Saham Keuangan Banyak Capai Rekor, Waspadai Aksi Ambil Untung
Kinerja perbankan yang tetap positif di tahun 2023 hingga saat ini menggembungkan harga saham perbankan.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG masih melanjutkan kenaikan pascapemilu pada 14 Februari 2024. Emiten keuangan menjadi salah satu sektor yang menunjukkan penguatan harga saham. Namun, situasi ini patut diwaspadai karena investor domestik rawan melakukan aksi jual saham.
IHSG kembali menguat pada perdagangan Jumat (16/2/2024), dengan ditutup di posisi 7.335 atau naik 0,44 persen dari penutupan perdagangan sehari sebelumnya di posisi 7.303. Tren kenaikan berlanjut meskipun tidak setinggi kenaikan pada Kamis (15/2/2022) ketika IHSG sempat meroket ke posisi 7.322 atau naik 1,57 persen dibandingkan dengan perdagangan sehari sebelum libur pemilu, Selasa (13/2/2024).
Perusahaan tercatat atau emiten keuangan menjadi salah satu sektor penopang penguatan tersebut dua hari terakhir. Sebagai contoh, saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) yang menyentuh harga saham tertinggi (all time high/ATH) mencapai Rp 10.000 pada hari ini, saham PT Bank Negara Indonesia Persero Tbk (BBNI) yang juga menyentuh harga ATH setidaknya dalam lima tahun terakhir hingga sekitar Rp 6.000. Dari perbankan swasta, ada Bank CIMB Niaga Tbk yang juga mencapai harga ATH sampai Rp 2.020.
Analis MNC Sekuritas, Herditya Wicaksana, mengatakan, saham emiten dalam indeks IDX Financial secara teknikal masih berada pada fase tren kenaikan harga. ”Secara sentimen, kami memperkirakan menguatnya emiten-emiten perbankan dipengaruhi oleh rilis kinerja tahunan di 2023 yang baik dan adanya rencana pembagian dividen,” katanya kepada Kompas.
Secara terpisah, Analis Infovesta Kapital Advisori, Arjun Ajwani, menambahkan, investor juga membaca masa depan bagus bagi sektor keuangan dari segi pertumbuhan kinerja perbankan. ”Fundamental kuat terkait prospek bisnis bagus tahun ini karena ekspektasi pertumbuhan kredit yang cukup tinggi juga mendorong kenaikan harga sahamnya sejak awal tahun,” ujarnya.
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiaatmadja, sebagai contoh, menemukan bahwa permintaan kredit menjelang momen Pemilu 2024 justru meningkat sebesar 5,8 persen pada triwulan IV-2023 dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Peningkatan tersebut utamanya berasal dari kredit investasi.
”Artinya, orang lebih berani investasi untuk perkembangan usahanya didorong oleh ekspektasi perkembangan bisnis ke depan. Pengaruh tahun politik 2024 memang tidak terlalu signifikan atau cukup wajar. Secara umum, perkembangan bisnis tidak terlalu tinggi, tetapi tidak negatif atau flat sehingga masih ada ekspektasi pertumbuhan di situ,” tuturnya, bulan lalu.
Secara tahunan, BCA optimistis mampu mencapai pertumbuhan kredit di kisaran 8-10 persen pada 2024 atau tidak jauh berbeda dengan capaian 2023. Sementara itu, BI memproyeksikan penyaluran kredit pada 2024 sebesar 10-12 persen.
Meskipun perbankan kerap terlambat menyesuaikan kenaikan suku bunga acuan yang ditetapkan Bank Indonesia (BI), seperti kenaikan yang terjadi pada 2023 dengan total 50 basis poin hingga 6 persen, peluang kenaikan suku bunga kredit perbankan kecil (Kompas.id, 26/1/2024). Di tambah lagi, tahun ini, BI diperkirakan menurunkan suku bunga acuannya di semester kedua 2024.
Rawan koreksi
Dalam jangka pendek, investor diperingatkan akan potensi koreksi atau penurunan harga saham. Herditya mengatakan, di tengah tren kenaikan belakangan, IHSG akan menguat terbatas dan harga-harga saham yang meroket tersebut rawan terkoreksi. ”Koreksi ini cukup wajar mengingat penguatan IHSG yang cukup agresif,” ujarnya.
Potensi ini diindikasikan dari tidak adanya reli kenaikan IHSG sejak pemilu. Analis pasar Head of Research Mirae Asset, Robertus Hardy, dalam keterangannya hari ini menjelaskan, ini dapat dilihat dari indeks penutupan perdagangan yang selalu lebih rendah daripada indeks pembukaan.
Koreksi ini cukup wajar mengingat penguatan IHSG yang cukup agresif.
Indikasi lainnya adalah besarnya nilai jual bersih saham di kalangan investor domestik. Kamis lalu, investor domestik melakukan penjualan saham dengan nilai Rp 10,4 triliun daripada pembelian yang hanya sebesar Rp 7,7 triliun.
Di sisi lain, investor asing lebih banyak melakukan pembelian sebesar Rp 10 triliun daripada penjualan sebesar Rp 6,2 triliun. Namun, transaksi asing tersebut tidak sebesar transaksi domestik sehingga sentimen yang membuat turun IHSG masih cukup besar.
Dalam kondisi seperti itu, Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus, mengatakan, investor perlu lebih bijak menentukan langkah investasi mereka dengan menyesuaikan kebutuhan dan membaca pola di emiten yang akan dipilih.
”Kalau saham berkapitalisasi besar sedang naik cukup tinggi, menunggu bisa jadi pilihan, membeli lagi bisa jadi kesempatan,” ujarnya.
Saat memutuskan untuk membeli saham yang sedang naik harganya, secara umum, ia menyarankan agar investor membaca durasi investasi dari investor yang ada, kemudian profil risiko investor. Adapun menjual saham yang harganya sudah meroket itu bisa jadi pilihan jika ingin mendulang keuntungan.