Tahun Naga Kayu, Bisakah Jadi Momentum Ekonomi China Bangkit dari Keterpurukan?
Konsumsi dalam negeri bisa menjadi ”jamu” untuk perekonomian China yang dihadapkan banyak tantangan berat.
Sejak akhir pekan lalu, jutaan warga China telah memulai eksodus tahunan untuk merayakan tahun baru Imlek. Mudik Imlek di China kerap disebut sebagai migrasi tahunan terbesar dunia.
Otoritas China bahkan memperkirakan jumlah perjalanan domestik dalam perayaan Imlek tahun ini mencapai 9 miliar, sebelum dan setelah masa liburan yang berlangsung 10-17 Februari 2024.
Namun, di tengah ingar-bingar perayaan Imlek, warga China sempat terganggu menjelang puncak perjalanan tahun yang ditandai sebagai tahun Naga Kayu, akibat adanya badai salju yang mengacaukan sistem transportasi.
Suramnya kondisi menjelang Imlek diperkeruh oleh peringatan Dana Moneter Internasional (IMF) bahwa ekonomi China masih akan terus menghadapi tantangan berat dalam beberapa tahun ke depan.
Tantangan yang dimaksud dimulai dari krisis properti, tingginya tingkat penggangguran, hingga populasi penduduk yang menua dengan cepat.
Di atas kertas, perekonomian China pada 2023 tumbuh 5,2 persen, masih di atas sebagian besar negara maju. Namun, pertumbuhan ini terasa semu bagi pemilik rumah atau apartemen yang terbebani penurunan nilai properti mereka, para lulusan universitas yang tak kunjung mendapat pekerjaan, dan para pekerja yang penghasilannya menurun dari tahun-tahun sebelumnya.
Berdasarkan data yang dirilis Biro Statistik Nasional China, Kamis (8/2/2024), Indeks Harga Konsumen (IHK) China turun 0,8 persen pada Januari dibandingkan tahun lalu. Angka ini menandai penurunan selama empat bulan berturut-turut, serta penurunan tertajam sejak September 2009.
Baca juga: Membangun Komunitas Senasib Sepenanggungan sebagai Tujuan Diplomasi China
Sementara itu, pabrik-pabrik di China juga berbondong-bondong memangkas harga produk mereka. Ini tecermin dari Indeks Harga Produsen (IHP) turun 2,5 persen di tahun sebelumnya. Dengan ini, biaya di tingkat pabrik telah mengalami deflasi selama 16 bulan berturut-turut.
Perekonomian China sedang berjuang untuk pulih dari pandemi Covid-19 setelah tak ada lagi pembatasan sejak akhir 2022. Di tengah upaya untuk pulih dari pandemi, ekonomi China mendapat pukulan besar akibat kontraksi di sektor properti yang terlilit utang. Kondisi ini bahkan memicu perusahaan pengembang raksasa asal China, Evergrande, diperintahkan untuk melikuidasi bulan lalu.
Di tengah tren penurunan harga yang melanda China hampir sepanjang tahun lalu, dan bahkan masih berlanjut di awal tahun ini, Negeri Tirai Bambu perlu berjuang untuk menghidupkan kembali permintaan domestik dan keyakinan masyarakat untuk melakukan konsumsi.
Genjot konsumsi
Dalam makalah tinjauan terbaru IMF mengenai prospek China yang diterbitkan pada 2 Februari 2024, kata consumption (konsumsi) disebut hingga 61 kali. Ini menunjukkan betapa vitalnya IMF melihat sektor konsumsi sebagai jalan keluar dari terpuruknya perekonomian China.
Mengutip kolom peneliti di Melbourne Institute of Applied Economic & Social Research, University of Melbourne, Jiao Wang, di laman eastasiaforum.org, secara historis, rasio konsumsi rumah tangga terhadap PDB China lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara setara. Rasio konsumsi rumah tangga China terhadap PDB sebesar 56 persen, masih di bawah India (66 persen) dan Thailand (67 persen).
Baca juga: Asal Efisien dan Kompetitif, Ekonomi RI Tak Akan Terpengaruh China
Berdasarkan analisis IMF, rendahnya konsumsi rumah tangga dan swasta di China tecermin dari tingginya angka tabungan masyarakat. Tabungan ini digunakan untuk membiayai investasi di bidang properti dan infrastruktur. Sayangnya, deflasi membuat hasil investasi ini semakin berkurang seiring berjalannya waktu.
Ketidakseimbangan ini, yang dipadu dengan perlambatan produktivitas tenaga kerja dan semakin menuanya populasi penduduk China, telah menahan laju prospek pertumbuhan ekonomi China.
Dalam perspektif IMF, memang sudah waktunya bagi China untuk meningkatkan konsumsi dalam negeri seiring dengan berlanjutnya kemerosotan sektor properti. Dorongan untuk meningkatkan konsumsi dalam negeri China masuk akal. Konsumen China selama ini memang dikenal pelit, sering kali lebih memilih untuk menabung, alih-alih membelanjakan uangnya.
Peneliti senior dari Paramadina Public Policy Institute, Muhammad Ikhsan, menilai, China masih membutuhkan waktu untuk memulihkan perekonomian mereka dengan melakukan peralihan ekonomi dari yang semula berbasis investasi menuju ekonomi berbasis konsumsi.
”Memang butuh waktu, tapi saya rasa dalam jangka panjang China tetap menarik karena pasar yang besar, sumber daya manusia berlimpah, dan kekuatan vitalitas dari perusahaan-perusahaan raksasa di China itu sendiri,” ujarnya kepada harian Kompas beberapa waktu lalu.
China akan mengembangkan pendorong pertumbuhan baru berskala besar di sektor-sektor ramah lingkungan.
Namun, secara historis, konsumsi atau pengeluaran oleh sektor rumah tangga, pemerintah, hingga swasta di China selalu tak cukup untuk membeli semua barang yang diproduksi di dalam negeri. Kondisi ini selalu menghasilkan surplus barang produksi yang harus diekspor sehingga China telah mengalami surplus perdagangan selama 34 dari 40 tahun terakhir.
Pendorong ekonomi
Tantangan tersebut nyata dan telah siap dihadapi oleh Pemerintah China. Dalam pidatonya di Forum Ekonomi Dunia yang diselenggarakan di Davos, Swiss, 16 Januari 2024, Perdana Menteri China Li Qiang berbicara mengenai penyeimbangan kembali perekonomian negaranya ke arah konsumsi.
Ia memaparkan, saat ini di China terdapat lebih dari 400 juta orang yang berada dalam kelompok berpendapatan menengah. Jumlah tersebut diperkirakan akan mencapai 800 juta orang dalam dekade mendatang. Fokus permintaan konsumen beralih dari kuantitas ke kualitas, yang akan menghasilkan kekuatan pendorong yang kuat untuk meningkatkan konsumsi.
”China akan mengembangkan pendorong pertumbuhan baru berskala besar di sektor-sektor ramah lingkungan yang diperkirakan dapat menghasilkan pasar investasi dan konsumsi sebesar 10 triliun yuan per tahun. Kami akan terus menjajaki dan memenuhi permintaan pasar tersebut,” ujarnya.
Baca juga: Evergrande Diperintahkan Likuidasi Aset
Menurut Ikhsan, ekonomi berbasis konsumsi membutuhkan adanya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Cara yang paling masuk akal adalah membuat masyarakat merasa lebih aman secara finansial sehingga mereka bisa menabung lebih sedikit dan berbelanja lebih banyak.
Hal ini sejalan dengan pemikiran IMF, yakni penting bagi China untuk mengatasi kepercayaan konsumen pada sektor properti, dengan membiayai penyelesaian apartemen atau rumah yang telah dibayar oleh pembeli daripada menalangi para pengembang yang bermasalah.
Di samping itu, memperluas layanan kesehatan dan penyediaan dana pensiun adalah kunci dalam mengembalikan kepercayaan dan rasa aman masyarakat untuk melakukan konsumsi dalam jangka panjang.