Panen industri kakao bisa diolah menjadi cokelat bernilai tambah. Untuk menciptakan daya saing, biji kakao difermentasi dan diolah menjadi cokelat tanpa dipanggang. Ini agar cokelat mengandung antioksidan tinggi.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
Olivia Putri Prawiro memperhatikan pekerjanya sedang mengolah cokelat di pabriknya di Jalan Raya Sayan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali, Jumat (29/12/2023). Sambil menyapa, dia juga berkoordinasi proses produksi dengan pekerjanya.
”Ini pabrik pengolahan kakao kami menjadi cokelat,” ujar Olivia kepada wartawan.
Olivia merupakan salah satu pendiri dari merek cokelat Ubud Raw Chocolate & Cacao. Usaha ini dirintis bersama mitranya yang bernama Rolf Gibbs, seorang warga negara Inggris tetapi kerap tinggal di Indonesia. Berdiri sejak 2015, mereka memproduksi cokelat batangan hingga cokelat bubuk untuk minuman.
Cokelatnya ini, kata Olivia, mengolah bahan baku kakao dari petani lokal mulai dari Bali, Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi. Memang dirinya memiliki visi untuk menyerap kakao hasil panen petani lokal. Berawal dari kegemarannya mengonsumsi cokelat, mereka berdua lantas merintis sendiri usaha cokelatnya.
”Kami melihat, cokelat-cokelat yang terkenal di luar negeri seperti dari Swiss dan Amerika Serikat itu berasal dari kakao dari dalam negeri. Kami berpikir, kenapa ya tidak ada produk cokelat lokal yang berasal dari kakao petani lokal kita juga,” ujarnya.
Olivia menjelaskan, cokelat produksinya ini berbeda dari kebanyakan. Ia menggunakan bahan baku kakao yang telah difermentasi bukan kakao polos atau asalan. Kakao fermentasi ini menciptakan aroma yang lebih memikat.
Biji kakao yang telah difermentasi ini diproses lebih lanjut sehingga memberikan nilai tambah lebih besar. Ini yang membuat mereka rela membayar tiga kali lipat kepada petani dibanding produsen cokelat lainnya yang membeli kakao polos.
Selain menggunakan biji cokelat fermentasi, Olivia juga tidak memanggang biji kakaonya. Ini agar kadar antioksidan cokelatnya masih terjaga tinggi. Hasilnya, cokelat ini lebih sehat dikonsumsi.
”Kami ingin buat cokelat yang tak hanya enak, tetapi juga sehat,” tuturnya.
Berbekal kegigihan dan kegemarannya akan cokelat, walau Olivia dan Rolf ini tidak memiliki pengetahuan akan cokelat, produknya mereka sudah berhasil menembus pasar ekspor. Adapun negara tujuan ekspor mereka antara lain kawasan Eropa hingga Australia.
Sebulan mereka memproduksi sekitar 3 ton cokelat. Dari jumlah tersebut, 60-70 persen penjualan untuk pasar dalam negeri, sedangkan 30-40 persen sisanya untuk pasar ekspor.
Dalam produksinya, Olivia bercerita menghadapi tantangan mencari pasokan bahan baku kakao. Sejak tiga tahun terakhir, bahan baku kakao sulit dicari karena adanya La Nina dan El Nino. Biji kakao tidak boleh terlalu basah, begitu juga tidak boleh terlalu kering. Musim hujan ekstrem dan musim kemarau yang berkepanjangan ini tidak optimal untuk panen kakao. Untuk mengantisipasi hal itu, Olivia memperluas jaringan ke petani kakao dan mengatur dengan teliti penggunaan bahan bakunya.
Potensial
Olivia meyakini produk cokelat ke depan akan berkembang pesat. Sebab, masyarakat membutuhkan alternatif konsumsi minuman ringan selain kopi dan teh. Pasar kedua produk itu diyakini mulai jenuh sehingga konsumen butuh alternatif lain. Selain itu, cokelat pun bisa diolah menjadi cemilan yang digemari.
Pada kesempatan terpisah, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, Indonesia punya peluang besar menjadi pemain global untuk industri cokelat. Produksi kakao Indonesia per tahun sering kali menduduki peringkat kedua atau ketiga terbesar di dunia. Ini semestinya jadi potensi besar untuk diolah dan dikembangkan.
Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Putu Juli Ardika mengatakan, pihaknya terus mengembangkan hilirisasi kakao menjadi produk cokelat. Indonesia punya kekayaan tanah yang subur yang potensial untuk panen kakao.
Pihaknya juga akan membina para produsen cokelat orientasi ekspor. Sebab, perlu banyak dokumen dan sertifikat saat hendak mengirim ekspornya.