Sisi Lain Maratua, Pulau Terpencil yang Menghadap Dua Negara
Distribusi bahan pokok dan ketersediaan kebutuhan energi masih menjadi kendala bagi masyarakat di wilayah 3T.
Jarum jam menunjukkan pukul 09.30 Wita. Sejumlah warga mulai mengisi kursi-kursi kosong yang telah tertata rapi di balai Kecamatan Maratua, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, Senin (26/2/2024).
Pandangan mereka seketika berpaling ke arah dua mikrobus Elf warna putih yang baru saja berhenti di pelataran balai tersebut. Tak lama, rombongan dalam dua kendaraan itu segera mengeluarkan barang bawaan dan menuju balai kecamatan.
Baca juga: Bela Negara Tanpa Senjata di Ujung Kalimantan
Rombongan tersebut terdiri dari Bank Indonesia, TNI Angkatan Laut, dan Baznas yang sedang menempuh Ekspedisi Rupiah Berdaulat (ERB) 2024 di wilayah terluar, terdepan, dan terpencil (3T).
Berti (64), warga Desa Teluk Harapan, Kecamatan Maratua, baru saja tiba. Salah seorang prajurit berseragam loreng abu-abu mengantarkan nenek yang telah memiliki tiga cucu tersebut ke depan meja kasir layanan penukaran uang di balai kecamatan.
Sesampainya di meja kasir, Berti segera merogoh tas yang disampirkannya di bahu. Diambilnya selembar demi selembar uang-uang lusuh dari dalamnya dan diletakkannya di atas meja.
”Uang ini bisa ditukar? Ada banyak ini uang macam ini, sebentar, ya,” kata Berti kepada petugas kasir sembari menunjukkan uang-uang yang telah ia kumpulkan.
Segera petugas kasir itu pun menghitung berapa jumlah nominal uang lusuh milik Berti dan menumpuknya di salah satu sudut. Uang-uang tersebut terdiri atas berbagai macam pecahan, mulai dari Rp 1.000, Rp 2.000, hingga Rp 50.000.
Secara keseluruhan, uang lusuh itu bernilai Rp 150.000. Petugas kasir pun segera mengambil beberapa pecahan uang layak edar tahun emisi 2022 dan memberikannya kepada Berti.
Sehari-hari berdagang bubur di kompleks taman kanak-kanak, tak jarang Berti menerima uang dalam kondisi lusuh. Wajar, anak-anak kerap menyimpan uang secara asal-asalan di dalam kantong.
Bahan pokok masih mahal karena kami di laut jauh, terutama beras.
Namun, kini dagangan tak seramai sebelumnya. Kenaikan harga beras telah memaksanya menaikkan harga bubur yang dijualnya. Kini harga beras medium telah menembus Rp 400.000 per 25 kilogram (kg) atau sekitar Rp 18.000 jika dijual per kg.
Padahal, rata-rata harga beras medium nasional per 26 Februari 2024 dibanderol senilai Rp 14.300 per kg. Menurut Berti, harga beras di Maratua biasanya sekitar Rp 17.000 per kg.
Sukanto (64) juga merasakan hal serupa. Harga bahan pokok, terutama beras, dirasakannya lebih tinggi ketimbang kebutuhan lain. ”Bahan pokok masih mahal karena kami di laut jauh, terutama beras,” imbuhnya.
Baca juga: Di Balik Pesona Bahari Pulau Derawan
Distribusi sulit
Maratua merupakan salah satu dari 31 gugus pulau di Kepulauan Derawan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Sebagai pulau 3T, Maratua terletak di Laut Sulawesi yang berbatasan dengan Sabah di Malaysia timur dan Filipina bagian selatan.
Apabila dilihat dari peta, Pulau Maratua berada di sisi selatan Kota Tarakan, Kalimantan Utara, yang memiliki ciri khas berbentuk huruf U. Di atas daratan seluas 384,36 kilometer persegi, terdapat hampir 5.000 jiwa atau sekitar 1.000 kepala keluarga.
Untuk sampai ke sana, hanya ada dua akses, yakni melalui jalur laut dengan perahu cepat (speedboat) dan melalui jalur udara dengan penerbangan perintis. Jika menggunakan perahu cepat, kira-kira dibutuhkan waktu 3,5 jam dari Tarakan, sekitar tiga jam dari Dermaga Sanggam, Kota Tanjung Redeb, serta satu jam perjalanan dari Tanjung Batu.
Perjalanan udara dapat ditempuh melalui empat titik penerbangan, yakni Bandar Udara (Bandara) Internasional Sultan Aji Muhammad Sulaiman, Balikpapan; Bandara Aji Pangeran Tumenggung Pranoto, Samarinda; Bandara Kalimarau, Berau; dan Bandara Juwata, Tarakan. Penerbangan tersebut hanya dilayani oleh maskapai Susi Air dengan jadwal di hari Selasa, Kamis, dan Sabtu dengan waktu tempuh paling lama 1,5 jam.
Maratua ini perlu ketahanan pangan lantaran pulau ini memiliki kultur tanah yang tidak memungkinkan untuk bercocok tanam. Jadi, bahan pangan pokok harus didatangkan dari Berau, Tarakan, ataupun Sulawesi.
Camat Maratua Ariyanto menjelaskan, Pulau Maratua sebagai wilayah terluar sekaligus perbatasan menghadapi permasalahan utama, yakni keamanan. Di sisi lain, ketahanan pangan pun turut menjadi isu di pulau tersebut.
”Maratua ini perlu ketahanan pangan lantaran pulau ini memiliki kultur tanah yang tidak memungkinkan untuk bercocok tanam. Jadi, bahan pangan pokok harus didatangkan dari Berau, Tarakan, ataupun Sulawesi,” katanya.
Selain itu, cuaca yang tak menentu di Maratua turut menghambat pendistribusian bahan-bahan pokok tersebut. Permasalahan distribusi juga berpengaruh terhadap ketersediaan bahan bakar minyak (BBM).
Dalam beberapa waktu, pengiriman BBM kerap mengalami keterlambatan. Kendati harga BBM tersebut tidak berbeda dengan harga yang dipatok di Jawa, ketersediaan BBM bersubsidi kurang mencukupi bagi penduduk lantaran peningkatan aktivitas pariwisata yang meningkatkan penggunaan transportasi perahu cepat.
”Situasinya memang seperti itu (ada beberapa anak tidak sekolah karena keterlambatan distribusi BBM). Tapi, kami dari masing-masing kampung sudah memiliki bus yang diperuntukkan bagi anak sekolah. Hanya saja, baru ada empat bus untuk empat kampung dan tidak mencukupi sehingga ada yang memakai kendaraan sendiri, seperti sepeda motor dan pikap,” imbuh Ariyanto.
Di sisi lain, ia berharap akses menuju Pulau Maratua dengan jalur udara semakin banyak untuk menunjang aktivitas pariwisata. Hal ini mengingat Pulau Maratua ini sudah menjadi destinasi wisata tingkat internasional.
Setelah terpisah dari Kecamatan Derawan pada 2002, sektor pariwisata bahari di Maratua mulai dilirik wisatawan. Namun, akses menuju pulau tersebut masih terbatas.
Baca juga: Sepenggal Romansa di Batas Negara: dari Asmara Muliyati sampai Relasi Rupiah-Ringgit