Di tengah situasi ekonomi yang masih diselimuti ketidakpastian dan kenaikan harga sejumlah kebutuhan sehari-hari, kelas menengah bersiasat untuk bertahan dengan berhemat. Apa saja tips dan trik yang mereka lakukan untuk berhemat?
Akhir-akhir ini, hal yang paling berasa untuk saya adalah kenaikan harga bahan kebutuhan pokok. Makanan wajib saya, seperti telur, kayaknya dulu harganya Rp 20 ribuan per kilogram sudah dapat yang besar dan fresh atau telur premium. Sekarang, harganya jauh di atas itu. Belum lagi kebutuhan belanja mingguan dan bulanan. Selain itu, di bidang jasa, entah mengapa saya merasa harga ojek online sekarang jadi lebih mahal. Pun ada promo itu tidak signifikan sehingga mau enggak mau beralih ke kereta atau bus Transjakarta untuk mobilitas yang lebih jauh. Saya dipaksa untuk cari cara mengombinasikan commuter line dan kereta, misalnya.
Untuk menghemat, saya sebisa mungkin makan di rumah dan membawa bekal. Jika lapar lagi, saya lebih memilih makan di rumah makan atau warteg, bukan di mal. Pun harus memesan makanan online, saya jadi hitung-hitungan lebih detail saat mau memakai promo yang tersedia. Untuk keperluan gaya hidup lain pun, seringnya memantau dulu ada promo atau diskon atau tidak. Yang penting, prinsipnya, lihat dan hitung dulu. Untuk barang-barang di luar kebutuhan primer, jika harganya tak masuk akal, biasanya saya mengerem dulu.
Buat saya, kenaikan harga bahan kebutuhan pokok itu intinya membuat effort lebih untuk menghitung ulang. Bisa lewat memanfaatkan promo, diskon, lalu mikir kebutuhan transportasi yang terhemat, atau puasa lifestyle. Itu saya terapkan untuk jaga-jaga.
A Wisnu Triyogo (31), karyawan swasta, di Jakarta.
Saya berhemat dimulai dari hal-hal sederhana. Dalam konteks bekerja ke kantor, saya selalu membawa bekal sendiri. Tak hanya itu, upaya ini dinilai bisa menjaga asupan makanan sehat dan higienis yang masuk ke tubuhnya.
”Selain berhemat, ya lebih sehat. Kemudian, lebih tahu juga makanan yang aku suka sesuai seleraku. Bawa minum sendiri juga pakai tumblr,” ujarnya.
Dengan membawa bekal sendiri, Mona mampu menghemat Rp 300.000 hingga Rp 400.000 per bulannya. Hanya saja, konsistensi menyiapkan dan membuat bekal perlu terus dilakukan. Sekitar pukul 05.00, ia memulai masak sayur dan lauk yang harus sudah disiapkan sejak sehari sebelumnya. Apabila tak konsisten, belum tentu pekan depan kebiasaan membawa bekal dari rumah masih berlanjut.
Monavia Ayu Rizaty (28), jurnalis data, di Jakarta
Situasi ekonomi belakangan ini membuat saya harus memiliki sedikitnya dua pekerjaan. Pertama, sebagai penjual kerajinan rotan, kedua sebagai tutor bahasa Inggris. Saya bahkan pernah memiliki tiga pekerjaan. Memang, itu tidak mudah, tetapi saya harus mampu beradaptasi dan mau melakukan hal-hal yang bahkan ada di luar zona nyaman.
Novia (33), warga Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Inflasi harga bahan kebutuhan pokok yang semakin awur-awuran, ditambah adanya pos pengeluaran rutin baru, seperti biaya sekolah dan biaya les anak, memaksa saya untuk mengencangkan ikat pinggang dengan mengurangi pengeluaran. Beberapa tahun lalu, dalam sepekan sekali, saya dan keluarga rutin melakukan leisure activity, entah itu makan di restoran atau staycation di hotel yang bagus.
Sekarang, aktivitas leisure cuma kami lakukan sebulan sekali bahkan belum tentu dalam sebulan sekali. Saya juga selalu mencatat pengeluaran harian dan membaginya ke dalam beberapa pos anggaran agar semakin mawas dengan kondisi keuangan pribadi.