Di tengah upaya pemulihan, industri hiburan dihadapkan dengan rencana pemerintah menaikkan pajak industri hiburan.
Oleh
MEDIANA, YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·4 menit baca
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berlaku per Januari 2024. Dari 12 kelompok jasa kesenian dan hiburan, 11 di antaranya dikenai tarif umum maksimal 10 persen. Sisanya, seperti diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan spa, dikenai tarif pajak minimal 40 persen dan maksimal 75 persen.
Merespons keberatan pelaku usaha, pemerintah telah menyatakan akan memberi keringanan pajak. Namun para pelaku usaha menilai kebijakan ini sebatas solusi jangka pendek yang belum memberikan kepastian hukum dalam jangka menengah-panjang.
Bagaimana aspirasi para pelaku usaha di industri hiburan? Apa saja keberatan dan harapan mereka di tengah industri yang tengah menggeliat setelah hampir tiga tahun masa pandemi Covid-19 "tiarap"? Berikut petikan aspirasi mereka dari sejumlah daerah.
Kenaikan pajak hiburan sebesar 40-70 persen bisa berdampak negatif ke bisnis spa di jaringan hotel kami. Peningkatan biaya operasional bisa memaksa bisnis untuk menaikkan harga layanan sehingga berpotensi mengurangi minat tamu. Namun, dampak pasti tergantung pada berbagai faktor lain, termasuk bagaimana kenaikan pajak itu direspons daerah.
Corporate Communication Manager Jambuwuluk Hotels & Resorts Martha W Thomas
Kondisinya berat ya, terutama untuk spa. Hiburan lainnya mungkin saya rasa hampir sama juga kena imbasnya. Pascapandemi Covid-19, kami baru mau memulai spa, tamu-tamu percaya dan datang lagi, malah kena masalah pajak jadi naik 40 persen ini.
Jika kenaikan pajak tetap diterapkan, kami akan bebankan kenaikan 40 persen ke pelanggan, enggak mungkin ditanggung sendiri. Kalau perawatan seharga Rp 300.000, otomatis harganya akan menjadi sekitar Rp 420.000. Pelanggan akan keberatan membayar sebesar itu, akhirnya kami akan kehilangan pelanggan.
Secara keseluruhan, pengeluaran untuk karyawan mencapai 30 persen pendapatan. Hal itu belum termasuk komponen dan pajak lainnya. Kemungkinan outlet yang tak berkinerja baik akan tutup.
Artinya, penetapan pajak ini akan sangat menghambat kami untuk bisa kembali pulih seperti sebelum pandemi dulu. Tahun 2023 belum bisa setara dengan 2019, secara bisnis tahun tersebut sedang puncak jayanya.
Sejak dibangun Ibu Martha Tilaar, spa bukan ke arah hiburan karena tak ada yang dipertontonkan. Spa benar-benar untuk perawatan kesehatan, kecantikan supaya kita lebih bugar dengan melancarkan peredaran darah. Ada scientific proof bahwa memang ini untuk kebugaran.
General Manager Martha Tilaar SPA, Ita Utamiwati
Kalau manfaat kebijakan menaikkan pajak hiburan, saya sebagai pelaku industri pariwisata belum pernah mendapat sosialisasi. Akan tetapi, sebelum jauh berbicara manfaat, kami yang punya hotel sekaligus layanan spa merasa keberatan dengan besarnya kenaikan.
Bagi pengusaha, dibebankan pajak hampir setengah persen itu sangat tidak masuk akal. Setelah terpotong biaya operasional ditambah pajak sebesar itu, sisa yang bisa diperoleh pengusaha sebagai pendapatan bersih mungkin akan menjadi kecil.
Di sisi lain, jika berbicara spa, kami rasa spa itu tidak bisa dikategorikan sebagai hiburan. Dikelompokkan ke dalam kebugaran akan jauh lebih masuk akal.
Manajer Honai Resort Ubud, I Gusti Ngurah Agus Adi Putra
Sampai sekarang saja, saya belum bisa menerapkan pajak karena tamu menolak, enggak mau datang, hingga cancel pesanan. Daripada mereka enggak datang, enggak mau bayar, jadi ya kami terima pakai pajak lama.
Nah, tapi kami harus setor 40 persen, bagaimana? Memusingkan. Teorinya begitu, tapi praktiknya di lapangan berbeda. Kalau tamu tak mau bayar, kami menolak tamu, kami juga enggak dapat omset. Kalau enggak ada omset, negara enggak rugi karena kita alat untuk menarik pajak. Kecuali pajak 40 persen tiba-tiba diberlakukan ke masyarakat langsung, tanpa perantara.
Masalahnya, dalam konteks ini, masyarakat membayar lewat kami, pihak swasta yang punya usaha, berinvestasi semua dibayar sendiri. Kami yang rugi. Pajak hiburan ini dibebankan ke konsumen di luar service charge, komponen (pengeluaran) bertambah. Hal ini jadi dilema.
Pelaku usaha Karaoke Hana KTV, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hiburan Jakarta (Asphija), Hana Suryani
Pertama, menurut saya kenaikan pajak hiburan sudah salah. Kalau dari saya dan teman-teman yang sudah berpengalaman bekerja di industri makanan dan minuman menilai, kebijakan ini dibuat tanpa riset lapangan yang baik. Sejak pandemi Covid-19 sampai sekarang, bisnis makanan dan minuman belum pulih total.
Memang banyak bisnis yang baru buka tetapi bukan berarti semua bisnisnya untung dan baik baik saja. Dalam satu bulan ini, rata-rata keuntungan bersih bisnis makanan dan minuman berada di angka 5–8 persen. Karena, selain modal bahan, ada pula biaya sewa, biaya karyawan depan dan belakang, dan biaya keamanan. Di bar khususnya, ada biaya ‘tidak terduga’ yang banyak.
Makanan dan minuman tidak bisa dipisahkan. Banyak bar dan restoran dengan konsep gaya hidup bergantung dari penjualan beverages untuk menutup biaya operasional di luar makanan. Sebab, dalam penjualan makanan sendiri, keuntungannya sudah tipis sehingga perlu ongkos substitusi. Harga barang naik bukan berarti kami bisa menaikkan harga jual.
Pemilik bar Bura Bura dan podcaster "Ray Janson Radio" , Ray Janson