APBN Tutup Buku, Kualitas Belanja Pemerintah Semestinya Bisa Lebih Optimal
Meski uang negara per akhir tahun 2023 berhasil disalurkan hingga sedikit melewati target, dampaknya ke pertumbuhan ekonomi dinilai masih terbatas dan terkesan ”dikejar” di detik-detik akhir.
JAKARTA, KOMPAS — Kendati realisasi belanja pemerintah di tahun 2023 mampu menembus target, kualitas belanja dinilai kurang optimal dalam menggerakkan ekonomi sepanjang tahun. Besarnya tanggungan pembayaran bunga utang dalam porsi belanja pemerintah juga patut diwaspadai karena bisa mempersempit ruang untuk belanja lainnya.
Dari sisi pengelolaan fiskal, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 ditutup dengan ”rapor” yang baik. Penerimaan negara sepanjang tahun berhasil dikumpulkan hingga 112,6 persen di atas target APBN awal atau 105,2 persen di atas target proyeksi tengah tahun.
Belanja pemerintah pun melampaui target, yakni 102 persen di atas target APBN awal atau 100,2 persen di atas target tengah tahun. Hal itu membuat defisit fiskal sepanjang 2023 dapat ditekan hingga 1,65 persen dari produk domestik bruto (PDB) nasional, mencatat rekor terendah selama 12 tahun terakhir.
Baca juga: APBN 2023, Pemerintah Tidak Lagi Berutang untuk Bayar Utang
Meski demikian, menurut Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal, Jumat (5/1/2024), peran APBN sepanjang tahun lalu semestinya bisa lebih optimal lagi untuk menggerakkan ekonomi. Meski uang negara per akhir tahun 2023 berhasil disalurkan hingga sedikit melewati target, dampaknya ke pertumbuhan ekonomi dinilai masih terbatas dan terkesan ”dikejar” di detik-detik akhir.
Hal itu, misalnya, terlihat dari data konsumsi pemerintah yang pada triwulan III-2023 tumbuh minus 3,76 persen akibat turunnya belanja pegawai, belanja barang, dan belanja bantuan sosial. Belanja pemerintah yang melambat itu ikut berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang pada triwulan III hanya tumbuh 4,94 persen, di tengah tekanan eksternal seperti pelemahan ekspor-impor.
Sampai menjelang tutup buku APBN pun, per 12 Desember 2023, belanja negara masih terhitung jauh dari semestinya, yakni baru tercapai 84,5 persen dari target APBN awal atau 83 persen dari target proyeksi tengah tahun. Pemerintah baru ”mengebut” belanja di dua pekan terakhir hingga akhirnya memenuhi target.
”Di satu sisi, kinerja APBN memang akhirnya aman, stabil, dan konservatif, terlihat yang ingin disasar adalah menjaga stabilitas fiskal. Tetapi, akibatnya, dorongannya ke ekonomi kurang maksimal. Semestinya ketika sumber pertumbuhan lain lagi melemah seperti sekarang ini, kebijakan fiskal bisa lebih berperan sebagai ’gas’ pertumbuhan ekonomi,” kata Faisal saat dihubungi.
Menurut dia, jika melihat ruang fiskal yang tercipta akibat penerimaan yang tumbuh kuat, semestinya belanja bisa lebih optimal untuk menggerakkan ekonomi. Misalnya, memperbanyak belanja modal untuk mendorong lebih banyak penciptaan lapangan kerja serta menopang kinerja sektor riil tertentu guna mencegah pemutusan hubungan kerja (PHK) yang cukup masif di sepanjang tahun 2023.
”Defisit fiskal 1,65 persen tidak seutuhnya kabar bagus. Ketika ada tambahan penerimaan akibat pajak dan PNBP yang meningkat jauh melebihi target, belanja yang penting untuk pertumbuhan ekonomi semestinya bisa lebih didorong karena ruangnya sebenarnya ada,” ujarnya.
Mulai 2023, kebutuhan membayar bunga utang melonjak menjadi porsi belanja tertinggi di komponen belanja pemerintah pusat.
Bayar bunga utang
Di sisi lain, pemerintah juga perlu mewaspadai meningkatnya porsi belanja bunga utang dalam komponen belanja pemerintah pusat. Sebab, sejak 2023, kebutuhan pembayaran bunga utang telah menduduki porsi belanja tertinggi dalam komponen belanja pemerintah pusat, melebihi belanja modal yang sifatnya produktif.
Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, belanja pemerintah pusat sepanjang tahun 2023 sebesar Rp 2.240,6 triliun, memenuhi 99,7 persen dari target APBN awal atau 97,3 persen dari target tengah tahun. Namun, sebagian porsi belanja itu cukup banyak terpakai untuk membayar bunga utang. Sesuai proyeksi tengah tahun 2023, belanja bunga utang yang mesti ditanggung APBN adalah Rp 437,4 triliun.
Mengutip Nota Keuangan RAPBN 2024, sudah lima tahun terakhir ini porsi pembayaran bunga utang dalam komponen belanja pemerintah pusat di APBN melonjak signifikan. Salah satu penyebabnya karena akumulasi utang pemerintah untuk menutupi pembiayaan pandemi Covid-19 selama tahun 2020-2022.
Sebagai perbandingan, pada 2019, porsi pembayaran bunga utang pemerintah adalah Rp 275,5 triliun. Jumlahnya melonjak menjadi Rp 437,4 triliun pada proyeksi tengah tahun 2023. Sebelum 2023, porsi belanja terbesar di komponen belanja pemerintah pusat biasanya untuk belanja pegawai dan belanja barang. Namun, mulai 2023, kebutuhan membayar bunga utang melonjak menjadi porsi belanja tertinggi.
Baca juga: Gol "Hattrick" Pajak dan Rasio yang "Tengkes"
Porsi belanja bunga utang yang besar itu bisa mempersempit ruang untuk belanja lain yang produktif. Di satu sisi, tak bisa dinafikan belanja bunga utang adalah kewajiban yang patut dibayarkan sebagai konsekuensi ”warisan” pandemi. Namun, pemerintah tetap perlu waspada.
”Pembayaran bunga utang itu bisa memperkecil alokasi belanja yang semestinya bisa diarahkan untuk belanja pembangunan dan mendorong ekonomi,” kata Faisal.
Menurun
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, belanja pemerintah di tahun 2023 sebenarnya sudah cukup tinggi, apalagi dengan munculnya beberapa inisiatif kebijakan baru. Namun, akibat terbantu laju penerimaan yang baik, terutama dari pajak, defisit APBN bisa diturunkan.
”Belanja sudah ekspansif, bahkan dibandingkan dengan masa-masa Covid-19 pun, belanja negara tahun ini masih lebih tinggi, padahal sewaktu Covid-19 itu kebutuhan belanja kita luar biasa,” katanya.
Bahkan, dibandingkan dengan masa-masa Covid-19 pun, belanja negara tahun ini masih lebih tinggi.
Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Isa Rachmatarwara menambahkan, beberapa jenis belanja memang tidak sebesar asumsi awal. Misalnya, belanja subsidi energi yang tidak terlalu tinggi karena melandainya harga komoditas energi sepanjang tahun. Namun, tidak ada belanja yang turun atau ”ditahan”.
”Memang ada sejumlah prioritisasi belanja yang kita lakukan secara fleksibel dan adaptif, tetapi defisit rendah itu lebih karena penerimaan kita jauh lebih tinggi dari yang kita targetkan,” kata Isa.
Sampai akhir tahun, pada 29-31 Desember 2023, pemerintah masih menggelontorkan APBN untuk membayar beberapa kebutuhan. Pertama, pembayaran dana bagi hasil (DBH) dan sebagian kecil dana alokasi umum (DAU) ke daerah. Kedua, pembayaran subsidi pupuk. Ketiga, pembayaran penyertaan modal negara (PMN) yang baru bisa dibayar di akhir tahun karena harus terlebih dulu memenuhi beberapa persyaratan hukum.
Terkait beban belanja bunga utang, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu mengatakan, pembayaran bunga utang yang dilakukan sepanjang 2023 tidak jauh berbeda dengan target APBN meski ia tidak menyebut besar jumlahnya. Pembayaran bunga utang tahun lalu banyak dipengaruhi oleh kurs rupiah yang melemah, mengingat 25 persen dari utang pemerintah dalam bentuk valuta asing.
Pemerintah berupaya lebih berhati-hati dalam mengelola utang, seperti tampak dari penarikan utang baru sepanjang 2023 yang mampu diturunkan 41,5 persen. Tingkat bunga utang (yield) surat berharga negara (SBN) sepanjang tahun lalu juga bisa ditekan lebih murah dari yang diasumsikan di APBN. ”Bunga utang yang semakin murah itu pun bisa dicapai karena APBN kita semakin sehat,” katanya.