Industri kreatif di Indonesia punya potensi besar. Sisi pasok maupun permintaan sama-sama besar. Namun, industri ini belum berkembang maksimal.
Belajar dari pengalaman sejumlah negara yang sukses mengembangkan industri kreatif, seperti Korea Selatan dan Singapura, kolaborasi antara pelaku industri kreatif, pemerintah, dan masyarakat, menjadi prasyarat.
Ada sejumlah pekerjaan rumah yang mesti segera ditangani. Di antaranya adalah strategi kebudayaan sebagai basis yang masih nihil. Ada pula persoalan insentif yang masih ”sepi”, infrastruktur yang jauh dari memadai, hingga perizinan yang serba tak pasti.
Seperti apa aspirasi para pelaku industri kreatif dan audiens? Berikut harapan dan kebutuhan mereka yang dihubungi terpisah pada Minggu (25/2/2024).
Rini Marina, seorang penikmat konsermusik, mengatakan, akan sangat membantu jika semua hal yang terkait penyelenggaraan event, sebagai bagian dari industri kreatif, memikirkan kepuasan penonton dan pengunjung. Unsur-unsur yang menjadi kenyamanan audiens perlu diperhatikan.
Di antaranya adalah venue dan fasilitas pendukung. Faktor lain yang amat penting adalah sistem pembelian tiket yang cepat, sederhana, dan fair. Fair maksudnya adalahmelindungi konsumen dari praktik calo yang di banyak hal meroketkan harga tiket.
Jika berbagai kemudahan ini dilakukan, penikmat konser musik dan pertunjukan seni lainnya akan berbondong-bondong mendatangi pergelaran. Bahkan wisatawan dari luar negeri pun akan senang datang ke Indonesia.
”Dukungan pemerintah untuk sponsor juga diperlukan sehingga harga tiket bisa reasonable. Jadi, tidak hanya warga Indonesia yang datang, tetapi warga asing dari luar negeri pun tertarik untuk menonton acara di Indonesia,” kata Rini (44), perempuan asal Bekasi, Jawa Barat, itu.
Donny Hardono, pemilik DSS Sound System, menyatakan, pelaku industri pertunjukan di dalam negeri siap menyelenggarakan perhelatan apa pun. Hal yang diperlukan adalah dukungan pemerintah.
Selama ini, menurut Donny, dukungan pemerintah sangat kurang. Padahal, sebagaimana sektor lainnya, dukungan pemerintah diperlukan agar industri kreatif tumbuh dan berkembang.
”Apa pun peralatan yang dibutuhkan klien, kami punya. Hanya saja sayangnya, pemerintah masih kurang cawe-cawe untuk industri ini. Kalau berkaca dari Singapura, Coldplay bisa konser berhari-hari di Singapura, dengan kelengkapan alat semuanya dari dalam negeri, itu karena pemerintahnya suportif,” kata Donny.
Pendiri Teater Boneka Papermoon, Maria Tri Sulistyani, menyayangkan pengembangan audiens yang tak dibicarakan sama sekali dari semua sisi. Seniman tak memikirkan cara memanfaatkan dana dari pemerintah untuk pengembangan audiensnya. Sebab, selama ini kekaryaan seniman saja yang dipertaruhkan, tapi audiensnya tak dibayangkan.
”Di Indonesia, lokus-lokus seperti taman budaya dan gedung pertunjukan pemerintah itu baru ada bangunannya saja, tapi enggak ada program. Kalaupun ada, hanya dilakukan segelintir orang yang sama. Padahal, keistimewaan Indonesia itu memiliki ragam audiens yang luas, justru ada acuannya. Diversity itu yang sangat menarik,” katanya.
Pemerintah, menurut perempuan yang biasa dipanggil Ria itu, bisa mengambil posisi kuat dengan menerbitkan kebijakan yang berpihak pada audiens. Dengan demikian, semua pihak dituntut untuk peduli pada penontonnya.
”Saatnya harus bikin gebrakan baru. Harapannya, karya seni teater bisa dinikmati semua umur dan kelompok sosial,” katanya.
CEO Prambanan Jazz, Anas Syahrul Alimi, mengatakan, Indonesia selalu kalah soal strategi politik bisnis internasional dengan negara lain, seperti Singapura. Di Indonesia, tak ada kesadaran mengembangkan industri kreatif.
Promotor, misalnya, dibiarkan sendiri. Elite dan Pemerintah Indonesia masih memosisikan musik untuk kepentingan politik saja. Mereka tidak memperlakukan konser musik internasional sebagai strategi kebudayaan.
”Kelirunya di sini, tak dipikirkan jangka panjang. Bayangkan ketika kami harus mengurus perizinan perlu melewati berapa ’kantong’. Ini mengerikan, ketika harus mendatangkan artis internasional, tapi perizinan tak jelas. Artinya, ketidakpastian sangat tinggi. Terkadang, H-1, izin acara baru keluar,” kata Anas yang juga pendiri Asosiasi Promotor Musik Indonesia.
Oleh sebab itu, Anas menambahkan, semua pihak harus punya kesadaran kolektif untuk bersama-sama mengembangkan industri kreatif. ”Jadi harus ada kesadaran kolektif dari segala variabel; perizinan, pajak perforasi tiket, mendatangkan kargo, dan sponsorship. Sebab, efek penggandanyaluar biasa,” katanya.