Memulai Bisnis Warteg Bisa dari Modal Ratusan Ribu Rupiah
Bisnis warteg yang menyediakan makanan rumahan dengan harga terjangkau terbukti bisa beromzet Rp 1 juta per hari.
Warung Tegal atau warteg sudah menjadi nama generik untuk jenis usaha yang menyediakan sajian makanan rumahan dan dengan harga terjangkau. Pengunjung warteg umumnya adalah mereka yang memang datang untuk mengisi perut, bukan makan untuk berekreasi atau mencari hiburan.
Selama sebuah warteg mampu memberikan jaminan rasa enak, harga murah, dan pelayanan ramah, di waktu sarapan, makan siang, dan makan malam, sedikitnya 80 porsi makanan bisa terjual setiap hari.
Begitulah setidaknya pengalaman Ayu Maria (39) asal Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, yang sudah membuka usaha warteg di Jalan Arteri Pondok Indah, Jakarta Selatan, sejak 2019.
Pertama kali ia merantau ke Jakarta untuk mendampingi suaminya yang bekerja di proyek bangunan pada 2016, Ayu iseng-iseng berjualan lauk-pauk, memanfaatkan selasar kontrakan petaknya di Pesanggrahan, Jakarta Selatan.
Jika rata-rata satu porsi warteg dihargai Rp 18.000, maka dalam sehari omzet yang didapatkan Rp 1.440.000. Rata-rata keuntungan bersih dari wartegnya Rp 690.000 per hari.
”Kebetulan, waktu itu ada lemari etalase makanan bekas penghuni kontrakan sebelumnya. Udah enggak terpakai. Saya jadi kepikiran buat jual makanan,” ujar Ayu kepada Kompas beberapa waktu lalu.
Seingat Ayu, kala itu, modalnya untuk memasak hanya sekitar Rp 150.000 untuk beberapa jenis masakan. Dua ayam utuh dipotong menjadi delapan bagian untuk tiga jenis masakan, ayam goreng, ayam balado, dan ayam rendang. Selain itu, ada juga telur kecap, telur balado, tumis kacang panjang, dan sayur sop.
Ternyata masakan Ayu cocok di lidah warga sekitar kontrakannya. Pelan-pelan jenis masakannya ditambah. Modal Rp 250.000 saat itu cukup untuk membuat 10-12 jenis masakan atau menjadi 6-8 porsi untuk setiap jenis masakan.
Kalau semua masakannya habis, omzetnya bisa hampir Rp 600.000 dalam sehari. Untung yang Ayu dapat sehari dari berjualan masakan Rp 300.000 lebih besar daripada upah yang didapat suaminya dari proyek bangunan saat itu. Ia berjualan dari Senin hingga Sabtu. Pembelinya adalah warga sekitar yang memang tidak sempat atau malas memasak.
”Akhirnya penghasilan suami dari proyek bisa utuh. Keuntungan dari jual lauk sebagian dipakai buat bayar kontrakan, kebutuhan sekolah anak, sebagian lagi di-puter buat jualan,” ujar Ayu.
Membuka warung
Jika sebelumnya Ayu hanya berdagang lauk-pauk memanfaatkan teras kontrakannya, pada awal 2019, bersama suaminya Ayu memutuskan untuk membuka warung yang lebih proper di pinggir Jalan Arteri Pondok Indah, dengan harga sewa tempat Rp 35 juta per tahun.
Di luar biaya sewa tempat, ia juga mengeluarkan Rp 4 juta-Rp 5 juta untuk membeli meja, kursi, kipas angin, etalase makanan baru, dan menambah peralatan masak.
Baca juga: Warteg Enggak Ada Matinya!
Suaminya berhenti bekerja di proyek agar bisa fokus mengembangkan warteg. Untuk membantu kegiatan operasional, ada tambahan dua pegawai yang didatangkan dari kampung mereka dengan gaji masing-masing Rp 1,2 juta per bulan. Warteg buka mulai pukul 06.00 dan baru tutup pada pukul 22.00. Setiap hari mereka memasak mulai pukul 04.30. Dalam sehari, mereka bisa memasak nasi lima kali, masing-masing 13 liter atau satu termos penuh. Sedikitnya ada 30 macam sayur dan lauk yang bisa dipilih.
Belanja modal bahan baku masakan Rp 750.000 per hari. Rata-rata dalam sehari mereka menjual 80 porsi makanan. Jika rata-rata satu porsi warteg dihargai Rp 18.000, maka dalam sehari omzet yang mereka dapatkan Rp 1.440.000. Rata-rata keuntungan bersih dari wartegnya Rp 690.000 per hari atau 47 persen dari omzet.
Manfaatkan waralaba
Kalau tidak mau ribet membuka bisnis warteg dari nol, di era saat ini, calon pengusaha atau investor warteg bisa memanfaatkan jaringan waralaba. Salah satu warteg yang membangun jaringan waralaba adalah Warteg Kharisma Bahari (WKB). Tercatat, Warteg Kharisma Bahari memiliki lebih dari 180 cabang di Jakarta.
Konsep kemitraan yang diberikan WKB kepada mitra atau investor adalah sistem jual putus. Warteg bisa dijalankan secara mandiri atau bisa kerja sama dengan pengelola yang disediakan dari pihak Warteg Kharisma Bahari dengan sistem bagi hasil fifty-fifty (50:50) tanpa royalti.
Salah satu investor WKB, Citra Paramita, kepada Kompas beberapa waktu lalu, mengatakan bahwa ia akan menjadi investor warteg. Pada Maret 2023, ia memberanikan diri menginvestasikan uang pesangonnya sebesar Rp 200 juta untuk membuka Warteg Kharisma Bahari di Sektor 1 Perumahan Bintaro, Jakarta.
”Setelah beberapa bulan, saya happy secara revenue dan hubungan kerja. Akhirnya, saya bikin lagi investasi untuk warteg yang kedua, juga di Bintaro,” kata Citra.
Dengan modal tersebut, diperkirakan modal bisa kembali kurang dari dua tahun. Hal tersebut bergantung pada lokasi outlet yang sangat menentukan jumlah pelanggan.
Baca juga: Warteg Tempat Makan Sejuta Umat
”Target market-nya menengah ke bawah. Enggak perlu Wi-Fi, enggak perlu menu njlimet, enggak perlu ngelihat kompetitor, dan enggak perlu interior mewah. Asal murah, enak, pelanggan makan, lima menit cabut,” katanya.
Pemilik Warteg Kharisma Bahari, Sayudi, yang akrab disapa Yudika, memilih membuka diri untuk investor sejak tujuh tahun terakhir. Awalnya, ia dan keluarga mengelola sendiri Warteg Kharisma Bahari. Ketika warteg berkembang menjadi tiga cabang, Yudika mulai kewalahan karena banyak kebocoran dana.
Warteg Kharisma Bahari lantas berkembang menjadi lebih dari 100 cabang ketika akhirnya Yudika membuka diri untuk menjaring investor. Perkembangan pesat Warteg Kharisma Bahari tak lepas dari perombakan citra dari warteg yang kotor dan kumuh menjadi warteg yang bersih. Rata-rata investor menanamkan modal Rp 110 juta, bergantung dari besar kecilnya ukuran warteg.
Ekspektasi rendah
Pengamat usaha mikro, kecil, dan menengah yang juga Guru Besar Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Mudrajad Kuncoro, menilai, salah satu keunggulan dari menjalankan bisnis warteg adalah ekspektasi konsumen yang tidak terlalu tinggi terhadap produk yang dijajakan.
”Ekspektasi orang datang ke warteg adalah perut kenyang, makan nyaman, lalu kantong aman. Kalau unsur-unsur tersebut terpenuhi, pelanggan akan kembali lagi,” ujarnya.
Walau terdengar sederhana, menjalankan bisnis warteg juga bukan tanpa tantangan. Meski punya segmentasi pasar yang besar, persaingan di lini bisnis makanan kelas menengah ke bawah ini juga sangat ketat. Hal tersebut menuntut adanya pembeda dari yang ditawarkan oleh lini usaha warteg terhadap konsumennya, baik itu rasa, harga, lokasi, maupun layanan.
Jika terjadi kenaikan harga beras seperti saat ini, maka perlu ada penyesuaian porsi atau harga yang berisiko juga mendapat penolakan dari konsumen.
Tantangan berat lain yang harus dihadapi pengusaha warteg adalah rendahnya resistansi konsumen terhadap perubahan harga. Padahal, volatilitas harga bahan baku makanan warteg, seperti beras dan minyak goreng, sangat tinggi. ”Jika terjadi kenaikan harga beras seperti saat ini, maka perlu ada penyesuaian porsi atau harga yang berisiko juga mendapat penolakan dari konsumen,” ujar Mudrajad.
Sebagai tempat makan ”sejuta umat” warteg tidak memerlukan promo potongan harga atau gimikekstra lainnya untuk penjualan. Rahasia bisnis warteg bisa berumur panjang adalah mampu memenuhi ekspektasi pasar yang tidak tinggi-tinggi amat, yakni mencari kenyamanan di kantong dan di perut.