Subsidi Perikanan, Penyelesaian Sengketa, hingga Kenaikan Harga Netflix Jadi Bahasan WTO
Subsidi perikanan hingga moratorium bea masuk transmisi elektronik dibahas dalam KTM ke-13 WTO pada 26-29 Februari 2024.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
Pembahasan mengenai pembatasan subsidi perikanan dan isu ketahanan pangan berjalan alot dalam Konferensi Tingkat Menteri Ke-13 Organisasi Perdagangan Dunia. Penyegaran fungsi-fungsi organisasi ini, utamanya dalam penyelesaian sengketa, diperlukan di tengah kondisi perdagangan internasional yang penuh gejolak.
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengadakan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-13 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA), 26-29 Februari 2024. Pembukaan digelar pada Senin (26/2/2024) petang WIB. Adapun di hari kedua, Selasa, para menteri perdagangan dunia memasuki agenda pembahasan negosiasi terkait sektor perikanan dan pertanian.
Dilansir dari AFP, Selasa, pembicaraan tertutup akan berlangsung pada hari kedua konferensi tingkat menteri ke-13 WTO yang dijadwalkan berlangsung hingga Kamis (29/2/2024). Namun, agenda pembahasan bisa saja berlangsung molor dari waktu yang telah ditetapkan karena tak kunjung menemui konsensus di antara 163 negara anggota dan dua anggota baru, yakni Komoro dan Timor Leste.
Perjanjian soal pertanian akan sulit menemukan titik temu.
Kesepakatan penghapusan subsidi yang mendorong penangkapan ikan berlebihan (overfishing) dan mengancam keberlanjutan stok ikan belum mencapai konsensus pada KTM ke-12, Juni 2022. Implementasi kesepakatan subsidi perikanan (Fisheries Subsidies Agreement/FSA) baru dilakukan bila sudah diratifikasi oleh dua pertiga dari semua anggota WTO.
Perundingan sempat diwarnai kekhawatiran karena absennya Menteri Perdagangan dan Industri India Piyush Vedprakash Goyal. Meskipun begitu, Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iweala dan Ketua Konferensi yang juga Menteri Negara Perdagangan Luar Negeri UEA, Thani bin Ahmed al-Zeyoudi, meyakinkan forum bahwa menteri tersebut akan tiba sebelum perundingan berakhir.
Selain isu subsidi perikanan, isu pertanian yang berkaitan dengan program kepemilikan saham publik untuk tujuan ketahanan pangan menjadi tema perundingan pada agenda hari kedua konferensi tingkat menteri ke-13 WTO. Tujuan program tersebut antara lain menjaga stabilitas harga pangan dalam negeri, mengurangi paparan konsumen terhadap gejolak harga pangan, serta memperlancar distribusi pangan kepada kelompok rentan.
Dikutip dari AFP, Direktur Pertanian dan Komoditas WTO, Edwini Kessie, menilai bahwa perjanjian soal pertanian akan sulit menemukan titik temu. ”Jelas masalah yang paling sulit adalah kepemilikan saham publik. Ini tidak mudah,” ujarnya.
Kementerian Perdagangan RI yang menjadi delegasi Indonesia dalam KTM ke-13 WTO mendorong agar fungsi sistem penyelesaian sengketa dari organisasi ini dapat segera dipulihkan.
Penyelesaian sengketa
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan (Kemendag) Djatmiko Bris Witjaksono mengatakan, Indonesia yang merupakan pengguna aktif sistem penyelesaian sengketa sangat menyesalkan kondisi lumpuhnya Badan Banding WTO yang menguji kasus-kasus sengketa di tahap banding.
”Tujuan dari pertemuan ini adalah memastikan sistem perdagangan multilateral yang adil dan menjamin kepastian hukum. Untuk itu, Indonesia akan mendorong WTO untuk melakukan pemulihan secara penuh sistem penyelesaian sengketa sesuai mandat KTM sebelumnya, yaitu dilaksanakan pada 2024,” ujarnya
Agenda prioritas tersebut merupakan hasil koordinasi intensif serta masukan dari kementerian dan lembaga terkait. Sejumlah agenda prioritas antara lain terkait reformasi sistem penyelesaian sengketa, perundingan pertanian, subsidi perikanan, serta masa depan moratorium bea masuk atas transmisi elektronik (CDET).
Djatmiko menyampaikan, terkait isu pertanian, Indonesia bersama negara anggota G33, kelompok negara Afrika, Karibia, dan Pasifik, kelompok negara Afrika, serta negara-negara kurang berkembang mendorong adanya kesepakatan mengenai Pemilikan Saham Publik (PSH) untuk ketahanan pangan.
Mengenai isu subsidi perikanan, lanjut Djatmiko, Indonesia akan memperjuangkan di fase perundingan tahap ke-2 ini agar tercipta hasil kesepakatan yang seimbang dan efektif, khususnya terkait permasalahan yang belum terselesaikan, yakni over fishing over capacity (OFOC) serta perlakuan khusus dan berbeda (special and differential treatment/SDT) di pilar OFOC.
Moratorium transmisi elektronik
Delegasi Indonesia juga mendorong WTO untuk melanjutkan pembahasan mengenai program moratorium yang membebaskan aliran data dan tarif lintas batas sejak 1998. Moratorium transmisi elektronik WTO menyatakan bahwa negara anggota tidak boleh mengenakan bea masuk pada transmisi elektronik.
Anggota WTO menyetujui dan mengadopsi moratorium ini secara berkala sejak 1998 dan akan dipertimbangkan untuk kembali diperpanjang pada KTM ke-13 pada 26-29 Februari 2024.
Penghentian moratorium akan menyebabkan biaya berlangganan Netflix lebih mahal karena terdapat biaya bea masuk untuk layanan data dari luar negeri.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menjelaskan, adanya moratorium menyebabkan hingga saat ini perusahaan luar negeri penyedia layanan streaming musik, video, dan komputasi awan di Indonesia tidak dibebani tarif impor data untuk aktivitas layanan mereka.
Dari sisi pendapatan negara, kebijakan itu merugikan sejumlah negara, termasuk Indonesia, karena menghilangkan potensi pendapatan. ”Di sisi lain, tidak adanya bea masuk membuat harga layanan perusahaan digital dalam negeri yang memanfaatkan jasa perusahaan asing bisa ditekan,” ujarnya.
Secara lebih rinci, Nailul menjelaskan, harga berlangganan layanan streaming digital, seperti Netflix, Spotify, dan Vidio, saat ini tidak menghitung biaya impor jasa ”data” dari luar negeri. Penghentian moratorium akan menyebabkan biaya berlangganan Netflix lebih mahal karena terdapat biaya bea masuk untuk layanan data dari luar negeri.