Kejar Perolehan Minyak Bumi Sulit, Gas Jadi Harapan
Pada 2023, ditemukan dua sumber gas bumi skala besar di Indonesia. Pertama yakni di laut lepas Kalimantan Timur dengan potensi 6 TCF serta di lepas pantai Sumatera bagian utara, dengan potensi 5 TCF.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah sulitnya memenuhi target perolehan produksi siap jual atau lifting minyak bumi, sumber-sumber gas raksasa ditemukan di Indonesia. Pemerintah berupaya mengoptimalkan gas bumi dengan memacu infrastruktur pipanisasi gas. Selain pipa Cirebon-Semarang yang sudah tuntas separuh, pipa trasmisi gas di Sumatera juga disiapkan.
Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), realisasi lifting minyak bumi hingga 31 Desember 2023, yakni 612.000 barel per hari atau di bawah dari target APBN 2023 yang 660.000 barel per hari. Capaian tersebut juga masih jauh dari target 1 juta barel per hari pada 2030.
Harapan justru datang dari gas bumi. Pada 2023, ditemukan dua sumber gas bumi skala besar di Indonesia. Pertama, yakni di laut lepas Kalimantan Timur (Geng North) oleh perusahaan minyak dan gas bumi asal Italia, Eni dengan potensi 5 triliun kaki kubik (TCF) gas. Kedua, di sumur eksplorasi Layaran-1, South Andaman, di lepas pantai Sumatera bagian utara, dengan potensi 6 TCF gas.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, di Jakarta, Jumat (5/1/2024), mengakui bahwa upaya mengejar target capaian minyak bumi menantang. Namun, di sisi lain, temuan sumber gas skala besar membawa harapan untuk memenuhi kebutuhan energi di masa depan. Apalagi, gas dianggap sebagai energi penjembatan dalam transisi energi.
”Kalau minyak memang agak berat, ya, tetapi kita harus mensyukuri ada discovery (temuan) baru. Ada di Geng North (oleh) Eni, sebesar 5 TCF lebih plus kondensat. Lalu di Timpan ngebor lagi dan besar. Terbaru, di Layaran, ada 6 TCF lebih,” ujar Arifin. Temuan-temuan itu diyakini bisa mendukung target perolehan gas bumi sebesar 12 miliar standar kaki kubik per hari pada 2030.
Namun, imbuh Arifin, infrastruktur perlu benar-benar disiapkan. Sebab, percuma jika suplai gas melimpah, tetapi tidak bisa ditransmisikan. Oleh karena itu, selain meneruskan proyek transmisi gas Cirebon-Semarang, yang saat ini sudah mengaliri gas ke Kawasan Industri Kendal (bagian dari tahap I), pembangunan pipa gas Sei Mangkei (Sumatera Utara)-Dumai (Riau) juga dipacu.
Jadi, yang penting gas ini ada dan cukup untuk transisi energi. (Arifin Tasrif)
”(Sei Mangkei-Dumai) tahun ini mulai dan 2027 harus sudah selesai. Jadi, (ketersediaan gas), selain untuk bikin pupuk dan petrokimia di Lhokseumawe (Aceh), kita tarik juga ke bawah. Juga harus memikirkan membangun (kilang) LNG (gas alam cair) lagi di sana. Jadi, yang penting gas ini ada dan cukup untuk transisi energi,” lanjut Arifin.
Adapun terkait upaya peningkatan lifting minyak bumi, Arifin mengatakan, harapan ada di Wilayah Kerja (WK) Rokan, Riau, melalui proyek pengeboran migas nonkonvensional. Potensi perolehan minyak bumi diyakininya masih tetap ada.
Digitalisasi dan eksplorasi
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengemukakan, pemanfaatan ruang Integrated Operation Center (IOC), yang juga bagian dari digitalisasi di sektor hulu migas, menunjukkan hal positif. Menurut dia, pengawasan lifting migas melalui sistem tersebut meningkatkan efisiensi dalam pengawasan serta operasional kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).
Selain itu, imbuh Dwi, pihaknya memberi perhatian pada program-program eksplorasi dan investasi yang lebih besar untuk tahun 2024. Hal tersebut diupayakan guna mengoptimalkan potensi migas yang ada di Indonesia.
”Salah satu fokus utama pada tahun 2024 adalah kegiatan eksplorasi. Kami akan melakukan upaya berkelanjutan dalam menemukan cadangan (migas) baru. Belum lama ini, penemuan besar di Geng North dan South Andaman tercatat sebagai giant discovery pada 2023, hal ini mendorong semangat eksplorasi untuk 2024,” kata Dwi melalui keterangannya, Jumat.
Sebelumnya, pengamat ekonomi energi yang juga dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, Bandung, Yayan Satyakti, menuturkan, yang krusial ialah perbaikan permintaan (demand) pasar gas bumi. Artinya, suplai gas yang banyak dan masif di Indonesia mesti dihubungkan dengan infrastruktur yang optimal.
Menurut Yayan, pengembangan satu jenis energi tidak bisa dilakukan secara parsial. Pembangunan infrastruktur energi seharusnya sudah digencarkan sejak 10-15 tahun lalu dan kini tinggal menikmatinya. Namun, kala itu infrastruktur belum dipandang sebagai sesuatu yang utama. Oleh karena itu, untuk pemenuhan kebutuhan energi masa depan, hal itu mesti segera dilakukan.