Benang Kusut Ekonomi Biaya Tinggi di Indonesia
Investasi selaku motor pertumbuhan ekonomi yang solid belum mampu mendongkrak ekonomi lepas dari jebakan 5 persen.
JAKARTA, KOMPAS — Berbagai langkah reformasi struktural dan pembangunan infrastruktur besar-besaran yang dilakukan pemerintah dalam sembilan tahun terakhir tidak mampu mengungkit pertumbuhan ekonomi yang masih stagnan di kisaran 5 persen. Ekonomi Indonesia masih saja berbiaya tinggi, yang berakar dari praktik korupsi dan biaya logistik yang tinggi.
Setidaknya sudah 11 tahun terakhir ini perekonomian Indonesia stagnan di kisaran 5 persen. Rata-rata pertumbuhan ekonomi selama periode pertama pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (tahun 2014-2019) adalah 5,03 persen. Sementara rata-rata pertumbuhan ekonomi di periode kedua Jokowi-Ma’ruf Amin adalah 5,18 persen.
Berdasarkan data terakhir Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi Indonesia tumbuh 5,05 persen secara tahunan (year on year), menurun dari pertumbuhan ekonomi tahun 2022 yang sebesar 5,31 persen. Saat itu, ekonomi mampu tumbuh tinggi karena terkerek kenaikan harga komoditas dunia (commodity boom).
Baca juga: Jalur Ekonomi Indonesia Kian Terjal Menuju Negara Maju
Menurut ekonom senior Raden Pardede, Senin (12/2/2024), dalam beberapa tahun terakhir investasi yang semestinya menjadi motor pertumbuhan ekonomi yang solid belum mampu mendongkrak perekonomian Indonesia hingga lepas dari jerat 5 persen.
Meskipun dari segi nilai realisasi investasi naik hampir empat kali lipat dalam satu dekade terakhir dari Rp 398,6 triliun (tahun 2013) menjadi Rp 1.418,9 triliun (tahun 2023), pertumbuhan ekonomi masih ”jalan di tempat” di kisaran 5 persen setiap tahun.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau omnibus law dengan upaya memangkas birokrasi dan peraturan semestinya bisa mengatasi berbagai kendala dalam berinvestasi dan menciptakan iklim berusaha yang lebih efisien. Namun, ujar Raden, UU tersebut belum mampu mengatasi berbagai kendala berinvestasi itu.
”Semestinya UU Cipta Kerja bisa memangkas berbagai inefisiensi itu, tetapi implementasinya masih bermasalah. Ini pekerjaan rumah yang perlu jadi perhatian pemerintahan berikutnya,” kata Raden saat dihubungi.
Saat ini, investasi di Indonesia masih terhitung tidak efisien, seperti terlihat dari indikator incremental capital to output ratio (ICOR) Indonesia yang masih relatif tinggi. Per Maret 2023, menurut catatan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, ICOR Indonesia masih di angka 7,6. Itu menghasilkan ekonomi berbiaya tinggi yang jadi kendala berinvestasi.
Selain isu logistik, faktor korupsi dan pungli yang merajalela juga membuat biaya investasi di Indonesia masih tinggi.
ICOR dapat menjadi salah satu parameter untuk mengukur tingkat efisiensi investasi di suatu negara. Semakin tinggi nilai ICOR-nya, semakin tidak efisien suatu negara untuk investasi. Padahal, investasi seharusnya bisa menjadi penggerak ekonomi yang lebih solid dibandingkan dengan konsumsi rumah tangga yang saat ini masih jadi penopang utama perekonomian Indonesia.
Sebagai perbandingan, sejumlah negara maju saat ini memiliki ICOR di bawah 3 persen. Demikian pula negara tetangga di Asia Tenggara memiliki ICOR yang lebih rendah daripada Indonesia.
”Seharusnya kita fokus ke dua-duanya, menarik investasi yang jorjoran dari sisi nilai, tetapi ICOR-nya juga dibenahi. Justru dengan membenahi ICOR itu, investor bisa lebih tertarik melakukan investasi yang berkualitas,” ujar Raden, yang juga anggota tim asistensi Kemenko Perekonomian.
Logistik dan korupsi
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Teguh Dartanto mengatakan, berbagai faktor, dari biaya logistik, praktik korupsi, hingga pungutan liar (pungli) yang tinggi di birokrasi pusat sampai daerah, berkontribusi membuat biaya investasi tinggi dan pertumbuhan ekonomi terhambat.
Dari sisi logistik, pembangunan infrastruktur sudah mulai berdampak pada penurunan biaya logistik. Namun, pembangunan infrastruktur memang butuh waktu (lag time) untuk memberi dampak ke perekonomian. Tak hanya itu, pembangunan infrastruktur juga masih belum cukup berkualitas dan tepat sasaran untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi.
Baca juga: Ekonomi Tumbuh di Bawah Potensi, Industrialisasi Dipetakan Ulang
Menurut dia, harus ada kebijakan komprehensif antara pemerintah pusat dan daerah. ”Pusat membangun infrastruktur yang besar, sedangkan daerah membangun infrastruktur yang bisa menghubungkan proyek besar itu dengan infrastruktur yang kecil-kecil sehingga bisa mengoneksikan ekonomi daerah dengan pasar nasional ataupun internasional,” kata Teguh.
Selain isu logistik, faktor korupsi dan pungli yang merajalela juga membuat biaya investasi di Indonesia masih tinggi. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tercatat turun dari skor 40 (dari 100) dan ranking 85 di dunia pada tahun 2019 menjadi 34 pada tahun 2023 dan merosot ke peringkat 115 dunia.
Jika ditelisik lebih detail terkait indikator penyusun IPK, terjadi penurunan skor pada indikator ekonomi dan investasi dalam lima tahun terakhir. Misalnya, data PRS International Country Risk Guide oleh PRS Group yang menurun 3 poin (35 ke 32) dibandingkan pada tahun 2022 dan turun 26 poin (58 ke 32) dibandingkan pada tahun 2019.
International Country Risk Guide menganalisis korelasi antara korupsi finansial dan sistem politik. Sebagai contoh, praktik korupsi di sektor bisnis, seperti nepotisme, suap, relasi patron-klien antara politisi dan pebisnis, proteksi korporasi oleh polisi, dan urusan perpajakan.
Indikator lain dari sisi ekonomi dan investasi, seperti Global Insight Country Risk Ratings oleh IHS Markit Economics, tercatat stagnan dari tahun 2019 ke 2023 (skor 47). Global Insight Country Risk menganalisis risiko suap dan praktik korup lainnya yang harus dihadapi pelaku usaha saat berinvestasi di suatu negara.
Pertumbuhan ekonomi kita semestinya sudah bukan bertumpu pada akumulasi kapital, melainkan pembangunan SDM unggul dan institusi ekonomi, politik, dan sosial yang inklusif.
Teguh menegaskan, pembangunan ekonomi suatu negara di fase awal biasanya bertumpu pada akumulasi modal fisik. Pada fase kedua, pembangunan ekonomi bersandar pada peningkatan sumber daya manusia. Pada fase ketiga, bergantung pada pengembangan SDM dan pembangunan institusi yang inklusif. Penanganan korupsi dan perbaikan institusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah bentuk upaya membangun institusi yang inklusif.
”Indonesia seharusnya sudah berada di fase dua dan tiga. Artinya, motor pertumbuhan ekonomi kita semestinya sudah bukan bertumpu pada akumulasi kapital, melainkan pembangunan SDM unggul dan institusi ekonomi, politik, dan sosial yang inklusif. Reformasi dan transformasi struktural ekonomi ke depan perlu dikawal dengan baik,” kata Teguh.
Masih berproses
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah masih terus berupaya menurunkan tingkat ICOR agar lebih efisien. Menurut dia, pertumbuhan ekonomi yang masih tertahan di 5 persen adalah hal wajar.
Sebab, Indonesia masih berupaya membangun infrastruktur untuk membangun kemudahan logistik untuk menekan biaya logistik dan menaikkan efisiensi berinvestasi di Indonesia. Ia menyadari, ICOR Indonesia memang masih tinggi di antara negara lain. Untuk menjadi negara maju, ICOR harus ditekan dari 7,6 menjadi setidaknya 4 persen.
”Dibandingkan dengan negara lain, ICOR kita memang masih tinggi. Kalau kita bisa turunkan ke angka 4 persen, pertumbuhan ekonomi kita semestinya bisa tumbuh ke 6-7 persen. Nanti, kalau logistik kita sudah terbangun, kita bisa menggenjot pertumbuhan lewat perbaikan ICOR,” kata Airlangga.
Baca juga: Beban Ganda Industrialisasi di RI