China cukup bisa menjustifikasi kondisi deflasi untuk menurunkan harga barang dan mengekspornya dengan harga murah.
Oleh
HENDRIYO WIDI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia perlu mewaspadai dan mengantisipasi ”banjir” produk impor murah China di tengah perlambatan ekonomi negara tersebut. Pengawasan dan penyelidikan atas barang impor itu perlu lebih ditingkatkan agar tidak merugikan pelaku usaha di dalam negeri.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani, Minggu (18/2/2024), mengatakan, saat ini, industri manufaktur di China tengah kelebihan hasil produksi. Pasar domestik tidak mampu menyerap produk-produk itu lantaran daya beli masyarakat melemah.
”Dalam kondisi itu, China bisa saja menerapkan dumping atau menjual barang ke luar negeri dengan harga lebih murah dibandingkan dengan di dalam negeri,” ujarnya ketika dihubungi di Jakarta.
Harga barang dan jasa di tingkat konsumen serta produsen tengah mengalami deflasi terburuk. Hal itu merupakan cerminan pelemahan daya beli masyarakat, sekaligus tertahannya geliat industri domestik China.
Biro Statistik Nasional China mencatat, pada Januari 2024, China mengalami deflasi 0,8 persen secara tahunan. Penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) itu merupakan penurunan terbesar dalam 14 tahun terakhir atau sejak September 2009.
Harga barang dan jasa di tingkat produsen juga deflasi 2,5 persen secara tahunan. Indeks Harga Produsen (IHP) tersebut masih melanjutkan tren deflasi selama 16 bulan berturut-turut atau sejak Oktober 2022.
Antisipasi
Menurut Shinta, China cukup bisa menjustifikasi kondisi deflasi itu untuk menurunkan harga barang. Kemudian, barang-barang berharga murah itu diekspor ke negara lain, termasuk Indonesia.
Pemerintah Indonesia perlu mewaspadai potensi ”banjir” produk impor China. Strategi, mekanisme, dan kapabilitas penyelidikan serta penegakan antidumping terhadap impor dari China perlu ditingkatkan.
Upaya itu, ujar Shinta, sangat penting dan krusial untuk melindungi pasar dan industri dalam negeri. Pemerintah dapat bekerja sama dengan asosiasi pengusaha terkait untuk mendeteksi serta menyelidiki setiap gejala dumping dan predatory pricing di dalam negeri.
China cukup bisa menjustifikasi kondisi deflasi itu untuk menurunkan harga barang. Kemudian, barang-barang berharga murah itu diekspor ke negara lain, termasuk Indonesia.
Selain itu, pengawasan dan penyelidikan terhadap praktik-praktik impor ilegal atau kebocoran impor perlu ditingkatkan. Hal itu mencakup pula penyalahgunaan izin impor.
”Perlu ada sanksi dan penegakan hukum yang tegas jika praktik-praktik tersebut terbukti agar tidak merusak pertumbuhan industri nasional dan persaingan usaha yang sehat di dalam negeri,” katanya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor nonmigas RI pada Januari 2024 senilai 15,81 miliar dollar AS, naik 0,48 persen secara bulanan dan 1,76 persen secara tahunan. China masih menjadi negara asal impor terbesar RI dengan kontribusi 37,64 persen dari total nilai impor nonmigas.
Nilai impor nonmigas RI dari negara tersebut naik 9,26 persen secara bulanan dan 11,86 persen secara tahunan menjadi 5,95 miliar dollar AS.
Kenaikan impor itu tidak diikuti dengan kenaikan ekspor lantaran China tengah mengalami deflasi. Ekspor RI ke China pada Januari 2024 senilai 4,57 miliar dollar AS, turun 20,73 persen secara bulanan dan 12,92 persen secara tahunan.
Nilai ekspor yang lebih rendah dari impor itu menyebabkan defisit neraca pedagangan RI terhadap China semakin besar. Pada Januari 2024, neraca perdagangan nonmigas RI terhadap China defisit 1,38 miliar dollar AS. Padahal, pada Desember 2023, RI masih mencatatkan surplus dagang atas China sebesar 318,7 juta dollar AS.
Perjanjian dagang
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno menuturkan, sejumlah importir China mengakui permintaan dalam negeri memang tengah lesu. Hal itu membuat mereka mengurangi ekspor.
”Di tengah kondisi tersebut, China terus mendorong ekspor agar pertumbuhan ekonominya tidak merosot semakin dalam,” tuturnya.
Pembaruan dan pengoptimalan perjanjian dagang dengan sejumlah negara juga diperlukan untuk mengurangi ketergantungan Ri terhadap China.
Menurut Benny, selain mengantisipasi lonjakan impor dari negara itu, RI juga perlu terus meningkatkan pasar-pasar baru. Misalnya saja dengan negara-negara di Asia Selatan, Afrika, Asia Selatan, dan Timur Tengah.
Hal itu penting mengingat era pertumbuhan ekonomi tinggi China diperkirakan segera berakhir. Selain itu, pembaruan dan pengoptimalan perjanjian dagang dengan sejumlah negara juga diperlukan untuk mengurangi ketergantungan RI terhadap China.
”Perjanjian-perjanjian dagang yang telah dimiliki RI saat ini masih belum signifikan mendongkrak ekspor RI,” katanya.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, sepanjang 2023, RI telah mengimplementasikan tiga perjanjian dagang. Ketiga perjanjian itu adalah Kemitraan Ekonomi Komprehensif RI-Uni Emirat Arab (IUAE-CEPA), Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP), dan RI-Korea Selatan CEPA.