Asal Efisien dan Kompetitif, Ekonomi RI Tak Terpengaruh China
Perlambatan ekonomi China akan memperlambat putaran roda ekonomi Indonesia, jika tak ada gebrakan kebijakan.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perekonomian China belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan dalam waktu dekat. Kendati demikian, pelaku usaha optimistis kontraksi China tidak serta-merta melumpuhkan ekonomi Indonesia selama iklim usaha dan investasi dapat semakin efisien dan kompetitif untuk investor.
Dalam laporan terbaru Bank Dunia bertajuk ”Prospek Ekonomi Flobal 2024” yang terbit Januari ini, ekonomi China di sepanjang 2024 diproyeksi hanya akan tumbuh 4,5 persen, lebih rendah dari perkiraan sebelumnya sebesar 5,2 persen.
Berdasarkan laporan tersebut, negara dengan perekonomian terbesar nomor dua di dunia ini memang tengah memasuki masa kritis dan sedang bergulat dengan perlambatan struktural yang ditandai dengan pelemahan daya beli, sulitnya warga untuk mendapatkan pekerjaan, serta terpuruknya kepercayaan investor.
Dari kacamata dunia usaha dalam negeri, perlambatan ekonomi China yang terjadi dalam satu hingga dua tahun belakangan turut memperlambat putaran roda ekonomi Indonesia.
Presiden China Xi Jinping pun mengakui bahwa perekonomian China belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan dalam waktu dekat. Dalam pidato pergantian tahun dari 2023 menuju 2024, ia mengungkap bahwa perekonomian negaranya tengah berada di periode tersulit selama dirinya menjabat sebagai presiden sejak 2013.
Dari kacamata dunia usaha dalam negeri, perlambatan ekonomi China yang terjadi dalam satu hingga dua tahun belakangan turut memperlambat putaran roda ekonomi Indonesia. Pasalnya, di sektor perdagangan, China menjadi penyuplai terbesar bahan baku dan bahan penolong untuk Indonesia, selain China juga menjadi negara tujuan ekspor utama bagi Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat China sebagai mitra dagang utama baik dari sisi impor dengan nilai perdagangan mencapai 62,18 miliar dollar AS (Rp 972 triliun) maupun ekspor yang mencapai 64,94 miliar dollar AS (Rp 1.015 triliun) sepanjang 2023.
Komite Tetap Kebijakan Publik Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Chandra Wahjudi mengatakan, meski pelemahan ekonomi China dapat mengurangi volume ekspor Indonesia ke ”Negeri Tirai Bambu”, surplus neraca perdagangan tetap bisa terjaga tahun ini jika kebijakan hilirisasi industri diimplementasikan secara tepat.
”Neraca perdagangan akan tetap surplus bergantung pada implementasi kebijakan hilirisasi industri yang memberikan tambahan nilai yang lebih tinggi,” ujarnya, Rabu (17/1/2024).
Selain menggelontorkan insentif untuk memacu hilirisasi industri, Chandra menilai, terdapat dua hal lain yang perlu dilakukan pemerintah untuk memacu kinerja ekspor, salah satunya melakukan penyederhanaan regulasi dan perizinan ekspor untuk setiap produk ekspor.
”Selain itu, pemerintah juga diharapkan dapat membantu membuka akses pasar baru di beberapa negara lain untuk produk unggulan, di saat perekonomian negara China sedang lesu,” kata Chandra.
Adapun dari segi investasi, China masuk dalam lima besar negara sumber penanaman modal asing di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Investasi, nilai penanaman modal asing (PMA) di Indonesia terhitung sejak awal tahun hingga triwulan III-2023 sebesar Rp 196,2 triliun.
Dalam periode tersebut Singapura tercatat sebagai negara dengan sumber PMA terbesar mencapai 12,1 miliar dollar AS. Sementara China menduduki peringkat kedua negara dengan PMA terbesar di Indonesia, yakni sebesar 5,6 miliar dollar AS.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, untuk menjaga arus PMA tahun ini, Indonesia perlu meningkatkan iklim usaha dan investasi yang semakin efisien dan kompetitif.
Dengan begitu, penawaran berinvestasi di Indonesia bisa lebih menarik dibandingkan dengan negara-negara pesaing di kawasan Asia Tenggara. ”Iklim usaha dan investasi yang kompetitif akan membuat aliran modal dari negara-negara lain dengan sendirinya akan datang ke Indonesia,” ujarnya.
Shinta meyakini kontraksi ekonomi di China tidak akan serta-merta menjatuhkan ekonomi Indonesia. Kebijakan pemerintah dalam bidang ekonomi yang antisipatif terhadap tekanan dan potensi gangguan eksternal menjadi hal yang penting agar Indonesia menciptakan pertumbuhan secara mandiri.
Peneliti Senior dari Paramadina Public Policy Institute Muhammad Ikhsan menilai, China masih membutuhkan waktu untuk memulihkan perekonomian mereka. China sedang melakukan shifting ekonomi dari yang semula berbasis investasi menuju ekonomi berbasis konsumsi.
”Memang butuh waktu, tapi saya rasa dalam jangka panjang China tetap menarik karena pasar yang besar, sumber daya manusia berlimpah, dan kekuatan vitalitas dari perusahaan-perusahaan raksasa di China itu sendiri,” ujarnya.
Untuk saat ini, Ikhsan memandang bahwa Indonesia perlu melakukan langkah antisipatif. Salah satu langkah yang perlu Indonesia lakukan adalah menjaga keseimbangan dalam hubungan ekonomi dengan China dan dengan negara-negara lainnya, termasuk dengan Amerika Serikat.