Catatan soal Indonesia Maju untuk Para Calon Presiden
Bagaimana relevansi visi-misi para calon presiden-calon wakil presiden dengan cita-cita Indonesia maju pada 2045?
Pemilu 2024 sangat strategis bagi bangsa Indonesia. Hajatan lima tahunan ini tidak sekadar kontestasi politik biasa. Kadarnya vital karena menjadi platform yang akan menentukan arah perjalanan bangsa ke depan.
Orang-orang yang terpilih pada Pemilu 2024 akan mengisi dan membentuk relasi kekuasaan antara eksekutif dan legislatif. Visi dan relasi kekuasaan kedua institusi itu akan menentukan langgam dan arah kebijakan Indonesia.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Visi dan relasi kekuasaan kedua institusi itu akan menentukan langgam dan arah kebijakan Indonesia.
Momentum ini tak bisa untuk main-main atau coba-coba. Para pemimpin yang terpilih, terutama presiden dan wakil presiden, akan menjadi pengambil kebijakan strategis ketika Indonesia berada dalam salah satu masa paling menentukan dalam sejarah perjalanan bangsa.
Jika selama periode 2025-2029 terjadi percepatan pertumbuhan ekonomi menjadi minimal 6 persen, Indonesia besar kemungkinan akan naik kelas dari negara berpendapatan menengah ke tinggi alias menjadi negara maju. Namun jika tidak, Indonesia bakal tinggal kelas lama di level negara berpendapatan menengah.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), lembaga yang berkantor di seberang Taman Suropati, Jakarta, itu telah menerbitkan Visi Indonesia 2045 pada 2019. Dokumen teknokratis itu menargetkan Indonesia menjadi negara maju pada 2045.
Pertanyaannya, bagaimana relevansi visi-misi para calon presiden-calon wakil presiden dengan cita-cita Indonesia menjadi negara maju pada 2045? Apa konsep para calon presiden untuk membawa Indonesia menjadi negara maju?
Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, dalam kunjungannya selama hampir dua jam ke Kantor Kompas, di Jakarta, Jumat (12/1/2024), memaparkan pandangan, kekhawatiran, dan harapannya seputar pertanyaan itu. Berikut petikan diskusinya.
Bagaimana antara Indonesia Emas dan Pilpres 2024?
Saya ikuti debat capres dan cawapres. Ada yang bicara pertumbuhan ekonomi 7 persen. Ada yang bilang kasih makan siang gratis dan lain-lain.
Saya khawatir, ketika pemerintahan sudah terbentuk, ya pemerintahan itu akhirnya berjalan seperti biasa. Tampaknya menjanjikan sekali (di masa kampanye), tapi (realisasi saat memerintah) ternyata tidak juga.
Banyak pekerjaan rumah. Tahun 2025–2029 adalah jendela waktu yang akan menentukan Indonesia emas itu tercapai atau tidak. Ini gerbang masuknya. Kalau gerbang masuknya hanya didekati dengan hal-hal yang biasa-biasa saja, menurut saya, berat sekali Indonesia akan lolos menjadi negara maju.
Seperti apa saja skenarionya?
Skenario business as usual, pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan hanya akan sekitar di 5 persen. Pertumbuhan ekonomi selama satu dekade terakhir juga di kisaran 5 persen.
Perhitungan Bappenas, Indonesia tidak akan keluar dari middle-income trap (tinggal kelas di negara berpendapatan menengah) sampai dengan 2045, jika pertumbuhan ekonominya hanya sekitar 5 persen terus.
Jika pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 6 persen, Indonesia akan menjadi negara maju pada 2041.
Oleh karena itu, kita butuh pertumbuhan ekonomi minimal 6 persen. Untuk itu, kita perlu mendorong sumber-sumber pertumbuhan baru, seperti industrialisasi, dan mengupayakan agar fiskal lebih optimal mendorong perekonomian sehingga multiplier ekonominya lebih terasa. Ekonomi biru juga mesti menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru.
Berdasarkan simulasi Bappenas, jika pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar di 6 persen, Indonesia akan menjadi negara maju pada 2041. Jika pertumbuhan ekonominya sekitar di 7 persen, Indonesia akan menjadi negara maju pada 2038. Tahun 2024 adalah masa transisi akselerasi pertumbuhan ekonomi.
Bagaimana cara mengakselerasi pertumbuhan ekonomi agar menjadi minimal 6 persen?
Industri harus melakukan reindustrialisasi yang dipimpin pemerintah. Harus begitu karena kita tidak bisa lagi melakukan industrialisasi yang tidak ada fokusnya, tidak ada lokomotifnya.
Ini yang harus dibicarakan bersama. Ujungnya harus kita tentukan serta riset dan pengembangannya harus dipimpin pemerintah.
Bagaimana dengan APBN sebagai instrumen akselerasi pembangunan?
Penguatan reformasi fiskal menjadi kunci pintu gerbang menuju Indonesia Emas 2045. Kinerja APBN hingga 31 Desember 2023 menunjukkan konsolidasi fiskal yang berlanjut dengan defisit 1,65 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Keseimbangan primer juga positif sebesar 0,4 persen terhadap PDB. Utang juga terjaga 38,8 persen terhadap PDB. Buku (keuangan pemerintah) kita baik, tidak bonyok.
Ada kecenderungan, neraca pemerintah selama ini dijaga. Bagus-bagus saja. Tapi, begitu neraca negara, termasuk memasukkan kewajiban BUMN, repot kita.
Elaborasinya bagaimana?
Untuk membangun Indonesia sampai menjadi negara maju, Indonesia butuh kapasitas fiskal besar agar ruang stimulus lebih besar. Peran APBN sebagai stimulus perekonomian perlu ditingkatkan dengan penguatan di sisi pendapatan dan belanja negara.
Penerimaan perpajakan kita rendah terus. Rasio perpajakan Indonesia termasuk rendah. Sementara rasio belanja negara terhadap PDB juga masih rendah.
Komposisi belanja pemerintah pusat, misalnya, masih didominasi oleh pos belanja tidak produktif dan berorientasi jangka pendek, terutama belanja subsidi energi.
Rasio belanja negara terhadap PDB pada 2022 sebesar 15,8 persen. Bandingkan dengan Chile yang sudah mencapai level negara maju, rasionya 24,8 persen. Korea Selatan, rasionya 30,2 persen.
Ada catatan pada kualitas belanja negara. Komposisi belanja pemerintah pusat, misalnya, masih didominasi oleh pos belanja tidak produktif dan berorientasi jangka pendek, terutama belanja subsidi energi.
Subsidi energi sensitif secara politik. Apa yang harus dilakukan?
Subsidi energi menjadi beban anggaran yang besar. Realokasi subsidi energi dapat memberikan ruang fiskal untuk program yang lebih prioritas.
Pertanyaannya, ketika kita kurangi subsidi, apakah serta-merta menambah kemiskinan. Kami membuktikan, itu tidak menambah kemiskinan karena kita hanya mengurangi subsidi dari yang tidak tepat sasaran.
Apakah itu akan mengakibatkan inflasi? Soal dampak kagetannya ada. Tapi, pada akhirnya akan masuk ke keseimbangan baru dan tidak ada masalah. Jadi boleh dikatakan, efek inflasinya manageable.
Yang efektif tepat sasaran hanya 42 persen. Berarti 58 persen tidak tepat sasaran.
Yang paling penting pengalihannya ke mana? Misal untuk penurunan kemiskinan ekstrem, memperbaiki angka stunting, mengurangi angka kematian ibu. Ini kan benar-benar strategis dan sensitif.
Bagaimana dengan bansos?
Perhitungan Bappenas berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional, salah sasaran bansos kita luar biasa besar. Yang efektif tepat sasaran hanya 42 persen. Berarti 58 persen tidak tepat sasaran.
Artinya, orang yang sepantasnya dapat, tidak dapat. Orang yang sepantasnya tidak dapat, dapat.