577 Gigaton Potensi Penyimpanan Karbon, Terbesar di Laut Utara Jatim
Angka dihitung dari 20 cekungan yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, yang statusnya sudah berproduksi.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penghitungan yang dilakukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan potensi penyimpanan karbon di Indonesia total sebesar 577 gigaton, yang terdiri dari depleted reservoir dan saline aquifer. Potensi penyimpanan terbesar terletak di laut lepas utara Jawa Timur. Terbitnya peraturan presiden tentang penangkapan dan penyimpanan karbon atau CCS diharapkan membuat teknologi itu benar-benar bisa diterapkan di Indonesia.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji, dalam sosialisasi Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2024 tentang CCS, di Jakarta, Selasa (20/2/2024), memaparkan bahwa, dari hasil penghitungan dengan standar keteknikan industri migas, diketahui, potensi kapasitas penyimpanan karbon dengan metode saline aquifer sebesar 572,77 gigaton dan metode depleted oli & gas reservoir sebesar 4,85 gigaton.
Angka itu didapat dari penghitungan 20 cekungan (basin) yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, yang statusnya sudah berproduksi. Kapasitas terbesar ada di cekungan North East Java yang terletak di laut lepas utara Jawa Timur. Cekungan diperkirakan mampu menyimpan karbon sebesar 100,83 gigaton dengan metode saline aquifer dan 0,151 gigaton dengan metode depleted reservoir.
Sementara kapasitas saline aquifer terkecil, yakni di cekungan Bawean, bersebelahan dengan North East Java, sebesar 1,16 gigaton. Adapun kapasitas depleted reservoir terkecil, yakni cekungan Serayu di laut lepas utara Jawa Tengah, dengan 0,001 gigaton.
CCS ialah teknologi penangkapan dan penyimpanan emisi karbon sehingga tidak terlepas ke atmosfer. Karbon yang dihasilkan, baik dari industri minyak dan gas bumi maupun nonmigas, ditangkap lalu disuntikkan ke perut bumi. Penyimpanan karbon dioksida (CO2) bisa di depleted reservoir atau reservoir migas yang telah mengalami penurunan produksi dan saline aquifer atau reservoir air bersalinitas tinggi.
Pada industri migas, karbon dioksida yang ditangkap juga dapat dimanfaatkan untuk memberi incremental (penambahan) produksi minyak ataupun gas bumi. Dengan demikian, teknologi tersebut disebut carbon capture, utilization and storage (CCUS).
Tutuka menuturkan, angka tersebut masih berupa estimasi. ”Industri atau kita baru akan tahu berapa kapasitas persis penyimpanannya setelah menginjeksikan (karbon dioksida). Sekarang, kan, belum injeksi. Jadi, angka-angka tersebut masih level paling dasar,” kata Tutuka.
Lintas batas
Pada Selasa juga disosialisasikan Perpres No 14/2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, yang diundangkan pada 30 Januari 2024. Peraturan itu melengkapi Peraturan Menteri ESDM No 2/2023 tentang Penyelenggaraan CCS dan CCUS pada Kegiatan Usaha Hulu Migas.
Salah satu hal yang tertuang dalam Perpres No 14/2024 adalah praktik CCS lintas batas(cross border). Artinya, karbon dioksida yang dihasilkan industri di negara lain dapat diangkut untuk kemudian diinjeksikan ke depleted reservoir/saline aquifer di Indonesia. Adapun porsi untuk CCS crossborder 30 persen dari total kapasitas, sedangkan sisanya, 70 persen, untuk domestik.
Terkait nilai ekonomi praktik CCS, Tutuka mengemukakan bahwa saat ini masih terlalu awal untuk menghitung nilai ekonomi yang didapat dari penerapan teknologi itu. Menurut dia, yang menjadi prioritas saat ini ialah yang utama bisa jalan lebih dulu.
”Kami punya angka, seperti biaya injeksi dan lainnya. Namun, kalau kita memikirkan itu, enggak jalan-jalan. Pemerintah ingin membuka kesempatan dulu. Sudah banyak perusahaan asing bekerja sama dan kami akan mempelajari itu (dari praktik CCS/CCUS yang sudah berjalan di luar negeri),” katanya.
Di Asia ini kita lebih maju dibanding negara-negara lain.
Saat ini, ada 15 proyek CCS/CCUS yang mayoritas dalam tahap studi. Adapun proyek CCS/CCUS terdepan di Indonesia telah dilakukan oleh BP, perusahaan multinasional migas, di Teluk Bintuni, Papua Barat, lewat proyek CCUS Tangguh. Proyek tersebut ditargetkan mulai beroperasi (onstream) atau injeksi pertama pada 2026 atau 2027.
CCS Hub
Direktur Teknik dan Lingkungan Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM Mirza Mahendra menuturkan, Indonesia tetap bisa menjadi hub (pusat) CCS di kawasan meski 70 persen kapasitas diperuntukkan bagi domestik. Porsi kapasitas penyimpanan karbon tetap untuk kebutuhan domestik. Ini menunjukkan bahwa potensi kapasitas yang ada diprioritaskan untuk kebutuhan dalam negeri.
”Tapi, tidak dimungkiri bahwa kita membutuhkan investasi asing terkait dengan biaya, terutama di saline aquifer. Jadi, tetap memungkinkan kita jadi hub (CCS). Bahkan, di Asia ini kita lebih maju dibandingkan dengan negara-negara lain,” tutur Mirza.
Sebelumnya, Manajer Institut Teknologi Bandung Centre of Exellence for CCS/CCUS M Rachmat Sule menuturkan, di samping perlunya pembiayaan yang besar, tantangan dalam implementasi CCS adalah perangkat kebijakan, termasuk regulasi. Kini, setidaknya regulasi sudah didukung oleh Permen ESDM No 2/2023 tentang CCS dan CCUS pada Kegiatan Usaha Hulu Migas serta Perpres No 14/2024 tentang Penyelenggaraan CCS.
Kemudian, yang tidak kalah penting, kata Rachmat, yakni perangkat untuk monetisasi injeksi karbon dioksida. ”Yang juga diperlukan adalah mekanisme untuk sertifikasi kredit karbon,” ujar Rachmat.