Program Internet Gratis, Mungkinkah Terealisasi Optimal?
Survei APJII menyebutkan, tingkat penetrasi internet terhadap populasi penduduk mencapai 78,19 persen pada tahun 2023.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
Calon presiden nomor urut 3, Ganjar Pranowo, dalam debat final, Minggu (4/2/2024), di Jakarta, menyampaikan program internet gratis. Menurut mantan Gubernur Jawa Tengah itu, internet dapat mengatasi masalah kesenjangan di Indonesia. Ia juga menyinggung soal ketimpangan akses internet di Indonesia. Oleh karena itu, program internet gratis menjadi salah satu program unggulan capres yang berpasangan dengan Mahfud MD sebagai calon wakil presiden tersebut.
Namun, apakah program internet gratis sampai ke desa-desa, untuk mengatasi kesenjangan digital, memungkinkan terealisasi secara optimal?
Praktisi hukum dan regulasi telekomunikasi I Ketut Prihadi, Rabu (7/2/2024), di Jakarta, berpendapat, program internet gratis sampai ke desa-desa perlu dikembalikan lagi ke dasar pengaturannya sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi beserta semua peraturan pelaksanaannya. Sesuai UU itu, wilayah pelayanan jasa telekomunikasi dibagi menjadi wilayah yang menguntungkan dan wilayah yang tidak menguntungkan dari sisi bisnis atau disebut wilayah pelayanan universal telekomunikasi (WPUT).
Untuk wilayah yang menguntungkan, operator telekomunikasi menyediakan layanan dan pelanggan membayar layanannya. Sementara untuk WPUT seperti di perdesaan, negara menjamin penyediaan layanan telekomunikasinya lewat penyediaan dana untuk membangun dan menyediakan akses ke jaringan telekomunikasi.
Pemerintah bekerja sama dengan operator telekomunikasi agar layanan telekomunikasi tersebut tersedia di WPUT. Dalam hal ini, operator menerima dana dari pemerintah untuk biaya pembangunan infrastrukturnya.
”Apakah layanan telekomunikasi untuk WPUT, seperti desa, ini harus berbayar atau gratis? Menurut saya, karena tujuan awalnya adalah pemerataan akses telekomunikasi yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan masyarakat di desa, semestinya pada awalnya dapat diberikan secara gratis,” ujar Ketut.
Namun, ia menggarisbawahi, menggratiskan penggunaan akses telekomunikasi secara terus-menerus tidak boleh dilakukan. Setelah kurun waktu tertentu atau setelah taraf hidup masyarakat di WPUT meningkat, pemakaian seharusnya menjadi berbayar sehingga pemerintah tidak perlu lagi menanggung biaya operasionalnya. Desa tidak lagi menjadi bagian dari WPUT lantaran sudah menjadi wilayah yang menguntungkan untuk digelar jaringan dan akses telekomunikasi komersial.
Dalam rezim pemerintahan sebelumnya juga pernah muncul program layanan internet gratis. Salah satunya adalah Mobil Pusat Layanan Internet Kecamatan (MPLIK) di masa 2009–2014. Masyarakat bisa menikmati layanan internet gratis di MPLIK dengan kecepatan 265 kilobit per detik (kbps) tersebut selama empat tahun. Lebih dari masa itu, pengguna akan dikenai biaya.
MPLIK diluncurkan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) pada 2010 sebagai bagian dari program layanan WPUT. Meski secara konsep bagus, menurut Ketut, pelaksanaannya terbengkalai dan pengawasan hukumnya juga lemah.
Terkait pembangunan infrastruktur internet, Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi menjelaskan, sebenarnya sudah ada kebijakan lisensi modern yang berlaku bagi semua operator telekomunikasi. Lisensi modern adalah kebijakan lisensi penyelenggara telekomunikasi yang bertujuan untuk mendorong tersebarnya pembangunan infrastruktur telekomunikasi. Dengan adanya kebijakan ini, proposal izin prinsip penyelenggaraan diwajibkan membuat rencana pembangunan lima tahunan.
”Ketika operator telekomunikasi seluler ikut lelang spektrum frekuensi, mereka pun biasanya dibebani kewajiban membangun infrastruktur telekomunikasi. Operator telekomunikasi seluler mempunyai perencanaan membangun yang jumlahnya sudah disepakati dengan pemerintah,” ungkapnya.
Libatkan daerah
Gagasan internet gratis, menurut Pelaksana Direktur Eksekutif Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Djatmiko Djati, sangat mungkin dijalankan oleh pemerintah. Namun, realisasi program perlu melibatkan pemerintah daerah, Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Kemenkominfo, dan pelaku industri teknologi informasi.
”Sumber dananya bisa berasal dari iuran WPUT dan bersumber dari APBN,” ujarnya, Rabu (7/2/2024).
Program untuk mengatasi kesenjangan akses terhadap internet tersebut memang tak mudah direalisasikan dan membutuhkan dana tak sedikit. Terkait kesenjangan internet, berdasarkan survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang dirilis baru-baru ini, penetrasi internet di Indonesia per 2023 adalah 78,19 persen. Artinya, warga Indonesia yang sudah mampu mengakses internet sebanyak 78,19 persen dari total populasi Indonesia.
Tingkat penetrasi di daerah urban masih paling besar, yaitu 69,5 persen, sementara daerah rural hanya berkontribusi 30,5 persen. Dengan demikian, kesenjangan akses internet di Indonesia memang nyata.
Kendati demikian, angka penetrasi internet dalam beberapa tahun terakhir terus membaik. Pada 2018, angkanya sebesar 64,8 persen, kemudian naik menjadi 73,7 persen pada 2020. Selanjutnya, penetrasi internet tumbuh menjadi 77,01 persen pada 2022.