Serikat Pekerja untuk Karyawan Muda, Perlukah?
Serikat pekerja atau serikat buruh masihkah dibutuhkan generasi muda yang bekerja?
Penduduk bekerja usia muda yang sekarang semakin mendominasi pasar kerja cenderung lebih menyukai hubungan kerja yang tidak mengikat. Apakah dalam tren ini generasi muda tidak lagi membutuhkan serikat pekerja (SP) atau serikat buruh (SB)?
Sesuai data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), total konfederasi berjumlah 21 konfederasi dan federasi berjumlah 197 federasi. Adapun SP/SB mencapai 12.346 serikat. Total pekerja yang bergabung tercatat sekitar 4 juta orang.
Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional Badan Pusat Statistik pada Agustus 2023, jumlah penduduk bekerja sebanyak 139,85 juta orang. Jumlah ini naik 4,55 juta orang dari Agustus 2022.
Dari total penduduk bekerja tersebut, 40,89 persen bekerja di sektor formal dan 59,11 persen di sektor informal.
Gabrella Sabrina, karyawan swasta bidang advokasi di Jakarta (32 Tahun), berpendapat, semua orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah penting untuk bergabung dalam serikat pekerja.
"Bukan sekadar menuntut kenaikan upah atau menangani perselisihan di lingkungan kerja, dengan berserikat kita bisa menjaga kesehatan mental karena punya lingkungan kerja yang mendukung dan punya jaring pengaman untuk menghadapi kegelisahan dan kerentanan sebagai pekerja. Tak hanya itu, negara juga menjamin kebebasan kita untuk berserikat dan berkumpul jadi kenapa tidak kita manfaatkan," katanya.
Stevanus Sony (27), karyawan swasta di Jakarta, menyatakan, serikat pekerja di perusahaannya diisi karyawan senior. Mereka ditunjuk tiap seksi menjadi perwakilan yang dianggap bisa menyuarakan pendapat banyak orang.
"Mereka yang terpilih tergolong vokal dan sudah senior berusia lebih dari 40 tahun, karena karyawan muda biasanya dinilai belum punya keberanian. Selain itu, karyawan muda di perusahaanku juga sedikit jumlahnya, sekitar 20 persen dari total pekerja," katanya.
Serikat pekerja, Sony melanjutkan, menjadi salah satu organisasi yang mengawal perusahaan dalam mempekerjakan karyawan. Walaupun tidak ikut bergabung karena berada di pihak manajemen, ia berpendapat, serikat pekerja penting dalam memperjuangkan hak-hak yang seharusnya didapat karyawan.
"Selain berperan melindungi, serikat pekerja juga bisa berfungsi sebagai ‘advokat internal’ apabila terjadi permasalahan yang dialami karyawan. Namun, peran manajemen juga penting dalam menjaga serikat pekerja ini agar tidak keluar ‘jalur’, sehingga organisasi tak melakukan tindakan berunsur anarki dan semaunya sendiri," katanya.
Pekerja di salah satu lembaga swadaya masyarakat di Jakarta, Nama: Budiarti Putri (30), menyatakan, adalah perlu sekali untuk berserikat dalam bekerja, baik bergabung di tempat kerja maupun bergabung ke serikat profesi seperti serikat buruh, serikat jurnalis, serikat pekerja seni.
"Berserikat penting untuk membangun kesadaran dan solidaritas kita sebagai sesama buruh/pekerja; untuk memperjuangkan working condition yang lebih baik; juga untuk berjuang bersama manakala kita mengalami ketidakadilan dari pemberi kerja," katanya.
Pekerja muda, menurut Putri, rentan terjebak di kondisi kerja yang tidak sehat, misalnya beban kerja berlebih sehingga harus bekerja melebihi jam kerja standar tanpa dibayar. Jika berlangsung terus-menerus, ini bisa berpengaruh ke kesehatan tubuh dan mental. Kerentanan lainnya misalnya tidak adanya job security, apalagi setelah adanya Undang-Undang Cipta Kerja, anak muda bisa dipekerjakan dengan status kontrak terus-menerus.
Sebagai kelompok bekerja, Putri melanjutkan, anak-anak muda perlu mengetahui dan memahami hak-hak sebagai buruh/pekerja, apa kewajiban pemberi kerja, dan apa kewajiban negara sebagai regulator. Bergabung ke serikat buruh/pekerja bisa jadi salah satu cara kaum muda mempelajari hal-hal ini. Sebab, serikat buruh/pekerja biasanya mengadakan pendidikan tentang isu-isu ketenagakerjaan buat anggotanya.
"Di kantor saya sudah ada serikat pekerja dan saya sudah menjadi anggota meski belum terlibat aktif sebagai pengurus. Di sana, saya bisa belajar lebih banyak soal isu-isu buruh/pekerja, memperdalam pengetahuan dan perspektif tentang perjuangan kelas buruh/pekerja, juga belajar bagaimana caranya mengadvokasi ketika ada rekan kerja yang mengalami masalah ketenagakerjaan," katanya.
Saat ini, menurut Putri, belum semua anak muda sadar untuk berserikat. "Ini kompleks penyebabnya, ya, tapi mungkin salah satunya karena bangku sekolah tidak mengajari kita tentang teori dan perjuangan kelas pekerja. Beberapa pekerja kantoran mungkin merasa mereka bukan buruh; istilah buruh cenderung disematkan kepada pekerja kerah biru saja," katanya.
Adrian Benhard (32 tahun), karyawan swasta, Jakarta Barat, berpandangan, anak muda perlu berserikat dalam bekerja. Akan tetapi, konsep berserikat di sini lebih untuk tujuan profesional development, networking & forum diskusi mengenai kebijakan internal kantor. Secara umum serikat sebenarnya dibutuhkan sebagai wadah aspirasi dan diplomasi.
"Saat ini ada kecenderungan pekerja kantoran tidak mau dianggap sebagai buruh sehingga banyak pekerja kantoran yang tidak berserikat, khususnya untuk generasi sekarang yang cenderung lebih pragmatis dan oportunis. Di kantor saya sendiri tidak ada serikat pekerja. Saya tidak tahu apakah grup Whatsapp kecil yang isinya beberapa orang karyawan bisa dianggap sebagai serikat pekerja tidak formal," katanya sambil terkekeh.
Meski tidak ada serikat pekerja, masih menurut Adrian, ada cara lain buat karyawan bisa menyampaikan aspirasinya. Beberapa perusahaan tempat ia bekerja sebelumnya punya satu posisi yang disebut Human Resources Business Partner (HRBP). Tugasnya menjadi jembatan antara pekerja secara personal dan manajemen .
"Selain itu, di perusahaan sekarang, komunikasinya juga sangat cair dan fair. Kami dapat mengajukan sesi 1 on 1 untuk bicara dengan pimpinan C-Level (begitu pula sebaliknya) untuk mendiskusikan berbagai hal, mulai dari persoalan kerja hingga personal," katanya.