Realisasi konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,82 persen pada 2023 karena konsumsi masyarakat kelas menengah turun.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Realisasi konsumsi rumah tangga dalam perhitungan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 hanya tumbuh melambat kurang dari 5 persen. Konsumsi tidak lagi menjadi prioritas bagi kalangan masyarakat menengah atas di tengah ketidakpastian ekonomi global dan nasional.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, realisasi konsumsi rumah tangga yang menjadi pendorong utama ekonomi Indonesia pada 2023 hanya tumbuh 4,82 persen. Angka tersebut lebih rendah dari tahun 2022 yang sebesar 4,94 persen yang menjadi titik balik pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19.
Pelaksana Tugas Kepala BPS Amalia Adininggar, dalam rilis BPS, Senin (5/2/2024), mengungkapkan bahwa pelambatan yang terjadi akibat menurunnya konsumsi masyarakat kelas menengah. Seperti diketahui, jumlah masyarakat kelompok kelas menengah Indonesia telah mencapai 53,6 juta atau 20,05 persen penduduk. Bank Dunia mengidentifikasi kelas menengah di Indonesia sebagai orang yang pengeluarannya berkisar Rp 1,2 juta sampai Rp 6 juta dalam sebulan.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, ini dimungkinkan karena pendapatan masyarakat kelas menengah yang berkontribusi besar pada pertumbuhan ekonomi tertekan sepanjang 2023. ”Ada masalah dengan pendapatan yang menekan daya beli,” katanya saat dihubungi pada Selasa (6/2/2024).
Terbatasnya pendapatan, menurut dia, terkait dengan masalah pada usaha dan lapangan kerja, terutama yang berkaitan dengan perdagangan luar negeri; kemudian kenaikan harga pangan yang membuat orang menahan belanja. Meski demikian, ada indikasi masyarakat kalangan ini menaruh uang di instrumen investasi karena melihat situasi ekonomi dan geopolitik saat ini, seperti era suku bunga tinggi hingga pemilu di dalam negeri.
Investasi, kata Bhima, dijadikan pilihan bagi masyarakat ekonomi mapan untuk menghadapi ketidakpastian. Investasi yang aman dan berisiko rendah pun lebih dipilih. ”Mereka masuk instrumen aman, seperti surat utang pemerintah yang aman dan imbal hasilnya masih tinggi, di atas 6 persen dibandingkan dengan bunga deposito yang tidak lebih menarik,” tuturnya.
Data PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) per Desember 2023 menunjukkan, pertumbuhan investor sepanjang tahun hingga bulan lalu, berdasarkan penempatan dana, tertinggi ada di surat utang pemerintah yang disebut Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 20,60 persen. Sampai akhir 2023, ada satu juta lebih investor SBN, yang 97,83 persennya adalah investor individu.
Adapun pertambahan investor pasar modal hanya 18,01 persen hingga mencapai 12,1 juta investor, reksa dana 18,87 persen hingga sekitar 11,4 juta investor, serta saham dan surat berharga lainnya 18,37 persen menjadi sekitar 5,2 juta investor.
Pertumbuhan investor SBN kali ini signifikan dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya pada 2022 dan 2021, yang selalu mengekor pertumbuhan investor di tiga instrumen investasi yang lain. Pada 2021, misalnya, pertumbuhan SBN secara tahunan hanya 32,75 persen, jauh dibandingkan dengan pertimbuhan investor reksa dana sebesar 115,41 persen, saham dan surat berharga lainnya 103,60 persen, dan pasar modal 92,99 persen.
Sepanjang 2023, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (DJPPR Kemenkeu) menggalang dana lewat penerbitan SBN sebesar Rp 298,6 triliun. Ini termasuk penawaran SBN ritel sebanyak tujuh kali dengan realisasi penerbitan mencapai sekitar Rp 150 triliun. SBN ritel itu antara lain SBR012, SR018, ST010, ORI023, SR019, ORI024, dan ST011. Pinjaman masyarakat ke negara lewat SBN tahun 2023 melampaui hasil penawaran tujuh SBN ritel sepanjang 2022 yang tercatat mencapai Rp 107,42 triliun.
Selain berinvestasi secara konservatif di dalam negeri, Bhima juga menyebut, masyarakat kaya yang memiliki simpanan di atas Rp 5 miliar juga cenderung memilih menginvestasikan uangnya di luar negeri di kondisi seperti ini. ”Saya menduga kelompok ini mengalihkan uang ke deposito valas di luar negeri karena imbal hasil 4-5 persen, jauh dari deposito valas di domestik,” katanya.
Tren berinvestasi di luar negeri juga terjadi karena sebelumnya masyarakat ekonomi tersebut sempat merasakan kenaikan harga komoditas. Ini diindikasikan dengan nilai total hasil ekspor yang tidak masuk devisa hasil ekspor (DHE).
Saya menduga kelompok ini mengalihkan uang ke deposito valas di luar negeri.
Data distribusi simpanan Lembaga Penjamin Simpanan per November 2023 menunjukkan, jumlah simpanan valas di bank domestik sebesar Rp 1.253 triliun. Angka tersebut hanya mengalami pertumbuhan sebesar 0,2 persen dalam periode 1 bulan dan 5,6 persen dalam periode 3 bulan.
Pertumbuhan simpanan valas yang kecil itu sebelumnya dimitigasi pemerintah dengan mewajibkan minimal 30 persen DHE ditempatkan dalam sistem keuangan Indonesia selama minimal tiga bulan. Kebijakan ini berlaku mulai Agustus 2023.
Pemilihan instrumen investasi yang aman juga tidak dimungkiri membuat investasi seperti saham menjadi lebih berisiko. Senada dengan Bhima, Community Lead PT Indo Premier Sekuritas Angga Septianus juga menganalisis, pemilu menjadi salah satu sentimen yang wajib diperhatikan investor, terutama yang beraktivitas dalam waktu jangka menengah.
”Ketidakpastian hasil pemilu dan potensi pengunduran Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan akan menghambat aliran dana asing,” katanya dalam keterangan tertulis, Senin.
Sentimen lainnya seperti sentimen inflasi China yang saat ini masih deflasi. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) awal pekan ini pun masih bergerak di level 7.200 atau lebih rendah dari perdagangan di awal tahun 2024, yang menyentuh rekor di level 7.300.