Konsep pinjaman biaya pendidikan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tengah dirumuskan oleh Kementerian Keuangan bersama Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Pinjaman kemungkinan akan menyerupai program student loanyang diterapkan di Amerika Serikat.
Di sejumlah negara maju, seperti AS, student loan diberikan bagi mahasiswa untuk membiayai keperluan selama kuliah. Pembayaran pinjaman itu akan dicicil saat mahasiswa sudah lulus kuliah dan bekerja. Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan masih akan menggodoknya.
Wacana ini menguat setelah muncul polemik mahasiswa yang membayar biaya kuliah menggunakan pinjaman daring. Sejumlah universitas bahkan telah melakukan kerja sama dengan lembaga peminjam. Bagaimana tanggapan warga dan mahasiswa? Berikut kutipannya.
Aku setuju student loan. Skema loan akan memudahkan orang berpenghasilan bulanan rendah bisa mendapat pendidikan yang sama. Tetapi bagaimana skemanya? Apakah bunga per bulan, per semester, atau per tahun? Aku setuju kalau skemanya tak berbunga karena selama ini yang bikin berat adalah bunganya. Kalau kita ambil pinjaman dengan bunga 2-3 persen, nanti bunganya menggulung. Akibatnya, bisa jadi uang kuliah tunggal (UKT) jauh lebih mahal pada akhir perhitungan.
Skema lainnya, jangka waktu pelunasan tak ditentukan, tapi peminjam bisa mengembalikan setelah pendapatan tertentu.
Pakai skema pertama atau kedua tak masalah, intinya bunga ditiadakan.
Bayyu Putra Hadhiana (29), karyawan swasta sekaligus mahasiswa S-1
Student loan merupakan investasi untuk diri kita sendiri, tetapi pinjaman ini enggak bisa diimplementasikan ke semua orang. Kita harus melunasi sesuai perjanjian (termasuk bunganya). Kalau enggak bisa menanggung konsekuensinya, ya, enggak usah pinjam.
Aku setuju untuk skema sistem pinjaman berbasis pendapatan yang dibayarkan setelah mahasiswa lulus bekerja hingga mendapat penghasilan sesuai batas tertentu. Seseorang yang sudah bekerja akan memiliki daya beli dan daya survive lebih tinggi. Ini berbeda saat kuliah, kita perlu meluangkan waktu untuk belajar, mengatur jam tidur, sehingga tingkat stres tinggi.
Kalau student loan menggunakan sistem semacam kredit pemilikan rumah (KPR), penjaminnya harus orangtua. Secara tak langsung, orangtua yang mati-matian untuk melunasi.
Ranisa Sarah Novindra (27), karyawan di Jakarta
Buat aku yang punya impian untuk studi Psikologi Profesi, setuju saja dan mendukung adanya program student loan. Apalagi sekarang kondisi finansial orangtua sudah enggak seperti dulu dan studi Psikologi Profesi itu juga enggak bisa disambi kerja. Perlu ada asesmen juga menurutku lewat background checking seperti orang mau ambil kredit supaya tepat sasaran dan bener-bener uangnya bisa dikembalikan.
Elisabeth Dian Selvita (24), karyawati swasta di Jakarta
Kalau ada kebijakan program student loan, aku sepakat, karena ini untuk pendidikan. Cuma, memang harus ada pengawasan yang ketat. Pemerintah sebaiknya selektif dalam memilih orang-orangnya, lalu harus dilihat juga profil universitasnya, tentu yang berkualitas dan terpercaya, serta pastikan juga penerimanya bisa mendapatkan pekerjaan. Jangan sampai ketika sudah dapat student loan, nanti si penerima justru kesulitan mengembalikan karena susah cari kerja.
Carolus Arya Pandu Yasa (26), karyawan swasta di Jakarta