Tetap Cermat Berinvestasi di Saham BUMN
Investor masih perlu mencermati emiten BUMN bermasalah dan sentimen pada sektor terkait untuk menghindari kerugian.
Kinerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ditargetkan lebih baik di tahun 2024 dengan proyeksi peningkatan laba hingga dividen. Investor di pasar modal pun dapat lebih percaya diri dengan emiten BUMN, tetapi tetap cermat membaca kondisi per sektor.
Kinerja keseluruhan saham perusahaan BUMN yang tercatat di pasar modal Indonesia pada 2023 tumbuh positif di tengah banyaknya ketidakpastian perekonomian global. Indeks BUMN20 yang mendaftarkan saham-saham perusahaan negara itu tumbuh 3,34 persen secara tahunan pada tahun lalu. Angka itu setengah dari kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang tumbuh 6,16 persen.
Di awal tahun 2024, Indeks BUMN20 masih tumbuh positif dengan naik 3,21 persen hingga Jumat (12/1/2024), jauh di atas IHSG yang tumbuh minus 0,38 persen. Pertumbuhan itu masih dimotori emiten-emiten atau perusahaan tercatat dari sektor perbankan yang resilien di tengah ketidakpastian ekonomi global pada 2023.
Kendati tantangan ekonomi global tahun ini yang diramalkan akan bertambah karena dampak kenaikan suku bunga di tahun lalu, Kepala Riset Praus Capital Marolop Alfred Nainggolan mengatakan, rencana penurunan suku bunga global tahun ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi, termasuk kinerja perusahaan BUMN, hingga 2025. Kondisi ini juga akan menjadi sentimen positif bagi kinerja saham BUMN serta IHSG secara keseluruhan.
”Tahun ini menjadi kesempatan baik bagi perusahaan-perusahaan BUMN untuk mendapat sumber pendanaan perusahaan yang berasal dari pinjaman, laba bersih, termasuk ekuitas lewat right issue maupun IPO (pencatatan saham perdana) di pasar modal,” kata Alfred kepada Kompas beberapa waktu lalu.
Baca juga: Perbaikan Kinerja dan Efisiensi BUMN Kerek Dividen Lampaui PMN
Kementerian BUMN melaporkan, kinerja BUMN sampai triwulan III-2023 masih positif dengan laba sebesar Rp 231 triliun, naik 10 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2022 sebesar Rp 210 triliun serta capaian sepanjang 2021 yang hanya sebesar Rp 125 triliun.
Dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR di Gedung DPR, Jakarta, Senin (4/12/2023), Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan, kenaikan laba itu hasil dari transformasi BUMN yang juga berdampak besar pada peningkatan kontribusi BUMN kepada negara melalui dividen, pajak, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Total kontribusi BUMN melalui tiga instrumen tersebut dalam tiga tahun terakhir, pada 2020-2022, mencapai Rp 1.318 triliun. Capaian itu tumbuh Rp 39 triliun dari periode 2017-2019 yang sebesar Rp 1.279 triliun. Adapun realisasi hingga triwulan III-2023 telah mencapai Rp 448 triliun.
Kontribusi dalam bentuk dividen, yang menjadi salah satu keuntungan bagi pemegang saham selain capital gain, mencapai sebesar Rp 81,1 triliun atau melampaui target awal sebesar Rp 35,3 triliun pada 2023. Menurut data terbaru dari APBN Kita, setoran dividen BUMN sepanjang 2023 menjadi yang terbesar sepanjang sejarah sebesar Rp 82,1 triliun. Kinerja ini pun mendapatkan respons positif dari pelaku pasar.
”Untuk komparasi antara private sectore dan BUMN di bursa, selama tiga tahun terakhir, capital appreciation dan cumulative dividen itu kita sudah lihat share holder return-nya 28 persen, dibanding swasta 18 persen. Kita jauh lebih baik daripada swasta,” kata Erick.
Kementerian BUMN terus mendorong peningkatan hasil laba dalam bentuk dividen sembari mengurangi proporsi investasi pemerintah lewat penyertaan modal negara (PMN). Erick mengatakan, sesuai target yang dibuat tahun 2019, porsi PMN perlu diseimbangkan dengan dividen di rasio 50:50.
Setoran dividen BUMN sepanjang 2020-2024 diproyeksikan mencapai Rp 279,4 triliun. Sementara itu, sebaran realisasi dan usulan PMN pada periode sama sebesar Rp 226,1 triliun. Dengan demikian, porsi dividen BUMN akan mencapai 55 persen lebih besar dari PMN yang hanya 45 persen.
Selektif
Kendati kondisi perekonomian dan kinerja BUMN diprediksi akan membaik tahun ini, investor diminta untuk tetap selektif dalam memilih saham-saham perusahaan BUMN ataupun anak usahanya. Head of Research Center Mirae Asset Sekuritas Indonesia Roger MM menilai, sebagian perusahaan dan anak usaha BUMN masih bermasalah sehingga investor perlu lebih mencermati laporan keuangan dan aksi korporasi perusahaan.
”Masalah yang dialami tiap perusahaan beda-beda. Musti cermat memilih emiten yang bermasalah. Kalau (masalah perusahaan itu) ada jalan keluarnya, ya, mumpung harga lagi murah, enggak ada masalah,” ujarnya.
Emiten BUMN yang menurutnya sudah membaik di tengah masalah keuangan adalah PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA). Maskapai penerbangan itu mencatatkan pertumbuhan fundamental bisnis yang konsisten hingga triwulan III-2023. Perusahaan itu juga baru saja melunasi sebagian surat utang dan sukuk dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
”Kalau memang masih ada prospeknya, seperti Garuda yang bisa mulai menutup utang, kalau mereka mau aksi korporasi seperti mengeluarkan right issue, saya rasa bisa direspons positif sama pasar,” ujar Roger.
Sementara itu, ia meminta investor menahan keinginan berinvestasi di perusahaan-perusahaan BUMN Karya di sektor konstruksi. Masalah gagalnya pelunasan obligasi oleh PT Waskita Karya Persero Tbk (WSKT) jadi salah satu indikasinya. Belum lagi masalah arus kas perseroan yang bermasalah karena belum terjualnya beberapa ruas tol yang telah dibangun (Kompas.id, 12/1/2024).
Baca juga: Asosiasi Dapen Desak Pemerintah Tuntaskan Kewajiban Gagal Bayar Obligasi Karya
Masalah ini, menurut Roger, akan menyeret perusahaan konstruksi milik BUMN lainnya yang kinerja keuangannya masih sehat. Investor perlu menunggu sampai perusahaan-perusahaan karya itu akan melakukan aksi korporasi yang meyakinkan, seperti pengerjaan proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) .
”Kontraktor BUMN bisa dapat nilai kontrak fantastis di IKN. Setidaknya bisa ngurangin masalah, beban emiten konstruksi,” ujarnya.
Kemudian, untuk perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang tambang, ia menilai, kinerja mereka masih akan ditentukan perkembangan ekonomi dan geopolitik global. Contohnya, status pemulihan ekonomi China yang akan memengaruhi permintaan produk tambang dalam negeri.
”Kami mengharapkan ada permintaan dari China karena pemulihan ekonomi mereka yang bisa mendongkrak batubara. China juga tengah memblokade Rusia, jadi harusnya sentimen positif ke sana. Walaupun harga batubara sulit kembali ke 400 dollar AS per ton, setidaknya enggak membuat anjlok harga batubara,” ujarnya.
Jika harapan itu terwujud, harga saham emiten batubara seperti PT Bukit Asam Tbk (PTBA) akan naik. Situasi itu juga akan mendongkrak emiten tambang atau hilirisasi yang memberi pasokan nikel dan olahannya dalam bentuk baterai untuk kendaraan listrik, seperti PT Aneka Tambang Tbk (ANTM).
”Saham perusahaan BUMN yang bagus kinerjanya tentu saja empat bank besar. Sektor infrastruktur, seperti Telkom dan Jasamarga, juga bagus. Sementara saham BUMN di sektor farmasi volatilitas harganya belum kelihatan walaupun target mereka tahun ini untung,” imbuhnya.
Baca juga: Emiten Infrastruktur Diprediksi Terus Bertumbuh di 2024
Potensi IPO
Kepercayaan pasar terhadap kinerja sebagian saham BUMN, dinilai Alfred, memang belum membaik. Kondisi tersebut berimbas pada kepercayaan perusahaan untuk menghimpun dana di pasar modal lewat aksi IPO.
Tidak heran, lima tahun terakhir hanya sedikit BUMN yang melakukan IPO. Selama masa kepemimpinan Menteri BUMN Erick Thohir sejak 2019, IPO hanya dilakukan dua anak perusahaan BUMN, yakni PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk atau Mitratel (MTEL) dan PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO).
”Minimnya IPO dalam tujuh tahun terakhir menjadi indikasi minat pasar atau investor yang turun terhadap perusahaan dengan status BUMN atau anak usaha BUMN. Bahkan, menurut pengamatan saya, batalnya anak usaha BUMN IPO dikontribusi oleh penurunan minat pasar tersebut,” kata Alfred.
Batalnya aksi IPO anak usaha BUMN ini, antara lain, terjadi pada anak usaha BUMN Perkebunan Nusantara III Persero, PalmCo, yang bergerak di sektor hilirasi produk. Perusahaan subholding yang dibentuk awal Desember 2023 itu dipastikan mundur dari aksi IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun ini. Mengutip berbagai sumber, Direktur Utama PalmCo Jatmiko Santosa menjelaskan, pembatalan dilakukan karena melihat kondisi pasar yang kurang bagus.
Baca juga: Tingkatkan Daya Saing, PTPN Bentuk ”Subholding” Sawit dan Aset
Sementara itu, pada 2026, PalmCo digadang-gadang bisa menjadi perusahaan perkebunan kelapa sawit terbesar di dunia dengan lahan seluas 700.000 hektar serta menghasilkan 3,3 juta ton CPO per tahun, 1,8 juta ton minyak goreng per tahun, dan 433.000 ton biodiesel per tahun.
Meski penggalangan dana melalui IPO dinilai strategis, Alfred menilai, calon BUMN atau anak usaha BUMN yang IPO cenderung akan mempertimbangkan faktor politis, termasuk dan keputusan pemerintah sebagai pemegang saham, dibandingkan faktor bisnis.
Sementara itu, masa Pemilu 2024 jadi pertimbangan pasar untuk memutuskan investasi kepada IPO BUMN. ”Pada kondisi tersebut, eksposur dari status BUMN atau anak usaha BUMN tidak menjadi daya tarik, tetapi semata kepada prospek sektor dan fundamental yang dimiliki,” ujarnya.