Keberpihakan presiden mendatang terhadap visi poros maritim perlu dibangkitkan dan menjadi fokus pembangunan.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tugas besar menanti pemerintahan mendatang untuk menyelesaikan sejumlah pekerjaan rumah terkait keberpihakan pada sektor maritim, termasuk kelautan dan perikanan. Kebijakan-kebijakan di sektor maritim perlu kembali menjadi arus utama dan didorong agar lebih berdaya saing.
Dari hasil hitung cepat Litbang Kompas diprediksi, Pemilu 2024, khususnya pada pemilihan presiden, akan berlangsung hanya dalam satu putaran. Ini karena pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, unggul.
Founder dan CEO Ocean Solutions Indonesia, Zuficar Mochtar, mengemukakan, presiden dan wakil presiden terpilih perlu mengarusutamakan sektor kelautan dan maritim dalam kebijakan ataupun strategi sehingga menjadi fokus pembangunan. Selama ini, kawasan pesisir dan pulau kecil merupakan wilayah yang paling tertinggal dan sering diabaikan.
”Perlu komitmen dan inisiatif kuat untuk mengembalikan khitah Indonesia sebagai negara maritim yang bisa menyejahterakan masyarakatnya. Tidak cukup hanya dikelola 1-2 kementerian,” ujar Zulficar saat dihubungi di Jakarta, Rabu (14/2/2024).
Menurut Zulficar, kebijakan dan program di sektor maritim, termasuk kelautan dan perikanan, selama ini masih sangat kecil manfaat dan dampaknya bagi kondisi sosio-ekonomi masyarakat, dan justru sebaliknya kerap memicu degradasi besar terhadap kondisi ekologi. Eksploitasi serampangan di wilayah kelautan, pesisir, dan pulau-pulau kecil dalam bentuk reklamasi dan penambangan memicu konflik di lapangan, menyebabkan masyarakat terpinggirkan dan gangguan ekosistem. Oleh karena itu, perlu reformulasi strategi dan program yang lebih berdampak positif.
”Program harus berpihak dan memberikan perhatian ke masyarakat pesisir dan nelayan kecil, anak buah kapal, pekerja perikanan, dan bukan hanya kepada pelaku usaha besar,” katanya.
Eksploitasi serampangan di wilayah kelautan, pesisir, dan pulau-pulau kecil dalam bentuk reklamasi dan penambangan memicu konflik di lapangan, menyebabkan masyarakat terpinggirkan dan gangguan ekosistem.
Selain itu, masalah kelautan dan maritim yang dihadapi saat ini, seperti praktik-praktik penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur (IUU Fishing), penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing), kejahatan kelautan, krisis iklim, pangan, kemiskinan pesisir, pencemaran, degradasi ekosistem, sampah plastik, serta konversi lahan membutuhkan penanganan serius melalui koordinasi lintas sektor.
Lebih terarah
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Teknologi Muhammadiyah Jakarta Suhana saat dihubungi secara terpisah mengemukakan, kebijakan kelautan dan perikanan saat ini belum memiliki arah yang jelas sehingga cenderung berubah ketika pejabat berganti. Presiden terpilih periode 2024-2029 diharapkan menekankan kebijakan kelautan dan perikanan yang lebih terarah.
Presiden terpilih juga harus mengembalikan kepercayaan internasional terkait keseriusan Indonesia dalam menindak IUU Fishing. Berdasarkan studi organisasi independen Global Initiative Against Transnational Organized Crime (ATOC) dan Lembaga Riset Perikanan dan Lingkungan Kelautan Poseidon, pada Desember 2023, Indonesia menempati urutan ke-6 negara berkinerja terburuk dengan kerentanan IUU Fishing dari 152 negara pesisir. Kinerja terburuk itu di bawah China, Rusia, Yaman, India, dan Iran.
Ia mencontohkan, kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota yang menuai kontroversi harus kembali dikaji agar tidak berdampak pada privatisasi perikanan tangkap dan menimbulkan celah pelanggaran. Selain itu, rencana ekspor benih bening lobster perlu dibatalkan karena bertentangan dengan program ekonomi biru yang diusung pemerintah serta keberlanjutan sumber daya lobster di Indonesia. Pemerintah harus melihat pelajaran penting dari hilangnya benih bandeng periode 1970-an lalu karena di tangkap dan diekspor.
Kendala pasar
Dari sisi daya saing di pasar ekspor, pemerintah perlu meningkatkan penetrasi pasar tujuan ekspor. Selama ini, pasar komoditas perikanan Indonesia hanya terkonsentrasi di beberapa negara tujuan ekspor, seperti Amerika Serikat, China, dan Jepang. Akibatnya, ketika terjadi gejolak pasar, produk perikanan Indonesia mengalami penurunan, seperti yang terjadi pada produk udang dan produk ikan beku.
Kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota yang menuai kontroversi harus kembali dikaji agar tidak berdampak pada privatisasi perikanan tangkap dan menimbulkan celah pelanggaran.
Penetrasi pasar perlu dilakukan dengan terus meningkatkan sinergi yang melibatkan Kementerian Perdagangan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Luar Negeri dalam negosiasi pasar serta meningkatkan promosi dagang produk perikanan Indonesia. Kebijakan-kebijakan di dalam negeri juga perlu terus ditata agar tidak mendorong biaya tinggi yang membebani pelaku usaha.
Hal senada dikemukakan Ketua I Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) Dwi Agus. Selama ini, pemasaran produk perikanan cenderung dibiarkan jalan masing-masing, di tengah masih adanya hambatan pasar terutama pasar Uni Eropa.
Hilirisasi perikanan yang mendukung nilai tambah dan pemasaran juga menghadapi kendala karena minimnya sinkronisasi industri sektor hulu dan hilir. Industri perikanan tangkap untuk alat tangkap rawai (longline) tuna terus berupaya membenahi aspek hulu ke hilir. Ini antara lain program pengembangan perikanan dan kompetensi anak buah kapal.
”Muncul kesan, sektor hulu dan hilir jalan sendiri-sendiri, padahal harusnya saling terkait erat untuk meningkatkan daya saing. Di sini peran pemerintah diperlukan untuk memfasilitasi hulu-hilir dan mendorong pemasaran,” kata Dwi Agus.
Ia menambahkan, rencana penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota masih perlu dimatangkan dengan didukung pembenahan data serta melibatkan pelaku usaha. Pemberian kuota tangkapan ikan disesuaikan dengan kapasitas kapal. Sisa kuota bisa ditawarkan dengan memprioritaskan pelaku kapal-kapal perikanan yang selama ini beroperasi.