Ekonomi Rendah Karbon Melalui CCS, Bagaimana Peluang Indonesia?
Indonesia memiliki potensi besar untuk kapasitas penyimpanan CO2. Di sisi lain, ada sejumlah tantangan dalam CCS.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
Penangkapan dan penyimpanan karbon atau carbon capture and storage/CCS kian jadi perbincangan di tengah transisi energi, bahkan sempat disinggung di salah satu sesi debat Pemilu Presiden 2024. Pemerintah pun selangkah lagi meluncurkan regulasi terkait teknologi yang diyakini bakal menunjang peralihan dari energi fosil ke energi rendah emisi itu.
CCS ialah teknologi penangkapan dan penyimpanan emisi karbon sehingga tidak terlepas ke atmosfer. Karbon yang dihasilkan, baik dari industri minyak dan gas bumi maupun nonmigas, ditangkap kemudian disuntikkan ke perut bumi. Penyimpanan karbon dioksida (CO2) bisa di depleted reservoir (reservoir migas yang telah mengalami penurunan produksi) atau saline aquifer (reservoir air bersalinitas tinggi).
Pada industri migas, CO2 yang ditangkap juga dapat dimanfaatkan untuk memberi incremental (penambahan) produksi minyak ataupun gas bumi. Dengan demikian, teknologi tersebut disebut carbon capture, utilization and storage (CCUS).
Lantas, bagaimana peluang Indonesia dalam CCS/CCUS?
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) dalam sejumlah kesempatan menyebut Indonesia dianugerahi kapasitas penyimpanan CO2 yang besar, termasuk dari reservoir migas yang mengalami penurunan produksi. Potensi kapasitas penyimpanan CO2 disebut berkisar 400-600 gigaton di depleted reservoir dan saline aquifer.
Sementara berdasarkan data studi kolaboratif Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), potensi kapasitas penyimpanan karbon dioksida di Indonesia sekitar 2 gigaton pada sumur migas yang tidak lagi berproduksi dan 10 gigaton pada saline aquifer. Itu tersebar di sejumlah wilayah di Indonesia.
Dalam mendukung pemanfaatan potensi CCS di Indonesia, pemerintah segera menerbitkan peraturan presiden. Regulasi itu akan melengkapi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan CCS dan CCUS pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
”Perpres (tentang CCS) seharusnya dalam waktu dekat dapat diluncurkan secara resmi. Semua proses sudah dilalui,” ujar Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Marves Jodi Mahardi di sela-sela peluncuran International & Indonesia CCS Forum 2024, di Jakarta, Selasa (23/1/2024). Edisi kedua forum tahunan itu akan diselenggarakan pada 31 Juli-1 Agustus 2024.
Jodi menjelaskan, selain pemanfaatan depleted reservoir, perpres itu juga akan mengatur pelaksanaan CCS di saline aquifer yang berarti di luar wilayah kerja (WK) migas. Selain itu, industri nonmigas juga dapat melaksanakan itu, seperti industri baja, kaca, dan smelter.
”Juga membuka peluang untuk melakukan crossborder (CCS lintas batas) meski alokasi domestik tetap lebih besar. Kami membuka crossborder untuk mencapai aspirasi kita (Indonesia) sebagai regional hub. Dengan kebutuhan investasi yang besar, crossborder akan membantu investasi masuk, yang pada akhirnya membuat industri kita bisa memanfaatkan CCS dengan cost lebih rendah,” ujarnya.
Melalui praktik CCS lintas bantas, CO2 yang dihasilkan industri di negara lain dapat diangkut untuk kemudian diinjeksikan ke depleted reservoir/saline aquifer di Indonesia. Itu disertai, antara lain, biaya penyimpanan (storage fee) dan biaya injeksi (injection fee).
Mengutip laman International Institute for Sustainable Development (IISD), biaya CCS bergantung pada jenis proses serta teknologinya. Biaya penangkapan CO2 diperkirakan berkisar 27-48 dollar Kanada per ton untuk proses CO2 terkonsentrasi dan 50-150 dollar Kanada per ton pada proses CO2 yang diencerkan (diluted gas streams).
Adapun proyek CCS/CCUS terdepan di Indonesia yakni oleh bp, perusahaan multinasional migas, di Teluk Bintuni, Papua Barat, lewat proyek CCUS Tangguh. Proyek tersebut ditargetkan mulai beroperasi (onstream) pada 2026 atau 2027. SKK Migas mencatat, berdasarkan hasil kalkulasi bp, selama 30 tahun injeksi CO2 mulai 2026/2027, hanya diperlukan 2 persen dari total kapasitas penyimpanan bp.
Sementara itu, PT Pertamina (Persero) juga mengembangkan CCS, salah satunya bekerja sama dengan ExxonMobil di Cekungan Asri dan Cekungan Sunda, bagian barat Laut Jawa. CCS Hub tersebut akan menyediakan akses terhadap saline aquifer yang dapat menampung setidaknya 3 gigaton CO2 dari industri padat karbon dalam negeri ataupun kawasan.
Tantangan
Manajer Institut Teknologi Bandung Centre of Exellence for CCS/CCUS Muhammad Rachmat Sule menuturkan, di samping perlunya pembiayaan yang besar, tantangan dalam implementasi CCS adalah perangkat kebijakan. Sejauh ini, sudah didukung dengan Peraturan Menteri ESDM dan bursa karbon. Adapun terbitnya Perpres tentang CCS masih dinanti.
”Yang juga diperlukan adalah mekanisme untuk sertifikasi kredit karbon,” ucapnya.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat ada sejumlah tantangan dan risiko yang perlu diatasi terkait dengan CCS. Misalnya, potensi kebocoran selama proses penangkapan, pengangkutan, dan penyimpanan CO2.
”Lalu, potensi dampak dari penyimpanan jangka panjang karbon di bawah tanah serta risiko kesehatan yang mungkin muncul dari kebocoran atau pencemaran air tanah,” kata Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bidang Energi Haruni Krisnawati saat membacakan sambutan pada 4th International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas (ICIOG) di Bali, September 2023.
Berdasarkan pertimbangan itu, KLHK merekomendasikan pengembangan CCS dilakukan dengan aman serta tidak mengganggu sumber daya air dan kualitas tanah. Selain itu, proyek CCS juga dapat diprioritaskan pada wilayah yang telah terdegradasi atau bekas pertambangan dengan mempertimbangkan dampak pada lingkungan dan kesehatan manusia.
Sementara itu, Ketua Komite Shifting Energi dan Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi pada Ikatan Ahli Geologi Indonesia Handoko Teguh Wibowo menuturkan, secara teori, penyimpanan CO2 di dalam reservoir aman. Sebab, kenyataannya memang ada CO2 di dalam bumi.
”Tantangannya adalah pemilihan layer atau aquifer yang dijadikan target. Neracanya harus benar-benar dikalkulasi, seperti antara ruang yang tersedia dengan materi yang akan mengisinya,” kata Handoko.