Belum Ekonomis, Potensi Biomassa Perlu Dioptimalkan
Sumber biomassa banyak berada antara lain di Kalimantan dan Sumatera. Namun, kebutuhan ada di Jawa.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengembangan biomassa, yang antara lain digunakan untuk co-firing, dinilai stagnan karena sulit bersaing secara ekonomi, salah satunya karena sumbernya jauh dengan kebutuhan. Varian biomassa perlu dikembangkan sehingga potensi lokal bisa termanfaatkan sebagai alternatif pembangkit listrik yang masih menggunakan energi fosil.
Biomassa ialah sumber energi terbarukan yang dihasilkan dari fotosintesis yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar padat. Sementara co-firing ialah metode pembakaran biomassa bercampur batubara pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Direktur Tropical Renewable Energy Centre Fakultas Teknik Universitas Indonesia Adi Surjosatyo, dihubungi di Jakarta, Kamis (22/2/2024), mengatakan, status negara kepulauan menjadi tantangan dalam mengakselerasi pemanfaatan biomassa untuk co-firing. Sebab, sumber-sumber biomassa banyak berada antara lain di Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatra. Namun, kebutuhan ada di Jawa.
Ada biaya lebih yang harus dikeluarkan saat mendatangkan biomassa dari luar Pulau Jawa, yang memengaruhi keekonomiannya. ”Sebab, pusat industri ini ada di Pulau Jawa dan kebanyakan (memanfaatkan) pembangkit konvensional. Aspek pembiayaan berpengaruh. Suplai biomassa untuk PLTU-PLTU besar di Jawa sangat terbatas. Biomassa saat ini bisa dikatakan stagnan, bahkan cenderung turun,” ujarnya.
Tak dimungkiri, stagnannya biomassa juga dipengaruhi masih dominannya batubara dalam kelistrikan di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, hingga akhir 2023, bagian (share) pembangkit batubara dalam bauran ketenagalistrikan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) sebesar 67,66 persen. Adapun produksi batubara 2023 tercatat 775,2 juta ton atau tertinggi sepanjang sejarah.
Oleh karena itu, kata Adi, yang bisa dilakukan saat ini ialah mengoptimalkan biomassa agar dimanfaatkan sebagai bahan co-firing di PLTU-PLTU yang dekat dengan sumber pasokan. Beragam potensi biomassa juga bisa dioptimalkan untuk mengganti pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) yang masih menggunakan energi fosil. Berdasarkan data Kementerian ESDM, ada sekitar 5.200 PLTD di 2.130 lokasi.
”Di-daerah-daerah terdepan, sebenarnya biomassa menjadi salah satu kekuatan. Salah satu yang menarik ialah limbah sagu yang banyak di Papua. Tinggal mau atau tidak untuk mendorong ini agar benar-benar dimanfaatkan oleh masyarakat setempat, seperti untuk pembangkitan listrik lokal. Political will penting dalam mendorong ini,” jelasnya.
Dua kali lipat
Sekretaris Perusahaan PT PLN Energi Primer Indonesia Mamit Setiawan mengakui bahwa salah satu tantangan dari penyediaan biomassa untuk co-firing adalah sumber pasokan yang lokasinya jauh dari PLTU. Namun, pihaknya berkomitmen untuk tetap menyediakan biomassa untuk co-firing sebesar 2,56 juta ton pada 2024, meningkat dari 2023 yang sekitar 1 juta ton.
”Selanjutnya, pada 2025, ada target yang jauh lebih tinggi lagi, yakni 10 juta ton biomassa. Insya Allah, kami bisa penuhi dengan memanfaatkan limbah-limbah ataupun potensi biomassa lainnya,” kata Mamit.
Political willpenting dalam mendorong ini.
Dalam mendukung tercapainya target itu, kata Mamit, pihaknya terus mencari berbagai solusi pemenuhan kebutuhan biomassa, misalnya dengan memanfaatkan serbuk aren dan ampas sagu. ”Untuk serbuk aren, kami sudah uji coba di PLTU Indramayu. Mudah-mudahan hasilnya bagus. Namun, jika dilihat dari kalori, lebih bagus daripada woodchip (serpihan kayu),” katanya.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE), sepanjang 2023, dimanfaatkan 991.000 ton biomassa untuk co-firing di 43 lokasi PLTU dengan pengurangan emisi sebesar 1,05 juta ton CO2 ekuivalen. Pada 2024, pemanfaatan biomassa ditargetkan sebesar 2,83 juta ton di 47 PLTU.
Sebelumnya, terbit Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2023 tentang Pemanfaatan Bahan Bakar Biomassa sebagai Campuran Bahan Bakar pada PLTU. Bahan bakar biomassa (B3m) untuk pembangkit listrik dapat seluruhnya berasal dari bahan organik antara lain pelet biomassa, serbuk kayu, serpihan kayu, dan cangkang sawit, dan sebagian berasal dari bahan organik, seperti bahan bakar jumputan padat (dari limbah atau sampah).
Dalam aturan itu disebutkan, pembelian B3m berdasarkan harga patokan tertinggi atau harga kesepakatan. Adapun harga patokan tertinggi dihitung dengan formula harga batubara dikali nilai koefisien harga B3M dikali faktor koreksi nilai kalor. Harga batubara ditentukan berdasarkan rata-rata harga batubara acuan (HBA) tahun sebelumnya, sedangkan nilai koefisien B3m paling tinggi 1,2.
Direktur Bioenergi pada Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Edi Wibowo, beberapa waktu lalu, menuturkan, sosialisasi peraturan itu disampaikan ke berbagai pihak. ”Harapan kami semua stakeholder terkait dapat segera mengimplementasikan ketentuan dalam regulasi tersebut. (Dengan demikian) Semakin banyak biomassa yg dapat menggantikan batubara,” ujar Edi.