RI Mau Jadi Negara Maju, Strategi Pengembangan SDM Masih “Kabur”
Ada jurang pemisah antara strategi kebijakan ekonomi dan pengembangan SDM. Keduanya semestinya berjalan beriringan.
Oleh
AGNES THEODORA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berkali-kali menegaskan pentingnya pengembangan sumber daya manusia yang unggul untuk mencapai cita-cita Indonesia menjadi negara maju pada tahun 2045. Namun, sampai sekarang, belum tampak strategi peta jalan kebijakan yang jelas untuk mencapai tujuan tersebut.
Padahal, Indonesia mesti berkejaran dengan waktu untuk mengerek laju pertumbuhan ekonomi dan memanfaatkan peluang bonus demografi. Bonus demografi, atau kondisi ketika masyarakat berusia produktif (15-64 tahun) lebih banyak daripada masyarakat usia nonproduktif (di atas 64 tahun), diperkirakan akan berakhir paling cepat pada 2039.
Artinya, pemerintah hanya punya waktu maksimal 15 tahun untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas untuk mengisi peluang-peluang kerja yang diciptakan industrialisasi. Dengan mengasumsikan masa wajib belajar 12 tahun, strategi itu mesti dimulai dari sekarang jika ingin mencetak SDM baru usia muda yang berkualitas pada 2039.
Namun, berbagai kalangan mengingatkan, Indonesia bisa terlambat merebut momentum itu. Menurut Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Teguh Dartanto, Selasa (13/2/2024), sampai sekarang belum ada orkestrasi kebijakan pemerintah yang jelas dan terarah untuk mewujudkan SDM yang unggul tersebut.
”Belum ada upaya yang serius untuk mengembangkan SDM yang unggul, menanggulangi dampak learning losses (berkurangnya pengetahuan dan keterampilan secara akademis) akibat pandemi. Pemerintah masih fokus pada schooling (bersekolah), tetapi bukan learning (belajar). Belum ada roadmap yang jelas mau seperti apa arahnya,” kata Teguh saat dihubungi.
Ia menilai, masih ada jurang pemisah antara kebijakan ekonomi dan pengembangan SDM. Gelagat itu salah satunya tampak dari kebijakan hilirisasi tambang yang digencarkan pemerintah sejak tahun 2020. Hilirisasi masif dengan nilai investasi yang tinggi itu tidak diiringi persiapan kualitas pendidikan dan keterampilan terhadap warga lokal. Padahal, semestinya keduanya berjalan beriringan dan terorkestrasi.
”Ketika industrialisasi atau hilirisasi itu dibangun, sementara SDM-nya ternyata tidak mendukung, yang terjadi adalah impor tenaga kerja asing untuk pekerjaan yang sebenarnya bisa di-support oleh tenaga lokal,” ujarnya.
Di beberapa wilayah sentra hilirisasi nikel, seperti di Morowali dan Morowali Utara, Sulawesi Tengah, mayoritas pekerja yang bekerja di smelter-smelter nikel memang orang Indonesia. Namun, sebagian besar hingga sekitar 80 persen berasal dari luar daerah, seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, sampai Jawa.
Posisi berketerampilan tinggi dengan standar upah lebih tinggi pun lebih banyak dipegang oleh tenaga kerja asing dan luar daerah. Sementara pekerja setempat yang keterampilannya belum mumpuni karena minim persiapan, terserap di posisi berketerampilan rendah dengan upah pas-pasan (Kompas, 5/2/2024).
Hal itu ikut berkontribusi membuat tingkat kemiskinan di sejumlah wilayah sentra nikel tetap saja bertengger tinggi di dua digit, meskipun pertumbuhan ekonomi di provinsi-provinsi tersebut melejit hingga dua digit pula.
Menurut Teguh, semestinya ada evaluasi dan pemetaan yang jelas terkait arah kebutuhan SDM di masa depan, lengkap dengan kebutuhan keterampilan yang perlu dikembangkan.
”Masalahnya, tidak banyak yang punya visi jangka panjang pengembangan SDM di Indonesia. Padahal, mengembangkan SDM itu butuh waktu panjang dan tidak bisa quick win. Sebagian besar masih fokus pada sesuatu yang cepat ada hasilnya dan terlihat,” kata Teguh.
Kebijakan industrialisasi dan hilirisasi sumber daya alam, ujarnya, memang perlu dikembangkan sebagai solusi menjadi negara maju. Namun, strateginya harus dipikirkan secara komprehensif dan sesuai dengan profil sosial-ekonomi masyarakat Indonesia.
”Hilirisasi itu harus berkelanjutan dan inklusif dan salah satu hal mendasar yang perlu diperbaiki untuk itu adalah kualitas SDM yang harus ditingkatkan lewat akses yang merata dan berkualitas. Mau bangun apa pun, industrialisasi atau hilirisasi, permasalahan mendasar kita adalah isu SDM,” ujarnya.
Serupa, ekonom senior dan anggota tim asistensi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Raden Pardede menilai, kebijakan pengembangan SDM untuk menuju cita-cita negara maju memang perlu dievaluasi kembali. Salah satu yang ia soroti adalah kecenderungan Indonesia yang sampai sekarang masih terlalu ”mendewakan” sarjana.
Pandangan ini mengakar di level pemerintah sampai perusahaan swasta yang terjebak pada anggapan bahwa SDM yang berkualitas harus selevel sarjana. Hal itu membuat pekerja lulusan sekolah menengah atas (SMA) tidak memiliki kesempatan kerja yang layak karena syarat lowongan kerja yang rata-rata memasang standar sarjana.
”Kita selalu melihat seakan-akan SDM yang bagus itu harus sarjana, magister (S-2), doktor (S-3). Itu memang perlu, tetapi sebenarnya dengan wajib belajar 12 tahun, kita bisa membarengi mayoritas masyarakat berpendidikan SMA dengan bekal skill yang relevan dengan kebutuhan industri,” ujarnya.
Oleh karena itu, menurut dia, kualitas pendidikan yang perlu dibenahi bukan hanya di tingkat universitas atau pendidikan tinggi, tetapi fokus pada pembenahan di tingkat wajib belajar 12 tahun, dari sekolah dasar (SD) sampai SMA.
Dengan begitu, meski masih lulusan SMA, seseorang tetap bisa memiliki kemampuan analitik dan teknis yang memadai dan tetap bisa terserap di lapangan kerja yang berkualitas.
”Sarjana tetap ada sebagai jalur khusus, tetapi mesti ada jalur umum di mana lulusan SMA pun ditingkatkan keahliannya dan bisa direkrut oleh perusahaan. Sekarang ini, kan, seakan-akan semua orang yang tidak mampu dari sisi keuangan pun harus sarjana demi bisa bekerja. Akibatnya, orang-orang malah terjebak pinjaman daring,” kata Teguh.