Bank Dunia Ramal Investasi Global 2024 Lesu, Sinyal Buruk bagi Indonesia
Di tengah proyeksi perlambatan aktivitas ekonomi global, Indonesia dituntut untuk gigih menyedot aliran investasi.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berlanjutnya tren pengetatan kebijakan moneter dunia disertai tak kunjung seusainya gejolak geopolitik menyebabkan lesunya perdagangan dan investasi global 2024. Kondisi ini jadi tantangan pemerintah yang berambisi menggenjot investasi di tahun ini untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi 5,1 persen-5,7 persen.
Dalam laporan bertajuk ”Prospek Ekonomi Global edisi 2024”, Bank Dunia memproyeksi pertumbuhan ekonomi global akan melambat ke angka 2,4 persen. Artinya, pertumbuhan ekonomi dunia melambat selama tiga tahun beruntun.
Pada 2021, seusai terkontraksi akibat pandemi Covid-19, pertumbuhan ekonomi dunia pada 2021 melonjak 6,2 persen. Setelah itu, pertumbuhan ekonomi global melambat menjadi 3 persen pada 2022 dan diperkirakan kembali melambat menjadi 2,6 persen pada 2023.
Untuk menjaga pertumbuhan ekonomi, negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, membutuhkan ”ledakan ” investasi termasuk penanaman modal asing (PMA).
Tertulis dalam laporan tersebut, perlambatan ekonomi dunia di tahun 2024 merupakan akibat dampak kebijakan moneter ketat yang ditempuh negara-negara maju untuk mengendalikan inflasi. Imbasnya, aktivitas investasi global akan ikut terhambat.
Masih berlanjutnya tren suku bunga tinggi tahun ini merupakan konsekuensi dari inflasi yang masih relatif tinggi dipicu kenaikan harga bahan pokok akibat El Nino dan berlanjutnya konflik geopolitik, terutama di Timur Tengah, yang mengganggu pasokan di pasar komoditas.
Suku bunga yang lebih tinggi akan membuat pinjaman lebih mahal. Kondisi ini akan menghambat pengeluaran dan investasi karena investor cenderung akan memilih menyimpan uang di lembaga perbankan dengan risiko yang rendah.
Dilansir dari Reuters, Kamis (11/1/2024), Deputy Chief Economist Bank Dunia Ayhan Kose, menyebutkan salah satu fokus utama dari laporan Prospek Ekonomi Global 2024 adalah China yang diperkirakan akan mengalami perlambatan dalam ekspansi ekonomi dibanding kinerja 2023.
”Terdapat beberapa tantangan yang dihadapi China, termasuk penurunan belanja konsumen, masalah struktural seperti populasi yang menua, dan tingginya tingkat utang,” ujarnya.
Ledakan investasi
Kose menilai, untuk menjaga pertumbuhan ekonomi, negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, membutuhkan ”ledakan” investasi termasuk penanaman modal asing (PMA). Pasalnya negara-negara yang mengalami percepatan investasi sering kali memperoleh keuntungan ekonomi tak terduga.
Di tengah perlambatan ekonomi global, negara-negara berkembang perlu menerapkan paket kebijakan komprehensif dalam kerangka fiskal dan moneter, untuk memperluas perdagangan lintas batas dan arus keuangan, meningkatkan iklim investasi, dan memperkuat kualitas institusi.
Proyeksi kondisi global dari Bank Dunia tahun ini meningkatkan kewaspadaan Indonesia yang mengejar realisasi investasi langsung Rp 1.650 triliun demi mengamankan target pertumbuhan ekonomi 2024 di kisaran 5,1 persen-5,7 persen.
Bahkan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mencatat, dalam jangka menengah ke depan atau periode lima tahun mendatang, kebutuhan investasi Indonesia mencapai Rp 45.500 triliun.
Direktur Perencanaan Makro dan Analisis Statistik Bappenas Eka Chandra Buana mengatakan, kebutuhan itu untuk merealisasikan target rata-rata pertumbuhan ekonomi 2025 sampai dengan 2029 sebesar 5,6 persen-6,1 persen dengan target pertumbuhan investasi 7,2 persen hingga 7,9 persen.
”Dalam mengejar target, Bappenas juga telah memetakan strategi kunci untuk menjaga kualitas pertumbuhan sesuai dengan tahapan penguatan transformasi ekonomi Indonesia,” ujarnya.
Khusus PMA, lanjut Eka, skema insentif tepat guna akan dimatangkan untuk mendorong investasi pada sektor-sektor berorientasi ekspor. Di luar itu, belanja riset dan pengembangan untuk industri perlu ditingkatkan untuk mengatrol produktivitas dan kualitas sumber daya manusia.
Dihubungi secara terpisah, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Akhmad Akbar Susamto, menilai, konsekuensi dari tingkat suku bunga tinggi di negara-negara maju adalah para investor pasar keuangan akan mengeluarkan uang mereka dari negara berkembang untuk mendapatkan selisih tingkat suku bunga.
Konsekuensinya pada perekonomian Indonesia adalah menjadi sulit untuk berharap bahwa sektor moneter bisa benar-benar menggerakkan perekonomian. Ketika tingkat suku bunga tinggi, perbankan cenderung menahan pertumbuhan kredit mereka, maka laju perekonomian tidak bisa kencang.
”Oleh karena itu, diharapkan sektor riil dan fiskal bisa menggerakkan perekonomian. Maka menjadi penting untuk melihat dari sisi fiskal. Diharapkan pemerintah di tahun 2024 dengan instrumen fiskalnya bisa berkontribusi untuk menjadi pendorong roda perekonomian,” ujarnya.