JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia telah memutuskan tetap mempertahankan tingkat suku bunga acuan 6 persen. Dalam jangka pendek, rupiah diperkirakan melemah akibat ketidakpastian global masih belum reda sepenuhnya.
Keputusan mengenai tingkat suku bunga acuan tersebut diambil dalam rangkaian Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) Desember 2023 pada 16-17 Desember 2024. Hasil RDG tersebut menetapkan suku bunga acuan atau BI Rate 6 persen, suku bunga deposit facility 5,25 persen, dan suku bunga lending 6,75 persen.
Hasil RDG tersebut menetapkan suku bunga acuan atau BI Rate sebesar 6 persen, suku bunga deposit facility 5,25 persen, dan suku bunga lending sebesar 6,75 persen.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, kebijakan moneter tetap mengarah kepada stabilisasi nilai tukar rupiah serta langkah preemtive dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap terkendali dalam sasaran 1,5-3,5 persen pada 2024 (pro-stability). Sementara itu, kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran tetap mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan (pro-growth).
”Hari ini, kami putuskan suku bunga BI Rate tetap karena masih belum ada kepastian global. Ke depan, ruang penurunan suku bunga BI Rate masih akan tetap dengan kriteria, yakni penguatan rupiah, tetap terkendalinya inflasi, terutama inflasi inti dan inflasi pangan, serta kredit pembiayaan yang mendukung pertumbuhan ekonomi. Kami tetap sabar dan tetap akan masih sabar melihat kondisi dalam negeri dan global,” katanya dalam RDG BI Januari 2024, di Jakarta, Rabu (17/1/2023).
Berbeda dengan bulan sebelumnya, tingkat kepastian mengenai arah suku bunga kebijakan negara maju, khususnya Amerika Serikat (The Fed) sudah mulai terlihat. BI memperkirakan, tingkat suku bunga acuan The Fed (Fed Fund Rate/FFR) akan mulai dipangkas pada semester II-2024 sebanyak tiga kali atau 75 basis poin.
Perkiraan tersebut mengacu pada kondisi perekonomian, pasar tenaga kerja, inflasi serta keterangan resmi pemerintah AS melalaui dewan rapat kebijakan The Fed (FOMC). Di sisi lain, pasar mengantisipasi kemungkinan pemangkasan FFR lebih cepat pada penghujung triwulan II-2024 dengan tingkat penurunan lebih tinggi hingga empat kali atau 1 persen.
”Karena itu, kami perkirakan dan sekarang sudah mulai kelihatan penguatan dollar AS terhadap rupiah itu mulai berhenti, bahkan ada kecenderungan melemah. Memang, karena masih ada ketidakpastian kapan waktu dan besarnya penurunan FFR itu membuat pasar kadang on, kadang off, atau masih ada volatilitas. Oleh sebab itu, kami perkirakan, nilai tukar rupiah dalam jangka pendek akan naik-turun, tetapi stabil, dengan trennya yang akan menguat,” ujar Perry.
Menurut dia, kendati ketidakpastian global belum sepenuhnya mereda, seluruh kondisi fundamental yang ada mendukung penguatan rupiah. Oleh karena itu, nilai tukar rupiah dalam jangka pendek akan terus bergerak naik dan turun (volatile), tetapi trennya akan menguat seiring dengan meredanya ketidakpastian global, semakin besarnya aliran modal asing yang masuk, serta konsitensi kebijkan BI.
Mengutip Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) pada penutupan Rabu (17/1/2024), nilai tukar rupiah ditutup pada level Rp 15,639 per dollar AS atau melemah sekitar 1,07 persen secara tahun kalender sejak awal 2024. Perkembangan tersebut relatif lebih baik dibandingkan dengan mata uang regional lainnya, seperti ringgit Malaysia, baht Thailand, dan won Korea Selatan yang masing-masing tercatat melemah 1,95 persen, 2,82 persen, dan 3,24 persen.
Sebelumnya, ekonom makroekonomi dan pasar keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Teuku Riefky, mengatakan, BI memang sebaiknya menahan tingkat suku bunga acuan mengingat adanya sedikit pelemahan rupiah. Selain itu, kebijakan suku bunga acuan The Fed juga menjadi pertimbangan BI dalam memutuskan arah BI Rate ke depan.
”Pemotongan suku bunga acuan yang terlalu dini bukan langkah yang tepat diambil oleh BI karena berpotensi memberi tekanan pada rupiah. BI perlu mengatur waktu penurunan tingkat suku bunga acuan dengan mengacu pada keputusan The Fed,” katanya.
Bunga pinjaman tetap
Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, keputusan BI mempertahankan suku bunga acuan menjadi ranah kewenangan BI sebagai otoritas moneter yang berperan menjaga stabilitas jasa keuangan.
Sebagaimana rutin dilakukan, menurut Purbaya, LPS pada bulan ini akan mengumumkan tingkat bunga penjaminan. Ia memberi sinyal bahwa pihaknya tidak akan mengubah tingkat bunga penjaminan. Ini berdasarkan pemantauan dan pengumpulan data perbankan dan perekonomian dari waktu ke waktu.
”Tingkat bunga penjaminan saat ini masih cukup mendukung untuk mendorong pertumbuhan kredit dan laju perekonomian,” ujar Purbaya ditemui di sela-sela peletakan batu pertama Gedung LPS di Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur, Rabu (17/1/2024).
Saat ini tingkat bunga penjaminan LPS untuk simpanan rupiah pada bank umum sebesar 4,25 persen dan BPR sebesar 6,75 persen. Adapun besaran tingkat bunga penjaminan LPS untuk simpanan valas pada bank umum 2,25 persen.
Dalam setahun LPS, rutin tiga kali menentukan besaran tingkat bunga penjaminan, yakni pada Januari, Mei, dan September. Terlepas dari itu, LPS juga bisa menentukan besaran tingkat bunga penjaminan jika menilai perlu ada intervensi di sistem perekonomian.