Sumsel Pacu Energi Terbarukan di Tengah Ketergantungan pada Fosil
Kapasitas terpasang pembangkit energi terbarukan di Sumsel mencapai 989,12 MW atau baru 4,7 persen dari potensi.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Di tengah ketergantungan pada energi fosil, utamanya batubara, Sumatera Selatan terus memacu pembangunan energi terbarukan agar berkontribusi dalam upaya mencapai target emisi nol bersih nasional pada tahun 2060. Di satu sisi, hal itu menjadi tantangan, terutama dalam menyiapkan transformasi perekonomian warga yang bergantung pada fosil.
Berdasarkan data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Pemerintah Provinsi Sumsel, pada 2022 energi fosil masih dominan dalam bauran energi daerah. Batubara menyumbang sebesar 31,59 persen, gas bumi 22,68 persen, dan minyak bumi 21,88 persen. Sementara energi terbarukan sebesar 23,85 persen.
Adapun kapasitas terpasang pembangkit energi terbarukan di Sumsel, hingga 2023, mencapai 989,12 megawatt (MW). Pembangkit listrik biomassa (PLTBm), khususnya yang digunakan sendiri oleh perusahaan (captive power)atau tidak tersambung dengan jaringan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), dominan dengan 802,59 MW. Selain itu, ada kontribusi energi panas bumi, air, dan surya.
Koordinator Subnasional Program Akses Energi Berkelanjutan Institute for Essential Services Reform (IESR) Rizqi Prasetyo mengatakan, kondisi tingginya ketergantungan pada fosil itu menjadi tantangan. Dalam analisis IESR, Kabupaten Muara Enim dan Lahat menjadi dua daerah di Sumsel yang berpotensi terdampak ekonomi jika batubara dikurangi secara bertahap.
”Oleh karena itu, perlu transformasi atau dicari ekonomi alternatifnya agar tidak langsung terdampak. Sebab, selama ini (mereka), kan, mendapat dana bagi hasil (DBH) dari pertambangan batubara,” kata Rizqi pada lokakarya Jelajah Energi Sumatera Selatan yang digelar Institute for Essential Services Reform (IESR), di Palembang, Sumsel, Senin (26/2/2024).
Hasil riset IESR pada 2023 menunjukkan DBH dari pajak dan royalti pertambangan batubara berkontribusi secara signifikan pada pendapatan pemerintah daerah. Di Muara Enim, misalnya, DBH berkontribusi hingga 20 persen dari pendapatan daerah. Penurunan DBH akan berdampak besar pada operasionalisasi mengingat belanja pemerintah daerah sebagian besar untuk operasionalisasi (Kompas, 2/9/2023).
Terlepas dari ketergantungan perihal ekonomi, kata Rizqi, energi terbarukan di Sumsel tetap terus dipacu. ”Di Muara Enim, misalnya. Daerah itu penghasil batubara, tetapi juga memiliki dua PLTP (pembangkit listrik tenaga panas bumi), yakni PLTP Rantau Dedap dan PLTP Lumut Balai,” kata Rizqi.
Harapan kami tetap, energi terbarukan ini terus meningkat.
Adapun share energi terbarukan pada bauran energi daerah Sumsel sebesar 23,85 persen (2022). Angka itu lebih tinggi daripada realisasi energi terbarukan nasional yang sebesar 13,1 persen dalam bauran energi primer (2023). Angka itu bahkan sudah melebihi target 21,06 persen pada 2025 yang tertuang dalam Peraturan Daerah Sumsel Nomor 4 Tahun 2020 tentang Rencana Umum Energi Daerah RUED Sumsel.
Namun, persentase itu masih dinamis jika merujuk Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030. ”Di RUPTL, ada penambahan pembangkit batubara (di Sumsel) yang saat ini belum beroperasi. Namun, harapan kami tetap, energi terbarukan ini terus meningkat,” kata Kepala Seksi Energi Baru Terbarukan pada Dinas ESDM Sumsel Dewi Yusmarni.
Apalagi peluang pengembangan energi terbarukan Sumsel masih terbuka lebar. Dari total potensi energi terbarukan sebesar 21.032 MW di Sumsel, kapasitas terpasang pembangkit energi terbarukan baru 989,12 MW atau baru 4,7 persen. Selain energi hidro (air), surya, bioenergi, dan panas bumi yang sudah terpasang, energi bayu (angin) dengan potensi 310 MW juga diharapkan turut berkembang.
”(Pembangkit listrik tenaga bayu) saat ini memang belum ada di Sumsel, salah satunya karena belum ada kajian teknis secara detail. Oleh karena itu, ke depan, diharapkan ada kajian-kajian terkait energi tersebut,” ucap Dewi.
Dekarbonisasi industri
Sementara itu, Koordinator Dekarbonisasi Industri IESR Faricha Hidayati menuturkan, industri masih menjadi salah satu penyumbang utama emisi gas rumah kaca di Indonesia, termasuk di Sumsel. Itu antara lain disebabkan tingginya penggunaan bahan bakar fosil sebagai sumber energi. Misalnya, terkait dengan produksi amonia serta produksi pulp dan kertas.
Oleh karena itu, dekarbonisasi industri terus didorong guna mendukung capaian emisi nol bersih (NZE) 2060. Sejumlah pilar dalam dekarbonisasi kedua industri itu di antaranya dengan efisiensi material dan pengurangan permintaan, efisiensi penggunaan energi, teknologi penangkapan, penyimpanan, dan pemanfaatan karbon (CCS/CCUS), amonia hijau, serta substitusi bahan bakar dan elektrifikasi.
”Memang ada sejumlah tantangan upaya dekarbonisasi industri, seperti aset berumur panjang, 30-40 tahun, kebutuhan energi panas bersuhu tinggi, serta ketersediaan jenis investasi hijau yang sangat minim. Namun, (jika diterapkan), ada manfaat bagi dunia usaha dan negara, antara lain penghematan biaya produksi, peluang target pasar baru, serta membuka peluang pekerjaan hijau,” katanya.