Bank Indonesia diperkirakan dan diharapkan menahan tingkat suku bunga acuannya sebesar 6 persen untuk ketiga kalinya.
Oleh
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia diperkirakan akan mempertahankan tingkat suku bunga acuan atau BI rate sebesar 6 persen. Hal ini didukung beberapa faktor, antara lain terkendalinya tingkat inflasi domestik dan terjaganya nilai tukar rupiah yang relatif stabil.
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI), melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 20-21 Desember 2023, memutuskan untuk mempertahankan BI rate sebesar 6 persen, suku bunga deposit facility 5,25 persen, dan suku bunga lending facility 6,75 persen. Dengan demikian, BI terhitung telah dua kali mempertahankan BI rate tersebut sejak terakhir kali menaikkannya 25 basis poin menjadi sebesar 6 persen pada Oktober 2023.
Terkait dengan hasil keputusan RDG BI pada 16-17 Januari 2024, para ekonom memperkirakan, BI akan kembali menahan tingkat suku bunga acuan tersebut. Perkiraan ini dibuat atas dasar pertimbangan dinamika terkini perekonomian global yang masih dilanda ketidakpastian dan kondisi ekonomi domestik yang memiliki daya tahan.
”Dilihat dari perkembangan ekonomi terakhir, baik global maupun domestik, kami memperkirakan, BI akan mempertahankan BI rate di level 6 persen pada RDG bulan Januari 2024 ini,” kata Chief Economist Bank Permata Josua Pardede saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (16/1/2023).
Indikasi ketidakpastian global tersebut tampak dari masih berlanjutnya tekanan inflasi di negara-negara maju, terutama Amerika Serikat (AS). Inflasi AS pada Desember 2023 tercatat sebesar 3,4 persen secara tahunan atau meningkat dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 3,1 persen dan di atas ekspektasi pasar yang sebesar 3,2 persen.
Dengan demikian, kecil kemungkinannya bagi bank sentral AS (The Fed) untuk memangkas suku bunga acuannya yang saat ini berada pada level 5,25-5,5 persen atau terhitung sudah tiga kali ditahan. Akan tetapi, terbuka kemungkinan The Fed akan menurunkan tingkat suku bunga acuannya pada paruh kedua tahun 2024.
Sebaliknya, perkembangan ekonomi Indonesia justru menunjukkan ketahanan di tengah situasi global yang tidak pasti. Tingkat inflasi domestik selama 2023 tercatat 2,61 persen atau lebih rendah dibandingkan tahun lalu sebesar 5,51 persen sekaligus mencapai sasaran BI dalam rentang 2-4 persen.
Kami memperkirakan, BI Rate akan berada pada level 5,5 persen pada akhir tahun 2024.
Menurut Josua, penurunan ini sejalan dengan normalisasi harga energi dan harga input produksi, sehingga tingkat inflasi komponen harga yang diatur pemerintah dan inflasi komponen inti terjaga. Di sisi lain, dampak El Nino terhadap peningkatan inflasi komponen harga bergejolak juga masih relatif terkendali secara efektif.
”Kami memperkirakan, BI rate akan berada pada level 5,5 persen pada akhir tahun 2024. Namun, BI memiliki ruang untuk menurunkan BI rate tersebut pada paruh kedua 2024 mengingat sikap The Fed yang berhati-hati terkait penurunan suku bunga pada 2024. Selain itu, masih ada risiko inflasi domestik yang sedang berlangsung di paruh pertama tahun ini akibat El Nino,” imbuhnya.
Terpisah, Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro juga memperkirakan BI akan menahan tingkat suku bunga acuannya sebesar 6 persen dengan kemungkinan menurunkannya pada semester II-2024. Kendati demikian, inflasi komponen harga bergejolak tetap perlu diantisipasi oleh pemerintah.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, komponen harga bergejolak memberikan andil terbesar terhadap inflasi tahunan, yakni sebesar 1,15 persen dengan tingkat inflasi sebesar 6,73 persen. Komoditas yang dominan memberikan andil terhadap inflasi komponen harga bergejolak selama periode 2023 adalah beras, cabai merah, cabai rawit, bawang putih, serta daging ayam ras.
”Oleh sebab itu, GNPIP (Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan) akan semakin dibutuhkan untuk selalu memantau supply-demand pangan di seluruh daerah,” katanya.
Memasuki 2024, Indonesia memiliki beberapa capaian positif dalam beberapa aspek, seperti terjaganya inflasi, cadangan devisa yang memadai, serta nilai tukar rupiah yang relatif stabil. Dengan capaian tersebut, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menilai, BI perlu menahan tingkat suku bunga acuannya.
”Dengan Rupiah yang sedikit melemah sejak awal tahun dan inflasi yang tidak menjadi isu saat ini, kami berpandangan pemotongan suku bunga acuan yang terlalu dini bukan langkah yang tepat diambil oleh BI karena berpotensi memberi tekanan pada rupiah. BI perlu mengatur waktu penurunan tingkat suku bunga acuan dengan mengacu pada keputusan The Fed,” ujar ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI, Teuku Riefky.
Cadangan devisa Indonesia per Desember 2023 tercatat sebesar 146,38 miliar dollar AS meningkat 6 persen dibanding bulan sebelumnya karena didorong penerimaan pajak dan jasa, serta penarikan utang luar negeri pemerintah. Hal ini didukung kinerja neraca perdagangan Indonesia yang pada Desember 2023 mencatatkan surplus sebesar 3,3 miliar dollar AS.
Posisi cadangan devisa per Desember 2023 tercatat telah menembus rekor tertinggi sebelumnya, yakni sebesar 144,8 miliar dollar AS pada Agustus 2021. Capaian tersebut didorong penerimaan pajak dan jasa, serta penarikan utang luar negeri pemerintah. Posisi cadangan devisa itu juga setara dengan pembiayaan 6,7 bulan impor atau 6,5 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah atau jauh di atas standar minimal internasional yang setara tiga bulan impor.
Dengan demikian, posisi cadangan devisa tersebut menjadi modal awal bagi nilai tukar rupiah untuk menahan potensi tekanan di masa mendatang. Pada penutupan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Selasa (16/1/2024), nilai tukar Rupiah berada pada level Rp 15,592 per dollar AS atau terdepresiasi sekitar 0,76 persen secara tahun kalender sejak awal tahun 2024.