingga 375 juta dollar AS atau Rp 4 triliun hingga Rp 5,8 triliun.
Event itu juga bisa menjadi benchmark bagaimana seharusnya menggarap ekonomi kreatif. Ini tidak sebatas pada konser musik, tetapi untuk semua cabang ekraf.
Baca juga: Ekonomi Kreatif, Sektor Menjanjikan dengan Ragam Batu Sandungan
Pertanyaan paling relevan, bagaimana dengan Indonesia? Titik tolak yang barangkali bisa menjadi konsensus bersama sekaligus klise adalah bahwa ekraf Indonesia punya potensi besar, tetapi perkembangannya belum optimal.
Berbagai kajian menyimpulkan, peran ekraf vital sebagai sumber pendapatan, penyerapan tenaga kerja, dan efek pengganda luas dalam perekonomian suatu negara. Guna menggali apa yang faktual dan jalan ke depan bagi ekraf nasional, harian Kompas mewawancarai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno di Jakarta, Rabu (6/3/2024). Berikut petikannya.
Pelajaran dari kolaborasi antara Singapura dan Taylor Swift?
Sebelum di Singapura, Taylor Swift (TS) menghabiskan beberapa hari di Tokyo, Jepang. Saya sempat berbicara dengan Agensi Pariwisata Jepang atau Japan Tourism Agency.
Serupa dengan Australia, Jepang melakukan pendekatan public private partnership (PPP) atau kemitraan pemerintah dan swasta. Singapura juga bisa melaksanakan hal ini. Akhirnya, TS ini hanya hadir di tiga negara selama konser di kawasan.
”Swiftonomics” kini banyak dikaji akademisi dan analis. Salah satu ekonom menyampaikan, dari tiap konser TS di Singapura, 70 persen penonton berasal dari luar Singapura. Dana yang dihabiskan itu mulai dari 350 juta dollar AS hingga 500 juta dollar AS.
Baca juga: Sukses Monopoli Konser Taylor Swift, Singapura Berpeluang Panen Cuan
Konon kabarnya, rahasia ”dapur” mereka, (pemerintah) mendukung sekitar 15 juta dollar AS atau Rp 235,8 miliar (kurs Rp 15.723 per dollar AS). Maka, nominal ini sudah kembali dengan cepat berkali-kali lipat. Ini mereka menggunakan dana yang dialokasikan untuk pemulihan pascapandemi Covid-19.
Saya melihat ini menarik. Ada dampak politik diplomasi internasional di mana Perdana Menteri Thailand mengkritik. Saya justru menyampaikan bahwa ini sebuah langkah kemampuan yang harus kita miliki. Karena ini sebuah kombinasi kemampuan menghadirkan venue berskala internasional, menghadirkan kebijakan yang kondusif, dan dana pendamping yang tersedia.
Elaborasinya?
Makanya, kita harus mengembangkan infrastruktur, mempermudah perizinan, penyelenggaraan event. Kita harus kolaborasi dengan stakeholders, dan saya melihat ada beberapa hal yang bisa dipelajari.
Kedua, adanya peran negara. Ini tak bisa ditinggal. Pemerintah harus hadir, harus bisa mendampingi dalam konsep PPP.
Misalnya nanti Indonesia mendapat kesempatan menghadirkan the next TS, kita harus mampu menyediakan bukan hanya konser, hotel, produk-produk kuliner, dan suvenir.
Namun, kita harus cari produk-produk yang dijual dan unggul dari Indonesia sebagai adidaya seni dan budaya, ekonomi hijau. Kita harus mengambil peran yang lebih kuat lagi ke depannya.
Bagaimana situasi ekonomi kreatif Indonesia hari ini?
Belajar dari konser Coldplay kemarin, kami ingin mengadakan konser 2-3 hari. Namun, kemampuan promotor itu harus terfasilitasi dengan ketersediaan venue, dana pendampingan, dan sebagainya.
Nah, belajar dari sana, kami ingin mengajak kolaborasi karena venue yang paling siap untuk konser sebesar Coldplay saat ini hanya di Gelora Bung Karno, Jakarta. Kita harus berkolaborasi pada tingkat venue, infrastruktur, perizinan, pengamanan, serta menghadapi calo-calo (tiket) ini.
Kita juga harus memperbaiki transportasi publik, serta memberikan dana pendampingan dan insentif lain, yang diharapkan bisa dihadirkan dalam sebuah paket. Kita baru bicara musik, belum subsektor lainnya.
Meski demikian, orang Indonesia itu sebagai pelaku ekraf dikenal dunia dengan kemampuan berkreasi dan berinovasi. Jadi, itu ya sudah jadi core Indonesia. Saat ini, kontribusi sektor ekraf Indonesia terhadap PDB sudah masuk tiga besar dunia, setelah Amerika Serikat dan Korea Selatan.
Apa peluang dan tantangannya?
Indonesia dianugerahi keunggulan daya saing (competitive) dan perbandingan (comparative). Sebab, kita punya destinasinya. Kita punya alam, budaya, dan petualangan yang tak terbatas musim. Destinasi kita bisa dikunjungi sepanjang tahun.
Pemerintah bisa menitipkan lebih banyak peran ke depan untuk bisa menciptakan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi. Jadi, dari segi output, sektor pariwisata dan ekraf dapat memberi dampak ekonomi yang terbesar dari segi multiplier effect.
Baca juga: Sepi Dukungan, Promotor Musik Masih Hadapi Lorong Gelap Perizinan
Meski demikian, tantangan para pelaku ekraf muncul dari beragam subsektor. Ada sederet masalah yang dialami. Pembiayaan, misalnya. Ini belum tersentuh karena sektor ekraf belum memiliki akses pembiayaan ke perbankan dan nonperbankan. Selain itu, perlindungan dan pemanfaatan kekayaan intelektual rendah. Ini masih menjadi tantangan.
Perubahan teknologi yang sangat cepat. Terkadang, akses teknologi pada pelaku ekraf ini belum mendapat perhatian khusus. Ini menjadi peran pemerintah juga.
Selain itu, akses pelaku ekraf ke pasar internasional dan domestik. Selama ini, misalnya, ekspor (ekraf) Indonesia masih didominasi produk fashion. Padahal, kita punya 17 subsektor semuanya.
Saya berharap, tantangan ini akan berubah jadi peluang. Kita akan tumbuh cepat dalam dua tahun ke depan, berbasis kolaborasi dan gerakan-gerakan, seperti Bangga Buatan Indonesia yang mengapresiasi produk lokal.
Ada juga perkembangan teknologi digital sehingga memberi ruang dan peluang bagi pelaku ekraf mendapat tambahan penghasilan.
Perkembangan teknologi ini tentunya harus dikuatkan dengan sumber daya manusia (SDM) yang mahir. Investasi total pada SDM kita. Selain itu, butuh juga infrastruktur yang memadai, dan akses keuangan mumpuni.
Upaya ini perlu kolaborasi lintas sektor secara 360 derajat didukung kebijakan publik yang mendukung pemerintah mendatang.
Mimpi untuk ekonomi kreatif Indonesia?
Ekraf bisa menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru. Untuk mencapai Indonesia Emas 2045, kita harus identifikasi apa lokomotifnya. Tentu hilirisasi (tambang), industrialisasi itu yang terus akan kita lakukan.
Namun, ekonomi sirkular hijau dan ekonomi yang dilandasi digitalisasi ini akan berperan penting. Keduanya merupakan anugerah bagi Indonesia.
Kita bisa targetkan pertumbuhan ekraf sangat signifikan pada 2030. Malah ada seorang ekonom yang menargetkan pertumbuhan ekonomi tahunan (yoy) ekraf akan jauh di atas pertumbuhan ekonomi nasional.
Keberagaman dan inklusivitas sektor ekraf perlu terus didorong untuk dipromosikan dan dipasarkan sehingga para pelaku ekraf merasa bahwa pemerintah berpihak pada mereka.
Ada target terukur?
Target saya per hari ini, kontribusi ekraf terhadap PDB nasional kita sebesar 8 persen. Saya ingin dalam 15 tahun ke depan, kita bisa meningkat menjadi 12 persen. Sehingga dengan pariwisata yang angkanya (terhadap PDB nasional) 4-6 persen, dua sektor ini bisa menyumbangkan 15-20 persen PDB.
Untuk lapangan kerja, dalam periode yang sama, saya targetkan 50 juta-75 juta lapangan kerja berkualitas dari dua sektor unggulan ini. Kita sudah melihat nilai tambah ekraf per hari ini (sekitar) Rp 1.300 triliun. Namun, dalam 15 tahun ke depan, kita targetkan tiga kali lipat mencapai Rp 4.500 triliun.
Sekadar memberikan perspektif dari pernyataan di atas, berdasarkan Statistik Ekonomi Kreatif 2020 yang diterbitkan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), ekraf menyumbang Rp 1.153,4 triliun terhadap PDB pada 2019.
Nilai ekspornya mencapai 19,68 miliar dollar AS atau 11,9 persen dari total ekspor nasional. Adapun penyerapan tenaga kerjanya mencapai 19,2 juta orang atau 15,2 persen dari jumlah tenaga kerja nasional.
Ekraf tidak termasuk dalam 17 lapangan usaha yang secara statistik berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi sebagaimana ditetapkan Badan Pusat Statistik secara reguler. Memiliki 17 subcabang, ekonomi kreatif Indonesia menjadi bagian dari banyak lapangan usaha.
Bagaimana mencapai target-target tersebut?
Ekosistem ekraf kita harus dibenahi. Dari subsektor musik, misalnya, lokasi yang terintegrasi dengan transportasi umum dan akses masuk-keluar venue perlu menjadi perhatian. Selama ini, peminat konser banyak, tetapi tak sedikit pula yang mengeluh kesulitan akses. Ada pula komentar-komentar pemalsuan dan calo tiket.
Ini harus ada juga politik anggaran. Selama ini, sektor parekraf belum menjadi andalan untuk menggerakkan ekonomi kita. Politik anggaran masih terfokus pada sektor-sektor lainnya. Selama ini, saya menjalankan strategi dengan penuh kesadaran, kita anggarannya terbatas. Namun, dengan kolaborasi, kita bisa melakukan beberapa inovasi.
Baca juga: Industri Kreatif Indonesia, Bukan Singapura dan Gemerlap Taylor Swift
Kolaborasi antara pihak swasta, pemerintah, dan semua pelaku ekraf juga dibutuhkan. Sebagai pemerintah, kami terus mengadakan konferensi pers mingguan untuk mempromosikan berbagai kegiatan semacam ini.
Selain itu, kekayaan intelektual perlu difasilitasi, begitu pula dengan infrastruktur pendukung dan pembiayaannya. Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif.
Kita harus mencapai kesepakatan berkonsep di mana pihak swasta siap siaga, pemerintah memfasilitasi. Jadi, yang memimpin dari dunia usaha, pihak swasta. Sementara pemerintah hadir untuk memfasilitasi. Di sinilah sinergi dengan konsep Indonesia incorporated. Kita harus menggunakan kekuatan, keunggulan kompetitif dan komparatif yang dimiliki Indonesia.
Pemerintah sebagai fasilitator, konkretnya?
Kalau kita ingin ekraf menjadi lokomotif dan inklusif, tentunya kita perlu konsep money follow strategy, di mana sektor strategis sebagai prioritas pembangunan juga didukung anggaran. Langkah yang dapat diambil ini bermacam-macam.
Pemerintah berencana menerapkan dua model pendanaan. Pertama, dana pariwisata Indonesia atau Indonesia tourism fund (ITF) menjadi dana pendamping dari konser-konser atau acara besar lain. Awalnya sebesar Rp 2 triliun.
Baca juga: Pemerintah Siapkan Skema Bagi Hasil hingga Hibah untuk Promotor
Tahun depan, jika praktiknya berjalan baik, akan terus ditambah hingga di suatu titik pengelolaan akan berdasarkan pada dana yang sudah dikelola. Akhirnya akan berpola ke dana abadi.
Kedua, dana ekonomi kreatif atau creative economics fund untuk pembiayaan yang bisa memperkuat kontribusi ekraf. Ini, kan, devisanya sangat besar, sekitar Rp 1.300 triliun nilai tambahnya. Makanya, ekosistem harus kuat dan berkelanjutan. Itu harus diperkuat dalam PPP.
Baca juga: Penggunaan Dana Pariwisata Disorot
Polanya bisa berupa hibah, dana bergulir, dan co-investment. Dana-dana ini jangan hanya dibatasi untuk konser, tapi ditujukan ke subsektor ekraf lain selama berkaitan dengan kurasi yang telah dilakukan.
Selain itu, insentif pajak. Banyak pihak mengeluh, kita ingin tingkatkan tax ratio. Tapi, sebetulnya pajak ini harus bisa memberikan insentif pada pelaku ekraf yang notabene banyak ber-Standar Nasional Indonesia (SNI). Para UMKM ini bisa naik kelas, setelah besar (skalanya), tentunya mereka jadi penyumbang pajak yang besar.
Ada banyak pekerjaan rumah. Apa kunci pengungkit dari pihak pemerintah agar terjadi akselerasi ekraf yang inklusif dan berkelanjutan?
Pengalaman saya untuk membuat kebijakan berkelanjutan itu adalah pelibatan publik dan kolaborasi 360 derajat. Jadi, pemerintah akan berganti. Tapi, jangan ganti pemerintahan, ganti kebijakan.
Saya tinggal beberapa bulan lagi di Kemenparekraf. Saya sudah titipkan kepada tim penyiapan transisi ke menteri selanjutnya bahwa ekraf harus diarusutamakan, dibuat mainstream.
Harapannya, (rencana-rencana) agar tidak berganti lagi. Ini sesuatu yang sudah sangat baik, dikaji, dan didukung masyarakat. Jangan sampai tidak menjadi prioritas pemerintah ke depan.
Kami akan siapkan betul-betul secara detail. Sehingga apa yang akan kami serahkan ke pemerintahan baru tinggal melanjutkan hal-hal yang sudah dilakukan baik oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo dua periode ini.