Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian dinilai perlu diperbarui supaya Indonesia punya landasan hukum perindustrian yang bisa menjawab tantangan zaman dan mendorong industrialisasi lebih kencang lagi.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, pihaknya telah menyiapkan dokumen berisi poin-poin revisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. UU ini dinilai sudah tak lagi relevan untuk menopang akselerasi pertumbuhan industri ke depan.
”Undang-Undang Perindustrian perlu menjadi landasan regulasi dan sistem yang bisa menjawab tantangan perubahan zaman dan mampu mendorong pertumbuhan industri lebih cepat. Maka kami akan menyempurnakannya untuk jadi landasan ke depan,” ujar Agus yang ditemui di kantornya, Rabu (3/1/2024).
Agus menjelaskan, pada 10-11 tahun lalu saat UU No 3/2014 tentang Perindustrian itu sedang dibahas di legislatif, tercetus bahwa UU ini hanya bisa menjawab tantangan industri 20-25 tahun ke depan. Artinya, UU itu diasumsikan hanya relevan paling tidak hingga tahun 2034 atau 2039.
Menurut Agus, perkembangan teknologi saat ini berjalan begitu cepat. Proses digitalisasi dan penggunaan kecerdasan buatan saat proses industrialisasi kian marak.
Hal inilah, lanjut Agus, yang mendorong pihaknya perlu merevisi UU Perindustrian itu dengan mengatur landasan hukum dan sistem pengaturan untuk digitalisasi proses manufaktur. ”Kita tidak pernah tahu akan secepat apa perkembangan teknologi ke depannya. Kalau kita tidak siap menghadapinya, maka akan naif sekali kita karena dunia mengarah ke sana,” ujar Agus.
Selain itu, poin penting lain yang akan ditambahkan pada UU Perindustrian adalah landasan hukum bagi pelaku industri untuk mendorong emisi karbon nol persen pada 2050. Ia menjelaskan, pihaknya mendorong sektor manufaktur mencapai karbon netral pada 2050 atau 10 tahun lebih cepat dari target nasional pada 2060. Menurut dia, target menuju karbon netral adalah kesepakatan dan komitmen Indonesia di mata internasional, maka perlu diwujudkan dalam undang-undang.
Agus menjelaskan, sudah membahas hal itu dengan jajarannya pada rapat kerja akhir tahun lalu. Pihaknya juga sudah menginventarisasi poin perbaikan dan penyempurnaan undang-undang tersebut.
Meski demikian, pihaknya belum akan segera mengirimkan dokumen revisi UU ini ke parlemen. Sebab, saat ini pemerintahan yang berjalan tinggal tersisa 10 bulan lagi. Pembuatan UU juga membutuhkan proses yang panjang. Jadi, Agus menyiapkan dokumen revisi undang-undang untuk diajukan ke DPR oleh Menteri Perindustrian berikutnya.
Keniscayaan
Dihubungi secara terpisah, Rabu, peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus mengatakan, sejatinya pasal-pasal yang ada di UU No 3/2014 itu sudah banyak mengakomodasi pengembangan industrialisasi. Namun, memang pada saat UU itu dulu dibuat rasanya belum terlalu mempertimbangkan potensi perkembangan teknologi digital dan kecerdasan buatan saat proses produksi manufaktur. Selain itu, saat itu juga belum terlalu mempertimbangkan adanya upaya transisi energi untuk menekan jejak karbon hingga nol persen.
Berbagai perkembangan yang pesat inilah yang memang perlu diantisipasi dengan menyempurnakan UU Perindustrian.
”Perkembangan zaman, tren, dan teknologi ini suatu keniscayaan. Jadi, memang perlu penyesuaian agar landasan hukum perindustrian yang ada bisa menjawab tantangan ke depan,” ujar Ahmad.
Jadi, memang perlu penyesuaian agar landasan hukum perindustrian yang ada bisa menjawab tantangan ke depan. (Ahmad Heri Firdaus)
Ia menambahkan, ke depan, UU Perindustrian ini juga bisa dipatuhi dan dilaksanakan oleh kementerian dan lembaga lain di luar Kementerian Perindustrian. Kendati di bawah binaan langsung Kementerian Perindustrian, industri manufaktur tidak bisa berdiri sendiri karena aktivitasnya melibatkan sektor lainnya.
Contohnya, lanjut Ahmad, penggunaan gas untuk proses produksi manufaktur berada di bawah binaan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Contoh lainnya, insentif dan disinsentif fiskal dan perpajakan berada di bawah kewenangan Kementerian Keuangan.
”Jadi, harapannya semua kementerian dan lembaga bisa bersinergi sesuai amanat UU Perindustrian. Karena UU ini hukum yang tinggi yang tidak terbatas hanya harus dipatuhi Kementerian Perindustrian saja,” ujar Ahmad.
Apresiasi
Pada kesempatan terpisah, Rabu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani mengatakan pihaknya sangat mengapresiasi dan menyambut baik usulan penyempurnaan UU Perindustrian.
Sebagaimana diketahui, lanjut Shinta, pascapandemi tuntutan daya saing terhadap perindustrian di negara berkembang seperti Indonesia semakin tinggi. Industri di Indonesia tidak hanya dituntut untuk memiliki tingkat efisiensi industri yang jauh lebih tinggi dan memiliki linkage yg lebih kuat dengan rantai produksi global (GVCs), "Kita juga dituntut untuk mengadopsi teknologi baru dan memiliki tingkat compliance memadai terkait dg ESG/ekonomi berkelanjutan. Tanpa menjawab tuntutan ini, industri di dalam negeri akan terus terancam oleh deindustrialisasi dan kita tidak bisa memanfaatkan peluang usaha yang diciptakan oleh tuntutan-tuntutan tersebut untuk pertumbuhan industri dan ekonomi Indonesia yg lebih eksponensial dari 5-10 tahun terakhir," tutur Shinta.
Jadi, lanjut Shinta, pihaknya menilai intensi dan langkah untuk mereview UU Perindustrian untuk tujuan penyempurnaan dan menyesuaikan mengikuti tantangan-tantangan industri masa depan sudah tepat. "Kami sangat mendukung dan siap memberikan masukan-masukan yg diperlukan," kata Shinta.