Strategi Menggapai Resolusi Keuangan Tahun 2024
Tahun baru jadi waktu yang tepat untuk mengevaluasi capaian keuangan sekaligus menyiapkan strategi untuk menggapai resolusi keuangan. Perencanaan ini penting di tengah banyaknya kebutuhan.
Setelah menghabiskan masa libur akhir tahun, Vera Aglisa (38), warga Kota Bandar Lampung, kembali berkutat dengan pekerjaannya. Pegawai di salah satu institusi pendidikan tinggi itu lebih semangat bekerja di awal tahun 2024. Ia punya sederet tujuan finansial yang ingin dicapai tahun ini.
Vera juga sudah mengevaluasi kondisi keuangan keluarga di akhir tahun. Setelah dianalisis, ada beberapa kebocoran pengeluaran tahun 2023. Pangkal persoalannya tak lain adalah rangsangan diskon dan promo berbagai barang di situs belanja daring.
Biaya perjalanan untuk pulang kampung ke Sukabumi, Jawa Barat, juga cukup menguras koceknya. Tahun lalu, ia bersama keluarga sudah lima kali pulang kampung. Selain momen Idul Fitri dan Idul Adha, mereka juga harus menghadiri acara keluarga, mulai dari pesta penikahan hingga takziah.
Baca juga: Agar Resolusi Keuangan di 2023 Tak Sekadar Wacana
Ia juga mengajak anak-anaknya jalan-jalan saat masa liburan sekolah. Biaya perjalanan dan rekreasi bersama keluarga ini ternyata lebih besar dari perkiraannya. Kejadian mendadak, seperti saat mertuanya dirawat di rumah sakit, juga membuat Vera menyadari pentingnya perencanaan keuangan.
Ia mengaku punya sederet resolusi keuangan di tahun 2024. ”Pengelolaan keuangan yang lebih baik dengan konsisten menabung dan menyimpan dana darurat, meminimalkan biaya rekreasi, melunasi utang, dan lebih berhemat,” kata Vera.
Ketika mendapat bonus akhir tahun, ia langsung menyisihkan uang tersebut untuk membayar utang dan menabung. Sisanya baru digunakan untuk biaya liburan bersama keluarga.
Ia juga lebih behati-hati dalam memilih instrumen investasi, khususnya untuk menyiapkan dana pendidikan kedua anaknya. Ia mengaku pernah mengikuti asuransi pendidikan.
Namun, setelah dievaluasi, asuransi itu ternyata tidak sesuai dengan tujuan dan target keuangan. Ia pun memilih menghentikan kepesertaan asuransi pendidikan tersebut tahun 2018. Kini, Vera memilih instrumen investasi deposito dan emas yang lebih lebih rendah risiko.
Strategi lain adalah memilih sekolah yang sesuai dengan kebutuhan anak-anak dan keuangan keluarga. Vera menyekolahkan anak-anaknya di SD negeri karena masih percaya dengan kualitasnya. Di luar kegiatan sekolah, anak-anaknya mengikuti les minat dan bakat.
Menurut Vera, biaya pendidikan di sekolah negeri lebih terjangkau karena orangtua tidak dibebani biaya pembangunan gedung yang cukup mahal. Dengan strategi itu, ia bisa lebih berhemat dan menabung untuk biaya pendidikan anak-anaknya hingga jenjang perguruan tinggi.
”Biaya masuk sekolah, terutama sekolah swasta woow banget. Belum lagi biaya SPP (sumbangan pembangunan pendidikan) bulanan. Harga perlengkapan sekolah juga gila-gilaan,” ucap Vera.
Bocor
Evaluasi kondisi keuangan juga dilakukan Silvana Maya Pratiwi (32), warga Bogor, Jawa Barat. Baginya, awal tahun adalah momentum yang paling tepat untuk menyiapkan strategi menghadapi tahun 2024.
Meski demikian, ia merasa kebutuhan hidup semakin tinggi semenjak menetap di Bogor. ”Pengeluaran yang paling sering bocor itu untuk biaya main dan makan di luar (rumah) kalau weekend,” ucapnya.
Silvana sebenarnya sudah menyiapkan bujet sekitar Rp 3,5 juta per bulan untuk kebutuhan hiburan keluarga, termasuk saat liburan akhir pekan. Namun, jumlah itu sering kali tidak cukup. Beberapa kali ia terpaksa mengambil uang dari pos tabungan lain.
”Kemarin sudah evaluasi keuangan bareng suami, bujet mana yang lebih sering boncos. Tahun ini harus lebih ketat ngatur pos keuangan,” ucapnya.
Penghasilan utama keluarga berasal dari gaji suaminya yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Untuk menambah penghasilan, Silvana juga bekerja sebagai freelance penulis konten.
Sejak awal berumah tangga, Silvana sebenarnya sudah rutin menabung dan berinvestasi untuk berbagai kebutuhan. Dana darurat dan dana pendidikan anak menjadi prioritas utamanya. Ibu dua anak itu sudah menabung biaya pendidikan anaknya untuk jenjang SD, SMP, hingga perguruan tinggi.
Meski sudah punya persiapan, ia mengaku kaget saat mengetahui biaya pendidikan di Bogor ternyata lebih tinggi dari perkiraannya. Perantau asal Lampung itu akhirnya memutuskan untuk menambah bujet investasi pendidikan anak-anaknya tiap bulan. Silvana memilih instrumen investasi reksadana.
Tahun ini, ia berharap bisa mendaftar haji bersama suaminya. Untuk tujuan finansial itu, ia bakal menyisihkan uang bonus tahunan dari kantor suaminya.
Kalangan bawah
Sementara bagi masyarakat kalangan bawah, kebutuhan hidup yang semakin mahal menjadi tantangan sulit yang harus dilalui di tahun 2024. Mereka masih berkutat untuk bisa mencukupi biaya hidup dan sekolah anak-anaknya.
Seperti yang dialami Hariyani (32), warga Jakarta. Selasa siang, ia berbelanja kebutuhan sekolah anaknya di Pasar Palmerah, Jakarta Pusat. Tangan kanannya menjinjing kantong plastik besar berisi sepasang sepatu kanvas dan gulali. Tangan kirinya membimbing tangan putra bungsunya yang berusia 4,5 tahun.
”Saya belanja sepatu. Harganya Rp 100.000, tapi saya tawar, dapat Rp 80.000. Sepatu untuk anak sulung, kelas VIII SMP. Sepatunya sudah lama jebol,” kata perempuan yang karib disapa Yani ini di Pasar Palmerah.
Selasa merupakan hari pertama putra sulung dan putri kedua Yani masuk sekolah semester genap. Warga Pancoran, Jakarta Timur, ini mengupayakan anak-anaknya bisa nyaman ke sekolah. Walakin, kali ini hanya sepasang sepatu yang bisa ia beli.
Menurut Yani, sebenarnya tas kedua anaknya itu juga mesti diganti. Kedua tas itu juga dipinjam dari saudaranya. Apa boleh buat, ibu rumah tangga ini tak punya uang lebih untuk memenuhi semua kebutuhan sekolah anak-anaknya.
Sehari-hari, Yani hanya mendapat uang harian Rp 50.000-Rp 100.000 dari suami. Uang itu untuk semua kebutuhan, dari makan, sabun, belanja, ongkos anak sekolah, hingga pulsa.
Uang Rp 50.000-100.000 untuk biaya hidup keluarga di Ibu Kota tentu saja tidak cukup. Sangat sulit mengatur pendapatan. Apalagi, sekarang harga kebutuhan pokok, seperti beras, cabai, dan bawang, sedang melambung.
Jangankan menabung, kata Yani, bisa makan saja sudah syukur. Sesekali, ia juga meminjam pada tetangga jika tak punya uang.
Sulitnya mengelola keuangan saat biaya hidup tinggi dengan pendapatan pas-pasan juga dirasakan Etty Aryanti (48). Dua anaknya masih sekolah SD, sementara dua lainnya sudah kuliah sambil bekerja. Sementara anak sulung sudah menikah.
Biaya hidup semakin meningkat, tetapi mencari uang susah. Bahan pokok naik semua harganya. (Etty)
”Biaya hidup semakin meningkat, tetapi mencari uang susah. Bahan pokok naik semua harganya, beras, cabai, bawang, dan lainnya. Uang keluar dan uang masuk tidak sebanding,” kata Etty, warga Jakarta Barat.
Menurut Etty, bantuan dari program KJP (Kartu Jakarta Pintar) dan Program Indonesia Pintar (PIP) yang didapat sang anak memang relatif membantu. Namun, tetap saja bantuan itu tidak bisa menyeimbangkan neraca keuangannya.
Tingginya biaya hidup tidak hanya berdampak pada pengeluaran Etty, tetapi juga usaha yang digelutinya. Pakaian yang ia jual secara daring melalui Shopee dan media sosial sulit terjual. Padahal, sebelum pandemi Covid-19, dagangannya laris-manis.
”Dengan kondisi ekonomi sulit seperti sekarang, orang lebih memilih beli beras daripada beli baju,” katanya. Etty juga mengaku sering meminjam uang ke tetangga saat uangnya tak cukup. Untung pula ia tinggal di rumah orangtua bersama sang kakak sehingga tak perlu bayar kontrakan.
Untuk mengirit pengeluaran, Etty belakangan jarang memasak. Ia lebih sering membeli nasi di warteg untuk dimakan bersama dua anaknya. Memasak sendiri dengan harga kebutuhan pokok yang meroket justru lebih mahal dibanding membeli di warung nasi.
Penasihat keuangan sekaligus pendiri Oneshildt Financial Planning, Risza Bambang, berpendapat, ketidakpastian masih akan membayangi kondisi perekonomian tahun 2024. Dampak pandemi Covid-19 dan perang merupakan bebarapa hal yang dapat memengaruhi kondisi perekonomian secara global.
Penurunan produksi, hambatan dalam distribusi barang, penurunan daya beli masyarakat, dan inflasi menjadi hal-hal yang diprediksi bakal terjadi tahun ini. Kondisi ini bakal berdampak pada masyarakat.
Kalangan menengah bawah yang mempunyai keterbatasan pendapatan, katanya, masih membutuhkan bantuan dari pemerintah. Bantuan tersebut juga harus dibelanjakan sesuai kebutuhan, yakni untuk membeli sembako sehingga dapat mengurangi beban hidup warga.
Sayangnya, kata dia, bantuan tunai dari pemerintah sering kali dibelanjakan untuk kebutuhan lain, seperti rokok, pulsa, atau jajanan. Karena itulah, ia menyarahkan pemerintah memberikan bantuan nontunai dalam jumlah tertentu untuk membeli sembako.
”Jika (bantuan) dana tunai, tidak menyelesaikan problem utamanya: menghilangkan kebiasaan belanja tidak penting,” ucapnya.
Ia juga menyarankan agar masyarakat tidak tergoda berutang demi memenuhi kebutuhan konsumtif. ”Ini bisa memicu terciptanya solusi jalan pintas untuk menangani pembiayaan,” ucapnya.
Sementara itu, kelompok ekonomi menengah mempunyai tantangan besar dalam menentukan gaya hidup. Padahal, pilihan gaya hidup ini menjadi krusial saat menghadapi inflasi yang tinggi dan ketidakpastiaan.
Menurut dia, setiap keluarga harus memahami seberapa besar kemampuan keuangannya dalam memenuhi biaya hidup wajib. Selanjutnya, mereka juga harus menyisihkan penghasilan untuk kebutuhan masa depan. Hal ini manjadi landasan penting dalam menentukan resolusi keuangan di tahun 2024.
”Tentunya mereka harus melakukan asesmen terlebih dahulu untuk menilai rapor kesehatan keuangannya. Lalu lihat trend expenses (tren pengeluaran) tahun lalu untuk memilah mana yang wajib dan mana yang nafsu keinginan saja. Buat skala prioritas dan pilih tingkat gaya hidup. Terakhir, buat anggaran dan investasi,” katanya.
Baca juga : Siapkan Strategi Investasi dan Keuangan Tahun 2023