Yang Mudah Masuk tapi Sulit Keluar di Pasar Modal
Emiten bermasalah tidak mudah ”didepak” dari lantai bursa. Bahkan, ada aturan yang dianggap menjadi penghambat.
Mendapatkan dana dari masyarakat dan go-public kian mudah dilakukan perusahaan-perusahaan di dalam negeri. Bursa Efek Indonesia membuka lebar kesempatan pada perusahaan yang beraset hingga di bawah Rp 50 miliar untuk melantai di bursa. Namun, ketika bermasalah, penyelenggara bursa justru kelimpungan.
Hingga pekan pertama Februari 2024, tercatat 915 perusahaan terdaftar di bursa. Dalam waktu dekat, 24 perusahan lain akan bergabung. Jumlah itu baru sebagian dari 62 perusahaan baru yang direncanakan melakukan pencatatan umum perdana (IPO) di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama 2024.
Banyaknya perusahaan baru yang tercatat di BEI terus tumbuh progresif. Ini bahkan sejak pandemi Covid-19, mulai dari hanya 51 perusahaan pada 2020, bertambah menjadi 53 perusahaan pada 2021. Tren ini terus berlanjut pada 2022 dengan 56 perusahan baru yang tercatat. Kemudian, pada 2023, sebanyak 79 perusahaan lainnya menyusul.
Tidak hanya perusahaan besar, perusahaan yang baru beroperasi satu tahun dan hanya memiliki aset Rp 50 miliar bisa mendapatkan permodalan dari masyarakat.
Masuk ke bursa memang lebih mudah semenjak terbitnya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 53 Tahun 2017. Pasal 1 menyebutkan, tidak hanya perusahaan besar, perusahaan yang baru beroperasi satu tahun dan hanya memiliki aset Rp 50 miliar bisa mendapatkan permodalan dari masyarakat.
Di tengah progresifnya kenaikan jumlah perusahaan baru di bursa, ada sembilan perusahaan publik atau perseroan yang keluar daftar selama 2020 hingga Januari 2024. Berdasarkan skalanya, mayoritas emiten yang keluar daftar itu adalah yang terdaftar pengembangan atau berkategori perusahan skala menengah alias bernilai aset Rp 50 miliar hingga Rp 250 miliar.
Contoh emiten yang masuk dalam daftar pemantauan Bursa Efek Indonesia dan berprotensi delisting
Bertambah
Dari sembilan perusahaan yang keluar daftar selama beberapa tahun belakangan, enam di antaranya keluar pada tahun pertama pandemi. Terakhir adalah PT Bentoel International Investama (RMBA). Perusahaan rokok dan tembakau itu keluar pada Januari 2024 setelah bermasalah sejak pertengahan 2021.
Perusahaan berpotensi keluar daftar diperkirakan terus bertambah tahun ini. Sampai akhir bulan lalu, 78 perusahaan terdaftar masuk dalam papan pencatatan khusus BEI. Perusahaan-perusahaan itu tidak hanya yang keluar dari kualifikasi bursa, tapi juga bermasalah dengan likuiditas, opini laporan keuangan, performa keuangan, sampai melanggar hukum negara.
Dari sembilan perusahaan yang keluar daftar selama beberapa tahun belakangan, enam di antaranya keluar pada tahun pertama pandemi.
Situasi itu bisa diikuti suspensi sehingga investor tidak bisa lagi membeli atau menjual saham perusahaan. Konsekuensi ini membuat rugi investor yang sudah telanjur berinvestasi, tetapi terlambat menarik uangnya. Salah satu bentuk tanggung jawab dari perusahaan terdaftar di bursa atau emiten ketika bermasalah adalah keluar daftar, baik secara paksa maupun sukarela.
Sementara itu, BEI mengaku cukup kesulitan mengeluarkan emiten dari daftar secara paksa. Terlebih sejak OJK merevisi Peraturan OJK (POJK) Nomor 30 Tahun 2017 menjadi POJK Nomor 29 Tahun 2023. Aturan itu mewajibkan perusahaan yang dipaksa keluar daftar untuk membeli kembali (buyback) saham yang dipegang investor.
Tak mudah
Direktur Penilaian Perusahaan di Bursa Efek Indonesia (BEI) I Gede Nyoman Yetna menyatakan, pengeluaran dari daftar secara paksa bukanlah hal yang mudah dan membutuhkan waktu. Apalagi, terkadang ada situasi di mana pengendali dari emiten tertentu tidak mau bekerja sama.
”Untuk force delisting perlu waktu karena bagaimana kita mengutamakan bahwa dengan kondisi bermasalah tadi mereka mampu melaksanakan tugas untuk menjaga hak investor dengan melakukan pembelian kembali,” kata Nyoman kepada wartawan di kantornya, di Jakarta, Senin (5/2/2024).
Baca juga: Pascapandemi, ”Perusahaan Zombi” di Bursa Efek Indonesia Meningkat
Pengeluaran emiten dari daftar secara paksa dengan menuntut pengembalian hak investor, menurut Nyoman, lebih sulit daripada ketika perusahaan memutuskan keluar secara sukarela. Kondisi perusahaan yang keluar secara sukarela umumnya lebih siap untuk menanggung pembelian atas saham.
Untuk itu, dalam upaya menegakkan aturan perlindungan investor, BEI akan memaksa perusahaan bermasalah yang masih bisa diajak bekerja sama. ”Kami upayakan untuk memprioritaskan emiten yang relatif kooperatif, paling tidak ada empat emiten yang saat ini sedang dalam proses (keluar dari daftar),” ungkapnya.
Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal Universitas Indonesia Budi Frensidy berpendapat, aturan pembelian kembali saham oleh perusahaan bermasalah bisa menjadi kendala dalam proses pengeluaran emiten dari daftar. Apalagi jika masalah yang dihadapi perusahaan terkait persoalan keuangan, seperti ekuitas negatif.
”Itu enggak realistis. Kecuali, perusahaan atau pengendali saham pernah memberikan garansi kepada pemegang saham jika terjadi masalah,” katanya kepada Kompas.
Menurut Budi, aturan itu juga bertolak belakang dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas kendati undang-undang ini juga mengizinkan penggunaan kebijakan lain terkait pasar modal.
Aturan pembelian kembali saham oleh perusahaan bermasalah bisa menjadi kendala dalam proses pengeluaran emiten dari daftar.
Pasal 37 Ayat 1 UU Nomor 40 Tahun 2007 mengatur bahwa perseroan dapat membeli kembali saham yang telah dikeluarkan. Langkah ini bisa dilakukan dengan ketentuan bahwa praktik itu tidak menyebabkan kekayaan bersih perseroan menjadi lebih kecil dari jumlah modal yang ditempatkan, ditambah cadangan wajib yang telah disisihkan.
Ketentuan lainnya adalah bahwa jumlah nilai nominal seluruh saham yang dibeli kembali oleh perseroan dan gadai saham yang dipegang oleh perseroan sendiri dan/atau perseroan lain yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung dimiliki oleh perseroan, tidak melebihi 10 persen dari jumlah modal yang ditempatkan dalam perseroan.
Mitigasi risiko
Masalah yang dialami perusahaan terdaftar memang tidak melulu karena kinerja perusahaan tersebut saja. Perubahan kondisi pasar hingga situasi ekonomi nasional dan global juga bisa ikut berpengaruh. Namun, penyelenggara bursa bisa ikut mencegah perusahaan yang berpotensi bermasalah masuk ke bursa dengan memperketat kualifikasi.
Upaya pencegahan, menurut Budi, menjadi jalan terbaik daripada mengatasi kendala dalam mengeluarkan perusahaan bermasalah. ”Jadi, jangan terlalu mengejar kuantitas atau jumlah emiten IPO. Ini enggak ada efek besar buat menambah market share atau transaksi harian, justru akan membuat potensi perusahaan bermasalah di kemudian hari,” ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, BEI menetapkan target ambisius untuk mencapai jumlah emiten tercatat sebanyak 1.000 perusahaan dan nilai rata-rata transaksi harian hingga Rp 12,25 triliun pada 2024. Angka ini jauh lebih tinggi dari realisasi penambahan emiten menjadi 903 di akhir 2023 dan transaksi harian yang sebesar Rp 10,75 triliun.
Adapun target penerbitan efek tahun ini, yang terdiri dari pencatatan saham, efek bersifat utang dan sukuk (EBUS), serta rights issue hanya sebanyak 230 pencatatan. Angka itu lebih rendah dari realisasi penerbitan efek di 2023 yang sebanyak 385 pencatatan.