logo Kompas.id
EkonomiMasyarakat Belum Sejahtera,...
Iklan

Masyarakat Belum Sejahtera, Rasio Pajak Sulit Naik

Rasio pajak sulit naik selama tingkat pendapatan masyarakat masih rendah dan informalitas kerja masih tinggi.

Oleh
AGNES THEODORA
· 5 menit baca
Wajib pajak memotret tata cara layanan perpajakan daring di kantor KPP Pratama Jakarta Kebayoran Baru Satu, Jakarta Selatan, Senin (20/11/2023).
KOMPAS/PRIYOMBODO

Wajib pajak memotret tata cara layanan perpajakan daring di kantor KPP Pratama Jakarta Kebayoran Baru Satu, Jakarta Selatan, Senin (20/11/2023).

JAKARTA, KOMPAS — Rasio perpajakan yang terus berjalan di tempat adalah potret struktur ekonomi Indonesia yang kurang berkualitas karena penghasilan sebagian besar masyarakat tergolong rendah dan tidak bisa dipajaki. Tanpa menyentuh akar masalah itu, rasio perpajakan dinilai sulit naik sesuai target tinggi yang dipasang para calon presiden.

Rasio perpajakan (tax ratio) di Indonesia memang masih terhitung rendah. Idealnya, rasio perpajakan negara berkembang adalah 15 persen. Sementara, selama sembilan tahun pemerintahan Joko Widodo, rasio perpajakan tidak pernah mencapai level 11 persen meski ekonomi tumbuh stabil di kisaran 5 persen.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Sebagai gambaran, rasio perpajakan adalah persentase penerimaan perpajakan (termasuk bea dan cukai) terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional. Semakin tinggi nilainya, semakin mampu suatu negara melakukan pembangunan dengan sumber daya sendiri tanpa bergantung pada utang.

Baca juga: Gol "Hattrick" Pajak dan Rasio yang "Tengkes"

Pada tahun 2023, rasio perpajakan RI adalah 10,21 persen, turun dari tahun 2022 yang sebesar 10,39 persen. Selama tiga tahun berturut-turut, dari tahun 2019 sampai 2021, rasio perpajakan bahkan merosot ke satu digit atau terendah sepanjang sejarah, yakni 9,77 persen (2019), 8,33 persen (2020), dan 9,12 persen (2021).

Belakangan ini, di tengah masa kampanye Pemilihan Umum 2024, pasangan calon presiden-calon wakil presiden ramai-ramai memasang target rasio pajak yang tinggi.

Petugas melayani wajib pajak di kantor KPP Pratama Jakarta Kebayoran Baru Satu, Jakarta Selatan, Senin (20/11/2023).
KOMPAS/PRIYOMBODO

Petugas melayani wajib pajak di kantor KPP Pratama Jakarta Kebayoran Baru Satu, Jakarta Selatan, Senin (20/11/2023).

Pasangan calon nomor 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, misalnya, memasang target mengerek rasio pajak sebesar 13-16 persen per tahun 2029. Sementara pasangan calon nomor 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabumi Raka, memasang target lebih ambisius sampai 23 persen.

Adapun pasangan calon nomor 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, tidak secara terbuka menyebutkan target rasio perpajakannya, tetapi dalam beberapa kesempatan tim suksesnya menyatakan target yang disasar masih realistis, yakni 14-16 persen.

Masalah utama rendahnya rasio pajak RI bukan dari sisi kebijakan atau otoritas pajak, tetapi struktur ekonomi yang kurang berkualitas.

Hampir semua capres berencana melanjutkan kebijakan reformasi perpajakan yang saat ini berlangsung dan menggencarkan ekstensifikasi (peningkatan jumlah wajib pajak) dan intensifikasi pajak (menambah target penerimaan pajak dari wajib pajak yang telah terdata).

Para kandidat, seperti Ganjar-Mahfud, juga banyak mengangkat tentang pentingnya birokrasi pajak yang bersih. Kemudahan bagi wajib pajak dan digitalisasi di sektor perpajakan juga menjadi sorotan Anies-Muhaimin dan Prabowo-Gibran.

https://cdn-assetd.kompas.id/kPqkqxy03VPcvre0BnAchqpW8mg=/1024x640/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F06%2F11%2F20210611-H09-ARJ-rasio-pajak-mumed_1623422113_png.png

Pengamat pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, Senin (15/1/2024), mengatakan, strategi menaikkan penerimaan pajak dan rasio perpajakan para capres pada dasarnya sudah baik. Setidaknya, dibandingkan dengan beberapa waktu lalu pada awal masa kampanye, para kandidat kini mulai memperhatikan pentingnya isu pajak.

Namun, ia tidak yakin strategi para kandidat akan mampu meningkatkan rasio pajak secara signifikan sesuai target hanya dalam waktu lima tahun kepemimpinan. ”Sebab, masalah utama rasio pajak RI yang rendah bukan dari sisi kebijakan atau otoritas pajak, melainkan struktur ekonomi Indonesia yang kurang berkualitas,” kata Fajry di Jakarta.

Baca juga: Rasio Pajak Masih Rendah, Upaya Mencegah Kebocoran Diperkuat

Iklan

Struktur ekonomi Indonesia sebagian besar terdiri atas penduduk yang bekerja di sektor informal ketimbang formal. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), per Agustus 2023, mayoritas penduduk bekerja atau 59,11 persen pekerja di Indonesia terserap di sektor informal.

Kelompok ini relatif lebih sulit didata karena jumlahnya banyak, tersebar secara sporadis, serta tidak bekerja di bawah badan usaha tertentu yang terdata dan terpantau oleh basis data pemerintah.

Wajib pajak berkonsultasi dengan petugas saat melaporkan surat pemberitahuan (SPT) tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi tahun pajak 2022 di Mal ITC Kuningan, Jakarta, Senin (13/3/2023).
KOMPAS/PRIYOMBODO

Wajib pajak berkonsultasi dengan petugas saat melaporkan surat pemberitahuan (SPT) tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi tahun pajak 2022 di Mal ITC Kuningan, Jakarta, Senin (13/3/2023).

Penghasilan rendah

Sebagian besar masyarakat juga memiliki pendapatan di bawah standar penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Adapun besaran PTKP untuk wajib pajak orang pribadi (WP OP) berstatus tidak kawin dan tanpa tanggungan di Indonesia adalah Rp 54 juta per tahun atau Rp 4,5 juta per bulan.

”Kalau mau tax ratio tinggi, kontribusi pajak penghasilan orang pribadi (PPh OP) harus tinggi, tetapi bagaimana bisa kalau sebagian besar angkatan kerja kita pendapatannya masih di bawah PTKP,” ujar Fajry.

Upaya ekstensifikasi pajak tidak bisa disamakan dengan penguatan basis pajak.

Ia menilai, upaya ekstensifikasi pajak tidak akan mampu mendorong rasio pajak sampai lebih dari 15 persen selama sebagian besar penduduk Indonesia pendapatannya masih di bawah PTKP.

”Sementara itu, selama debat dan kampanye ini belum ada capres-cawapres yang punya concern penguatan basis pajak. Upaya ekstensifikasi pajak tidak bisa disamakan dengan penguatan basis pajak,” ujarnya.

Spanduk sosialisasi pelaporan surat pemberitahuan (SPT) pajak tahunan terpasang di depan salah satu kantor pelayanan pajak di Tamansari, Jakarta Barat, Sabtu (19/2/2022).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Spanduk sosialisasi pelaporan surat pemberitahuan (SPT) pajak tahunan terpasang di depan salah satu kantor pelayanan pajak di Tamansari, Jakarta Barat, Sabtu (19/2/2022).

Oleh karena itu, kunci keberhasilan mendongkrak rasio pajak terletak pada upaya perbaikan kualitas pertumbuhan ekonomi di luar ranah pajak. Diperlukan strategi perbaikan tingkat pendapatan penduduk dan pengurangan ketimpangan ekonomi di masyarakat.

Selain itu, diperlukan juga formalisasi terhadap sektor informal yang saat ini mendominasi. ”Seperti kita ketahui, sektor ini merupakan sektor yang sulit secara administrasi untuk dipajaki atau hard to tax,” kata Fajry.

Baca juga: Cawapres Minim Terobosan Naikkan Penerimaan Negara

Opsi realistis

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono mengatakan, rasio pajak yang rendah selama ini juga menunjukkan kemampuan pemerintah dalam mengumpulkan pajak yang tidak sebanding dengan pertumbuhan PDB nasional.

”Ketika penerimaan pajak kita naik, tetapi tax ratio justru turun, tingkat pertumbuhan PDB lebih tinggi dari kenaikan tax ratio. Artinya, kemampuan pemerintah mengumpulkan pajak tidak sebanding dengan pertumbuhan PDB,” kata Prianto.

https://cdn-assetd.kompas.id/Gbpxd54mMbWPFbl65nkelK9o7Wc=/1024x1096/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F11%2F20%2F20190303-TCJ-SPT-Pajak-mumed1_1605855680_png.png

Ia menilai, salah satu strategi pajak yang cukup realistis adalah pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) seperti yang diusulkan Anies-Muhaimin dan Prabowo-Gibran. Pembentukan lembaga baru ini sebelumnya sudah pernah dikaji oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan pada tahun 2016.

Menurut dia, berdasarkan berbagai hasil penelitian, negara yang menerapkan praktik SARA (Semi Autonomous Revenue Authority) atau pendelegasian kelembagaan pajak yang terpisah dari Kemenkeu memiliki skor kinerja pajak lebih tinggi dibandingkan otoritas pajak yang menggunakan model tradisional non-SARA.

”BPN bisa jadi pilihan kebijakan paling rasional di Indonesia karena banyak kebijakan yang sudah kita tempuh sejak tax amnesty, tetapi rasio pajak tak kunjung meningkat. Opsi BPN bisa jadi pilihan berhubung kita belum pernah menerapkan strategi ini,” kata Prianto.

Editor:
MUHAMMAD FAJAR MARTA
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000