Pengusaha Sayangkan Isu Produktivitas Buruh Luput dalam Debat Capres
Isu krusial peningkatan produktivitas tenaga kerja luput dalam pembahasan debat capres terakhir.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku usaha menyayangkan minimnya pembahasan produktivitas tenaga kerja di Indonesia dalam debat terakhir calon presiden yang mengangkat tema kesejahteraan sosial serta pembangunan sumber daya manusia dan inklusi, Minggu (4/2/2024) malam.
Padahal, baik produktivitas maupun kualitas tenaga kerja merupakan fondasi penting dari program industrialisasi dan hilirisasi yang dicanangkan pemerintah sebagai kunci bagi Indonesia untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap).
Wakil Ketua Umum Bidang Pengembangan Otonomi Daerah Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Sarman Simanjorang menilai, pemerintahan baru semestinya menaruh perhatian lebih terhadap isu rendahnya produktivitas pekerja di Indonesia untuk segera dicari solusinya.
Produktivitas tenaga kerja di Indonesia masih jauh berada di bawah Singapura, Brunei Darussalam, bahkan Malaysia.
”Jika masalah ini dibiarkan berlarut, program industrialisasi akan berjalan di tempat. Saat ini 90 persen tenaga kerja Indonesia merupakan lulusan pendidikan menengah ke bawah yang ditampung di industri padat karya,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Senin (5/2/2024).
Berdasarkan data yang dihimpun Organisasi Buruh Internasional (ILO) dan diolah Kadin Indonesia, setiap satu jam, satu tenaga kerja di Indonesia menyumbang 12,96 dollar AS atau setara Rp 200.000 terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2021. Nilai itu menunjukkan output yang dihasilkan setiap tenaga kerja dalam periode waktu tertentu.
Di Asia Tenggara, produktivitas pekerja Indonesia masih jauh berada di bawah Singapura yang menyumbang 74,15 dollar AS per orang per jam terhadap PDB, Brunei Darussalam (55,92 dollar AS per orang per jam), Malaysia (25,59 dollar AS per orang per jam, dan Thailand (15,06 dollar AS per orang per jam).
Sarman menekankan pentingnya pemerintahan baru nanti untuk melakukan evaluasi kurikulum sekolah vokasi agar para pekerja bisa mendapatkan skill dan kompetensi yang mumpuni. Menurut dia, saat ini di tataran pendidikan menengah, kurikulum di sekolah menengah kejuruan (SMK) masih berorientasi pada teori.
”Padahal, di negara lain, seperti Jerman, pemerintah lebih memaksimalkan siswa SMK untuk praktik di industri besar. Jadi, mungkin kurikulumnya perlu diubah supaya siswa dapat lebih banyak praktik ketimbang teori,” ujar Sarman.
Evaluasi kurikulum SMK dan sekolah vokasi dinilai dapat memaksimalkan siswa agar menjadi tenaga kerja yang diharapkan oleh dunia usaha dan dunia industri. Di sisi lain, kompetensi yang meningkat akan berbanding lurus pada peningkatan produktivitas dan kesejahteraan dari para tenaga kerja.
Sebelumnya, Deputi Bidang Ekonomi Digital, Ketenagakerjaan, dan UMKM Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Mohammad Rudy Salahuddin mengatakan, masalah ketidaksesuaian antara suplai dan permintaan di pasar tenaga kerja akan teratasi saat sistem informasi pasar tenaga kerja terpadu (labor market information system) telah berjalan dengan baik.
”Tetapi, saat ini labor market information system di Indonesia belum berjalan dengan baik sehingga suplai dan permintaan kita belum ketemu. Oleh sebab itu, kita mendorong koordinasi dalam payung hukum untuk revitalisasi pendidikan dan pelatihan vokasi,” ujarnya kepada Kompas beberapa waktu lalu.
Adapun payung hukum yang dimaksud adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 68 Tahun 2022 tentang Revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi. Perpres ini bertujuan mereformasi lembaga pendidikan vokasi agar tenaga kerja yang dihasilkan dapat seusai dengan kebutuhan pasar kerja. Ini dilakukan dengan cara membekali sumber daya manusia dan tenaga kerja dengan kompetensi untuk bekerja dan berwirausaha.
”Terkait upaya reformasi ini juga harus berani untuk misalnya melebur atau menutup sekolah-sekolah yang dianggap sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan dari industri,” kata Rudy.