Meritokrasi, Rahasia di Balik Keajaiban China
Dari negara miskin pada 1960-an, China dalam empat dekade tumbuh pesat sampai menjadi negara adidaya. Apa rahasianya?
Keajaiban China. Inilah predikat yang acapkali disematkan kepada China atas performa ekonominya yang konsisten mengilap selama beberapa dekade terakhir.
Sejak reformasi ekonomi diinisiasi pemimpin China, Deng Xiaoping, pada 1978, China tumbuh menjadi salah satu negara dengan laju pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia. Selama 1989-2018, China tumbuh rata-rata 9,61 persen per tahun sekaligus tumbuh menjadi raja manufaktur dunia. Investasi dan ekspor adalah tulang punggungnya.
Dan sejak 2010, China telah menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua setelah Amerika Serikat (AS).
Pada 1980, China adalah negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar ke-10 di dunia. Pada tahun-tahun berikutnya, China melesat. Satu per satu negara dengan PDB yang lebih besar berhasil disalip, mulai dari Brasil, Kanada, Italia, Inggris, Perancis, Jerman, Jepang, dan Rusia.
Dan sejak 2010, China telah menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua setelah Amerika Serikat (AS). Pakar hubungan internasional dari Universitas Chicago, John Mearsheimer, menyatakan, China adalah peer competitor-nya AS.
Singkat cerita, China tumbuh menjadi raksasa manufaktur dunia dengan produksi lebih dari 500 jenis barang yang pemasarannya menjangkau ke berbagai penjuru bumi. Sejalan dengan itu, China juga mesin perdagangan terbesar di dunia yang konsisten mencatatkan surplus setiap tahun sejak 1990.
Pada masa pandemi sekalipun, China konsisten membukukan surplus perdagangan yang terus meroket, dari 523,99 miliar dollar AS pada 2020 atau lebih kurang Rp 8.183 triliun ke 837,93 miliar dollar AS atau lebih kurang Rp 13.090 triliun.
China tumbuh menjadi raksasa manufaktur dunia dengan produksi lebih dari 500 jenis barang yang pemasarannya menjangkau ke berbagai penjuru bumi.
Pada 2023, negara ”Tirai Bambu” itu kembali mencatatkan surplus perdagangan senilai 823,22 miliar dollar AS atau lebih kurang Rp 12.855 triliun. Bandingkan dengan kapasitas belanja pemerintah Indonesia alias APBN 2024 senilai Rp 3.325 triliun.
Lebih dari 500 juta warga terentaskan dari kemiskinan sejak reformasi ekonomi sampai hari ini. Inilah sekelumit keajaiban China.
Gerbang 1978
Namun, bukan berarti China tak lagi memiliki pekerjaan rumah. Di bidang teknologi dan inovasi, China barangkali masih berada di belakang AS, Jepang, dan sejumlah negara Eropa. Berkat penerapan skema transfer teknologi bagi investor asing mulai 1980-an, kesenjangan penguasaan teknologi dapat dipangkas.
Pekerjaan rumah lain adalah menyangkut isu lingkungan hidup. Demikian pula dengan demokrasi dan hak asasi manusia yang selalu menjadi sasaran kritik dari dunia Barat. Meski demikian, catatan ini tak lalu memburamkan kilau capaian obyektif ekonomi China.
Keajaiban China tetaplah keajaiban China dan reformasi ekonomi pada 1978 adalah gerbangnya. Reformasi ekonomi dan pembukaan pasar China adalah prakondisi bagi tinggal landasnya China. Ada pula faktor budaya suka menabung dan pendidikan tinggi ala konfusianisme yang disebut menjadi kunci penting oleh pengajar pada China Europe International Business School (CEIBS) Zhu Tian.
Meritokrasi adalah tiket emas mencapai pertumbuhan ekonomi.
Namun, ada faktor yang kurang banyak disebut, yakni sistem meritokrasi politik, mekanisme seleksi-promosi kepemimpinan lokal-nasional alias kaderisasi yang kompetitif. Sejumlah pihak bahkan menilai bahwa rahasia di balik sukses ekonomi China adalah sistem meritokrasi negara itu.
”Meritokrasi adalah tiket emas mencapai pertumbuhan ekonomi. Jika kita melemahkannya, kita sama saja dengan menyerahkan diri pada stagnasi dan menyerahkan masa depan kepada China,” kata Adrian Wooldridge, kolumnis Bloomberg, dalam artikelnya yang terbit pada 16 Mei 2021.
Wooldridge dalam artikel itu sebenarnya menyindir gelombang populisme di AS dan Eropa. Ia sekaligus merujuk sistem meritokrasi China yang membawa ekonomi negara itu tumbuh progresif.
Kaderisasi
Ada yang menyebut bahwa China memiliki sistem kaderisasi kepemimpinan politik terbaik di dunia. Adalah pemimpin China, Mao Zedong, yang menginisiasi kesadaran pentingnya kaderisasi itu.
Dalam salah satu instruksinya pada Oktober 1938, Mao menegaskan, ”Setelah garis politik ditetapkan, kader adalah faktor penentu. Oleh karena itu, adalah tugas partai untuk melatih kader dalam jumlah besar dengan jalan yang terencana.”
Pada awal masa revolusi China, promosi kader banyak ditentukan melalui penunjukan oleh para petinggi partai. Ini merupakan warisan tradisi militer lama. Masa jabatan permanen menjadi salah satu ciri.
Setelah garis politik ditetapkan, kader adalah faktor penentu. Oleh karena itu, adalah tugas partai untuk melatih kader dalam jumlah besar dengan jalan yang terencana.
Terhadap sistem lama tersebut, Deng Xiaoping selaku pemegang estafet pemimpin Partai Komunis China (PKC) berikutnya melontarkan kritik yang tertuang dalam pidato berjudul ”Reformasi Sistem Kepemimpinan Negara dan Partai Politik”, Agustus 1980.
Pemimpin de facto China selama 1978 hingga awal 1990-an itu menyebut bahwa kekuasaan sudah terlalu terpusat dan terkonsentrasi di tangan beberapa individu yang membuat keputusan-keputusan semaunya sendiri mengikuti sistem patriarki.
Akar ideologi
Deng pun mereformasi sistem kaderisasi yang dibangun oleh Mao dan telah berlangsung selama empat dekade itu. Persis dua tahun setelah meluncurkan reformasi ekonomi, Deng mereformasi sistem kaderisasi. Langkah ini dilakukan secara paralel dengan mereformasi tempat persemaian utama kader, yakni pelayanan publik di jalur eksekutif.
Deng membangun sistem kaderisasi baru yang efisien dan berorientasi pada modernisasi China. Caranya adalah dengan membangun sistem promosi kepemimpinan yang hierarkis dan kompetitif.
Dalam hal kader, empat prasyarat yang digariskan Deng adalah loyal pada semangat revolusi, relatif muda, berpendidikan, dan terampil pada bidang tertentu.
Dalam hal kader, empat prasyarat yang digariskan Deng adalah loyal pada semangat revolusi, relatif muda, berpendidikan, dan terampil pada bidang tertentu. Sementara pada birokrasi, organisasi dibuat lebih ramping dan efisien.
China melalui sistem meritokrasinya itu berusaha menghasilkan pemimpin-pemimpin lokal-nasional terbaik dengan akar ideologi dan prinsip-prinsip kebijakan yang telah digariskan dengan akar sosialisme berkarakter China. Resep inilah yang, antara lain, menjamin konsistensi dan keberlanjutan pembangunan serta menciptakan lahan subur dan iklim kondusif bagi tumbuhnya perekonomian lokal-nasional.
40 tahun
Hal ini pula yang sekaligus menjelaskan kausalitas antara mengilapnya performa ekonomi China dan sistem promosi kepemimpinan lokal-nasional yang kompetitif. Rasionalisasinya begini, negara bangsa akan maju ketika seluruh unitnya dipimpin orang-orang kompeten dan berintegritas.
Dan pada hilirnya, hanya orang yang teruji sukses menangani perkara kecil sampai perkara besarlah yang layak memimpin negara dengan populasi penduduk mencapai 1,4 miliar jiwa dan wilayah setara dengan lima kali luas wilayah Indonesia tersebut.
China seperti halnya negara-negara lain butuh pemimpin lokal-nasional berkualitas. Tak ada cara lain untuk memanen pemimpin-pemimpin seperti itu kecuali menyemai kader-kader unggul dalam sistem promosi kepemimpinan lokal-nasional yang hierarkis-kompetitif.
Sebelum mencapai tampuk kekuasaan tertinggi, Presiden China saat ini, Xi Jinping, harus menapaki 16 jabatan publik selama 40 tahun.
Sebelum mencapai tampuk kekuasaan tertinggi, Presiden China saat ini, Xi Jinping, harus menapaki 16 jabatan publik selama 40 tahun, mulai dari level pemimpin tingkat desa sampai wakil presiden. Tak ada jabatan rangkap sepanjang tahapan itu. Satu jabatan untuk setiap periode kepemimpinan.
Akumulasi penduduk yang diadministrasikan Xi sepanjang jabatan publik sebelum menjadi presiden mencapai 150 juta jiwa. Ini bukan jalan khas Xi. Seluruh pemimpin China modern menapaki tangga serupa. Inilah sistem meritokrasi yang dibangun dan dijalankan oleh PKC.
Anak tangga
Tak ada anak petinggi partai yang mendadak dipromosikan langsung ke "langit". Tak ada anak pejabat atau mantan pejabat negara yang punya jalur khusus. Tak ada darah biru atau patron apa pun yang bisa mendadak ke puncak.
Setiap warga negara harus menapaki sistem promosi yang satu dan sama. Jaringan sebagai nilai plus tentu lumrah dan berlaku di negara mana pun dan dalam profesi apa pun. Namun, semua calon pemimpin nasional China harus melalui seluruh anak tangga kepemimpinan satu demi satu. Tanpa kecuali!
Syarat dasar untuk menjadi presiden di China adalah terdaftar sebagai anggota PKC. Saat ini, anggota PKC sekitar 80 juta jiwa. Hanya 7 juta di antaranya yang tembus uji kompetensi dasar untuk menjadi kader pelayan publik yang diberi kesempatan memulai karier di level setingkat desa atau kelurahan.
Dari 140.000 kader, hanya satu orang yang tembus sampai level provinsi.
Hierarki kader untuk sampai mencapai kursi presiden butuh lebih-kurang 10 level, mulai dari desa, kecamatan, kabupaten atau kota, provinsi, kementerian, sampai induk badan usaha milik negara China. Dari 140.000 kader, hanya satu orang yang tembus sampai level provinsi.
Setiap kader yang memiliki performa gemilang akan dipromosikan terus ke atas. Ukuran gemilang tidak hanya merujuk pada performa ekonomi atau obyektif lainnya pada unit administrasi yang dipimpin, tetapi juga menyangkut integritas personal. Tidak pernah tersangkut skandal dan korupsi adalah mutlak.
Setiap kali promosi jabatan, kader tidak langsung ditempatkan di kursi pimpinan, tetapi di level wakil atau deputi terlebih dahulu. Dan pada satu level administrasi, kader bisa ditugasi di beberapa tempat dengan skala yang semakin besar. Xi, misalnya, pernah ditugasi menjadi gubernur sebanyak tiga kali, mulai dari provinsi skala kecil, menengah, sampai besar.
Apakah sistem promosi kepemimpinan lokal-nasional China sempurna? Tentu tidak. Banyak catatan tentunya. Apakah sistem meritokrasi yang dijalankan negeri Tirai Bambu itu terbaik di dunia? Relatif. Lain padang, lain belalang.
Setiap negara dengan model pemerintahan dan sistem politiknya masing-masing tentu punya sistem promosi kepemimpinan lokal-nasionalnya sendiri-sendiri. Terpenting adalah bahwa apa pun yang dipilih dan dijalankan, sistem itu mesti bekerja efektif dan efisien menghasilkan pemimpin-pemimpin beretika, berintegritas, kompeten, dan visioner sehingga membawa bangsa adil dan sejahtera.
Namun, setidaknya ada best practice yang secara universal tak bisa disangkal; sistem meritokrasi menjamin negara dan bangsa mendapatkan pemimpin-pemimpin berkualitas. Sebaliknya, cara-cara instan dan feodal hanya akan menghasilkan pemimpin-pemimpin dengan kedangkalan karakter sehingga justru berisiko membahayakan bangsa.
Cara-cara instan dan feodal hanya akan menghasilkan pemimpin-pemimpin dengan kedangkalan karakter sehingga justru berisiko membahayakan bangsa.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Wakil Presiden periode 2009-2014 Boediono pada acara peluncuran Laporan Perekonomian 2017 oleh Bank Indonesia (BI) di Jakarta, 2018, menyampaikan pesan yang lebih kurang beririsan antara situasi nasional dan pelajaran yang bisa diambil dari China itu.
Boediono berpendapat, persoalan mendasar dalam pembangunan ekonomi pascareformasi 1998 adalah kebijakan pemerintah yang tak efektif. Salah satu penyebab utamanya adalah lingkungan politik yang tidak mendukung pertumbuhan elemen-elemen kebijakan yang efektif, yakni fokus, berlanjut, koheren, dan rasional.
”Perbaikan lingkungan politik merupakan proses jangka panjang. Namun, agenda itu harus dimulai dan terus dilakukan,” katanya.