Menanti Arah Baru Kebijakan ”Pajak Dosa”
Keberanian pemerintah menerapkan ekstensifikasi cukai sangat dinanti untuk mewujudkan masyarakat yang lebih sehat.
Setelah berulang kali maju-mundur, pemerintah kembali bertekad menerapkan kebijakan cukai yang lebih ”berani” tahun ini. Mulai dari menambah obyek cukai baru untuk minuman manis dan produk plastik, sampai melanjutkan kenaikan tarif cukai rokok. Akankah arah baru kebijakan ”pajak dosa” ini membantu mengerek penerimaan negara sekaligus menyehatkan masyarakat?
Tahun 2023 ditutup dengan kinerja penerimaan cukai yang lesu. Kementerian Keuangan mencatat, sampai 12 Desember 2023, penerimaan cukai terkontraksi 3,7 persen dibandingkan tahun 2022, atau baru terealisasi Rp 196,7 triliun (86,6 persen dari target). Besar kemungkinan, setoran cukai sepanjang tahun 2023 tidak akan tercapai sesuai target.
Penyebab utamanya adalah anjloknya penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok, yang selama ini menjadi penyumbang setoran cukai terbesar.
Baca juga : Tarik Ulur Cukai Minuman Berpemanis
Ada sejumlah faktor yang menekan penerimaan cukai rokok sepanjang tahun lalu, yaitu maraknya peredaran rokok ilegal, tren peralihan konsumsi dari rokok konvensional ke rokok elektrik, serta fenomena downtrading atau peralihan konsumsi rokok ke golongan lebih rendah dengan tarif cukai yang jauh lebih murah.
Lepas dari setoran cukai yang buruk sepanjang tahun lalu, pemerintah tetap memasang target penerimaan cukai yang ambisius tahun ini. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024, penerimaan cukai ditargetkan mencapai Rp 246,1 triliun atau tumbuh 8,3 persen dibandingkan target tahun 2023.
Setidaknya ada dua strategi atau ”gebrakan” utama yang disiapkan pemerintah untuk mengejar target tersebut. Pertama, ekstensifikasi atau menambah obyek cukai baru terhadap produk minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) dan produk plastik. Kedua, intensifikasi berupa kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) dengan rata-rata kenaikan 10 persen.
Hal itu sesuai dengan kebijakan tarif cukai rokok yang sudah diputuskan pemerintah pada tahun 2022 lalu. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191 Tahun 2022, tarif CHT sudah ditetapkan naik rata-rata 10 persen pada tahun 2023 dan 2024, sedangkan tarif CHT rokok elektronik rata-rata sebesar 15 persen dan hasil pengolahan tembakau lainnya rata-rata 6 persen.
Hasilnya, dalam APBN 2024, setoran dari cukai MBDK pun ditargetkan sebesar Rp 4,39 triliun dan dari cukai plastik Rp 1,85 triliun. Sementara dengan kenaikan tarif CHT rata-rata 10 persen pada tahun 2024, penerimaan dari cukai rokok diperkirakan sebesar Rp 230,4 triliun.
Rencana ekstensifikasi cukai atau perluasan obyek barang yang dikenai cukai sebenarnya sudah muncul sejak lama.
Maju-mundur
Rencana ekstensifikasi cukai atau perluasan obyek barang yang dikenai cukai sebenarnya sudah muncul sejak lama, setidaknya sejak tahun 2016. Produk yang paling sering dibidik adalah minuman berpemanis. Namun, penerapannya berkali-kali mundur dan semakin terhambat akibat pandemi Covid-19.
Pada tahun 2023, pemerintah kembali merencanakan ekstensifikasi cukai untuk produk MBDK dan produk plastik. Target penerimaannya bahkan sudah dicantumkan dalam Peraturan Presiden Nomor 130 Tahun 2022 tentang Rincian APBN 2023.
Namun, kebijakan itu kembali ditunda dengan mempertimbangkan kondisi industri makanan dan minuman yang masih belum stabil selepas pandemi. Ada pula anggapan bahwa cukai MBDK dan plastik kurang tepat diterapkan di tengah tahun politik karena berpotensi membuat gaduh.
Direktur Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Askolani mengatakan, aturan teknis penerapan cukai MBDK dan plastik masih terus dikaji saat ini. Namun, secara umum, pemerintah optimistis kedua jenis barang itu bisa dikenai cukai mulai tahun 2024 meski belum diputuskan masa efektif berlakunya.
”Tentunya itu harus sejalan dengan kondisi ekonomi dan industri yang akan kita monitor sampai dengan pelaksanaannya di APBN tahun ini,” kata Askolani saat konferensi pers, Selasa (2/1/2024).
Menurut Askolani, skema (pungutan) dan tarifnya belum ditetapkan karena ini akan dibahas pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat. ”Kami juga masih akan siapkan implementasinya dalam bentuk peraturan pemerintah,” katanya.
Dalam pandangan Kemenkeu, ekstensifikasi cukai MBDK dan plastik dibutuhkan untuk burden sharing atau mengurangi ketergantungan pendapatan cukai dari industri tembakau. Selama ini, lebih dari 90 persen realisasi penerimaan cukai berasal dari rokok dan hasil tembakau lainnya.
Baca juga : Cukai Minuman Berpemanis Ditargetkan Berlaku Tahun 2023
Cukai MBDK juga diharapkan bisa menekan prevalensi penyakit diabetes melitus di Indonesia yang terpantau semakin tinggi dan mengkhawatirkan. Dalam 10 tahun terakhir, misalnya, prevalensi diabetes melitus di tengah masyarakat telah meningkat pesat dan diperkirakan semakin tinggi menjelang 2045. Indonesia kini berada di peringkat ketiga negara Asia Tenggara dengan tingkat konsumsi MBDK tertinggi.
Jika dibandingkan dengan negara tetangga di kawasan ASEAN, obyek barang kena cukai di Indonesia memang terhitung sedikit. Sebagai gambaran, selama ini, barang yang termasuk obyek cukai di Indonesia hanya sebatas etil alkohol atau etanol, minuman mengandung etil alkohol (MMEA) atau minuman keras, serta hasil tembakau, seperti rokok dan berbagai jenisnya, termasuk vape dan rokok elektrik.
Sementara di negara-negara lain, seperti Thailand, Filipina, Malaysia, dan Kamboja, barang kena cukai sudah mencakup emisi kendaraan bermotor, minuman berpemanis, serta plastik. Bahkan, beberapa negara sudah menerapkan cukai atas peredaran jasa tertentu yang dianggap ”merugikan” masyarakat, seperti cukai kelab malam dan diskotek di Laos, Kamboja, dan Thailand serta perjudian di Malaysia.
Tidak mulus
Meski target penerimaannya sudah dicantumkan dalam APBN, jalan menuju implementasi ekstensifikasi barang kena cukai tahun ini diperkirakan tidak akan mulus. Banyak pihak yang meragukan konsistensi pemerintah, apalagi setelah kebijakan tersebut berkali-kali ditunda.
Peneliti Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menilai perhelatan pemilihan umum tahun ini dapat menghalangi rencana penerapan cukai MBDK dan produk plastik untuk ke sekian kalinya. Apalagi, untuk menerapkan kebijakan itu, pemerintah masih harus berdiskusi dulu dengan beberapa pihak, termasuk DPR.
Ekstensifikasi cukai bisa sulit dilakukan mengingat kondisi politik saat ini.
Kebijakan tarif cukai baru yang berpotensi menaikkan harga barang akan dianggap tidak populis sehingga lebih sulit digolkan. ”Ekstensifikasi bisa sulit dilakukan mengingat kondisi politik saat ini. Secara administrasi, ada proses politik yang perlu dilalui untuk mengeksekusi ekstensifikasi barang kena cukai, seperti persetujuan beberapa kementerian terkait dan pihak lain,” katanya, beberapa waktu lalu.
Pengelolaan cukai pun lebih rumit dibandingkan pos penerimaan negara lain. Pasalnya, cukai memiliki fungsi dan tujuan ganda, yakni sebagai sumber pemasukan bagi negara (fungsi budgetair) serta sebagai alat untuk mengendalikan kegiatan ekonomi agar lebih baik dan efisien (fungsi regulerend).
Itulah sebabnya, cukai disebut juga sebagai ”pajak dosa” atau sin tax, alias pungutan yang dikenakan atas barang tertentu yang dianggap bisa berbahaya bagi masyarakat dan lingkungan. Cukai diharapkan bisa menaikkan harga barang bersangkutan sehingga mampu mengontrol dan membatasi konsumsinya di masyarakat.
Kedua tujuan di atas kerap kali saling menegasikan. Ketika penerimaan cukai turun, hal itu memberi sinyal positif bahwa fungsi cukai untuk mengendalikan penjualan konsumsi barang ”berbahaya” di masyarakat berhasil dicapai. Di sisi lain, jika penerimaan cukai naik, bisa diartikan cukai belum berhasil membatasi dampak negatif dari peredaran barang-barang tertentu.
Banyak celah
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono mengatakan, pada kenyataannya, kedua fungsi cukai sebagai budgetair dan regulerend itu kerap sulit dicapai. Logikanya, dengan pengenaan cukai atau kenaikan tarif, konsumsi barang tertentu semestinya bisa turun di masyarakat karena harganya lebih mahal.
Namun, di mana ada pungutan, di situ pula ada celah untuk menghindar, entah dengan cara legal ataupun ilegal. Akhirnya, tujuan cukai untuk menekan dampak negatif di masyarakat pun tidak tercapai, sebagaimana tampak dari pengalaman cukai hasil tembakau selama ini.
Baca juga : Menangkal Bumerang Cukai Rokok
”Kecenderungan yang muncul, masyarakat hanya mencari substitusi yang lebih murah. Meski ada cukai rokok, orang ternyata hanya pindah dari rokok biasa ke elektrik, dari rokok golongan I ke golongan III, atau lari ke rokok ilegal, bukan berhenti merokok,” kata Prianto.
Di sisi lain, dari sisi fungsi penerimaan negara pun, kebijakan cukai tidak selalu efektif mengerek laju penerimaan. Fajry Akbar mengatakan, dalam beberapa tahun terakhir, kenaikan tarif cukai rokok terbukti tidak mampu mengerek pertumbuhan penerimaan cukai secara efektif.
CITA mencoba mengukur rasio pertumbuhan penerimaan CHT terhadap kenaikan tarif. Hasilnya, dalam beberapa tahun terakhir, pada periode 2016-2021, kenaikan tarif cukai selalu lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan penerimaan CHT.
Sebagai contoh, pada 2018, meski tarif cukai rokok naik 10,8 persen, penerimaan cukai hasil tembakau hanya mampu meningkat 3,52 persen. ”Dengan data tersebut, kami menilai sulit bagi pemerintah untuk mencapai target penerimaan cukai hasil tembakau di tahun 2024. Perkiraan kasar kami, akan adagap sekitar 5-6 persen dari target penerimaan yang dipasang,” katanya.
Lepas dari pengalaman praktik cukai rokok yang kurang efektifitu, keberanian pemerintah untuk benar-benar menerapkan ekstensifikasi cukai mulai tahun ini sangat dinanti. Tidak hanya untuk menambah penerimaan negara, tetapi untuk mewujudkan masyarakat yang lebih sehat dan sejahtera.