Jalur Ekonomi Indonesia Kian Terjal Menuju Negara Maju
Terkungkung di jalur pertumbuhan ekonomi 5 persen selama 11 tahun terakhir, Indonesia makin sulit naik kelas.
JAKARTA, KOMPAS — Genap 11 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan di level 5 persen. Padahal, untuk naik kelas dari negara berpendapatan menengah ke tinggi, ekonomi Indonesia setidaknya mesti tumbuh minimal 6 persen. Jendela waktu akselerasi makin sempit, 2025-2029. Sementara tantangan ke depan kian berat dengan kompleksitas persoalan, menyusul ketidakpastian ekonomi global akibat fragmentasi politik internasional yang mengeras.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada Senin (5/2/2024), ekonomi Indonesia pada 2023 tumbuh 5,05 persen secara tahunan. Capaian ini lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi pada 2022 yang mencapai 5,31 persen dan mencatat rekor tertinggi sejak 2014. Artinya, mendekati jendela waktu akselerasi, pertumbuhan ekonomi Indonesia justru melambat.
Sepanjang 2023, ekonomi Indonesia bahkan sempat tumbuh di bawah 5 persen pada triwulan III. Saat itu, pertumbuhan ekonomi hanya 4,94 persen secara tahunan karena tekanan kondisi ekonomi global dan perlambatan perdagangan dunia, serta fenomena El Nino di dalam negeri.
Baca juga: Ekonomi RI Tumbuh 5,05 Persen, Lebih Rendah dari 2022
Setidaknya, dalam 11 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat hanya bisa mencapai level 5 persen. Ini di luar pertumbuhan yang ”anjlok” saat Covid-19 pada 2020 dan 2021. Titik tertinggi pertumbuhan ekonomi yang pernah dicapai selama periode ini adalah 5,78 persen pada 2013.
Di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia sempat mengalami tren pertumbuhan ekonomi di level 6 persen. Ini terjadi pada 2007 (6,3 persen), 2008 (6 persen), 2010 (6,2 persen), 2011 (6,2 persen), dan 2012 (6 persen).
Ledakan komoditas
Namun, pertumbuhan ekonomi di jalur 6 persen ini lebih banyak bergantung pada periode ledakan harga komoditas (commodity boom) yang menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagai salah satu eksportir komoditas utama dunia. Selanjutnya, mulai 2013, laju pertumbuhan ekonomi melambat ke level 5 persen. Sampai 2023!
Padahal, Indonesia memiliki cita-cita atau ”ambisi” untuk menjadi negara maju saat menginjak usia 100 tahun pada 2045. Untuk mencapai titik itu, jendela waktunya semakin singkat. Sebab, setidaknya mulai 2025, Indonesia sudah harus bisa mengerek pertumbuhan ekonominya ke level setidaknya 6-7 persen.
Namun, pertumbuhan ekonomi di jalur 6 persen ini lebih banyak bergantung pada periode ledakan harga komoditas (commodity boom) yang menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagai salah satu eksportir komoditas utama dunia.
Pelaksana Tugas Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan, ekonomi RI pada 2023 melambat dibandingkan 2022 karena faktor perlambatan ekonomi global serta penurunan harga komoditas ekspor unggulan. Sementara dari sisi domestik, fenomena El Nino yang sempat muncul pada pertengahan 2023 semakin menahan kinerja ekonomi.
Meski demikian, ia tidak melihat perlambatan itu sebagai hal yang perlu dikhawatirkan. Sebab, kondisi ekonomi dunia pun saat ini sedang tidak baik-baik saja. ”Di tengah perlambatan ekonomi global, ekonomi Indonesia yang tetap bisa tumbuh 5,05 persen itu adalah prestasi karena ekonomi kita masih bisa solid terjaga,” katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Senin.
Sumber pertumbuhan baru
Peneliti Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Teuku Riefky, menilai, pertumbuhan ekonomi yang stagnan, bahkan menyentuh titik terendah dalam delapan triwulan terakhir pada triwulan III-2023, menjadi peringatan yang bisa menjauhkan RI dari cita-cita menjadi negara maju.
Indonesia, Riefky melanjutkan, belum menemukan sumber pertumbuhan baru yang lebih stabil dan solid. Hal itu membuat ekonomi Indonesia berada di posisi yang rentan dan gampang naik-turun mengikuti siklus bisnis dan peristiwa musiman.
Indonesia, Riefky melanjutkan, belum menemukan sumber pertumbuhan baru yang lebih stabil dan solid.
”Beberapa tahun terakhir, kinerja ekonomi kita cenderung bergantung pada siklus bisnis, di mana ekonomi Indonesia mencatat pertumbuhan tinggi hanya selama periode harga komoditas global yang tinggi atau saat peristiwa musiman tertentu. Ini warning bahwa kita belum punya cukup sumber pertumbuhan ekonomi yang stabil,” kata Riefky.
Ketergantungan Indonesia yang tinggi pada perubahan siklus ekonomi global itu misalnya tampak pada 2022. Ketika terjadi ledakan harga komoditas, ekonomi RI bisa tumbuh hingga 5,31 persen. Namun, begitu siklus ledakan harga komoditas berakhir, pertumbuhan ekonomi turun ke 5,05 persen pada 2023.
Strategi industrialisasi
Ekonomi Indonesia, menurut Riefky, juga terlalu bergantung pada faktor musiman, seperti momen hari raya dan libur panjang yang bisa menggerakkan konsumsi rumah tangga sebagai penopang ekonomi domestik. Ini terlihat pada triwulan III-2023 ketika pertumbuhan ekonomi melambat. Salah satunya karena tidak ada faktor musiman yang bisa menopang konsumsi seperti di triwulan II.
Jalan ke depan pun semakin tidak mudah. Kondisi ekonomi global dalam beberapa tahun ke depan diprediksi tidak akan baik-baik saja. Berbagai lembaga internasional telah memprediksi ekonomi Indonesia akan melambat seiring dengan ekonomi dunia yang juga melesu. Bank Dunia bahkan memproyeksikan ekonomi RI hanya akan tumbuh 4,9 persen pada 2025.
Baca juga: 2025-2035, Masa Krusial Penentu Indonesia Maju atau Tidak
Riefky menekankan, untuk bisa menjadi negara maju, diperlukan strategi industrialisasi yang lebih efektif. Sayangnya, Indonesia justru secara konsisten menunjukkan tanda-tanda deindustrialisasi dini dalam beberapa tahun terakhir, lepas dari upaya industrialisasi atau ”hilirisasi” tambang yang digencarkan rezim Joko Widodo.
”Sepanjang era Presiden Megawati Soekarnoputi hingga Presiden Jokowi, sektor manufaktur secara konsisten menyusut dan tumbuh di bawah tingkat pertumbuhan PDB nasional,” katanya.
Kontribusi konsisten turun
Pada pemerintahan Megawati, rata-rata rasio sektor manufaktur terhadap PDB nasional adalah 27,93 persen, menurun menjadi 26,05 persen pada periode pertama Susilo Bambang Yudhoyono. Rasio ini menyusut lagi menjadi 22,42 persen pada periode kedua SBY. Tren penurunan berlanjut ke 22,02 persen pada periode pertama Jokowi dan 21,15 persen pada periode kedua Jokowi (sampai 2023).
Terkait hal itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pertumbuhan ekonomi RI yang tertahan di 5 persen adalah hal wajar. Itu karena Indonesia masih dalam proses membangun infrastruktur untuk membangun kemudahan logistik, yang pada akhirnya bisa menaikkan efisiensi berinvestasi di Indonesia.
Baca juga: Beban Ganda Industrialisasi di RI
Saat ini, Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia per Maret 2023 masih 7,6 persen. ICOR dapat menjadi salah satu parameter untuk mengukur tingkat efisiensi investasi suatu negara. Semakin tinggi nilai ICOR-nya, semakin tidak efisien suatu negara untuk investasi.
Sejumlah negara maju saat ini memiliki ICOR di bawah 3 persen. ”Dibandingkan negara lain, kita masih tinggi. Kalau kita bisa turunkan ke angka 4 persen, maka pertumbuhan ekonomi kita pun bisa tumbuh ke 6-7 persen. Nanti kalau logistik kita sudah terbangun, kita bisa menggenjot pertumbuhan dengan perbaikan ICOR,” kata Airlangga.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa, dalam kunjungannya ke kantor harian Kompas, di Jakarta, Jumat (12/1/2024), menyatakan, skenario jika pemerintahan business as usual, pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan hanya akan stagnan di level 5 persen.
Perhitungan Bappenas, Indonesia tidak akan keluar dari middle-income trap alias tinggal kelas di level negara berpendapatan menengah sampai dengan 2045 jika laju pertumbuhan hanya di kisaran 5 persen.
Oleh karena itu, Suharso menekankan, Indonesia butuh pertumbuhan ekonomi minimal 6 persen. Untuk itu, Indonesia perlu mendorong sumber-sumber pertumbuhan baru, seperti industrialisasi, dan mengupayakan agar fiskal lebih optimal mendorong perekonomian sehingga multiplier ekonominya lebih terasa. Ekonomi biru juga mesti menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru.
Berdasarkan simulasi Bappenas, jika pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 6 persen, Indonesia akan menjadi negara maju pada 2041. Jika pertumbuhan ekonominya sekitar 7 persen, Indonesia akan menjadi negara maju pada 2038. Tahun 2024 adalah masa transisi menuju akselerasi pertumbuhan ekonomi.