Indonesia Butuh Realisasi Pendanaan Perubahan Iklim
Indonesia butuh realisasi pendanaan dari negara maju untuk meningkatkan kapasitas energi terbarukan tiga kali lipat sampai 2030, sesuai dengan hasil COP28 di Dubai.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Seruan meningkatkan kapasitas energi terbarukan tiga kali lipat sampai 2030 yang tertuang dalam salah satu hasil konferensi perubahan iklim terbesar di dunia 2023 sejalan dengan arah pembangunan Indonesia. Namun, Indonesia membutuhkan realisasi pendanaan dari negara maju secara cepat.
Konferensi Para Pihak atau COP28 di Dubai, yang ditutup Rabu (13/12/2023), mengadopsi komitmen tersebut dalam dokumen Global Stocktake atau Inventarisasi Global. Selain meningkatkan tiga kali lipat energi terbarukan, efisiensi energi dua kali lipat dari rata-rata tahunan global.
Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinasi Maritim dan Investasi Rachmat Kaimuddin, Jumat (15/12/2023), mengatakan, Pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, bersama pihak swasta harus merumuskan rencananya ke depan sesuai dengan komitmen global tersebut.
Sejauh ini, ia melihat Indonesia sudah punya rencana yang akan sejalan dengan komitmen itu, terutama dari sektor energi kelistrikan. ”Indonesia sudah memiliki komitmen yang sejalan dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang akan kita buat (revisinya),” ujarnya dalam diskusi ”Post COP28: Peluang Bagi Dunia Usaha Indonesia” di Jakarta.
Seperti diketahui, pemerintah dan PT Perusahaan Listrik Negara Persero (PLN) tengah menyiapkan revisi RUPTL 2021-2030 secara selaras. Disebutkan, RUPTL itu akan memberikan porsi 75 persen untuk kapasitas pembangkit listrik energi terbarukan dari total penambahan pembangkit dan 25 persennya masih dari bahan bakar fosil berbasis gas.
Rencana itu, antara lain, akan dilakukan dengan menambah kapasitas energi surya dan angin hingga lima kali lipat dari hanya 5 gigawatt (GW) menjadi 28 GW.
Pembaruan kebijakan itu diharapkan meningkatkan bauran energi terbarukan yang pada akhir 2022 baru mencapai 12,3 persen atau di bawah target 15,7 persen dibandingkan dengan energi fosil yang masih mendominasi.
COP28 juga mengajak hampir 200 negara di dunia, termasuk Indonesia, untuk bertransisi dari bahan bakar fosil dalam sistem energi, secara berkeadilan, teratur, dan merata sehingga dapat mencapai net zero pada tahun 2050 sesuai dengan dasar saintifik terkait potensi peningkatan suhu di akhir dekade. Kemudian, COP28 menyerukan penghapusan bertahap subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien dan tidak mengatasi kemiskinan atau transisi energi yang adil, sesegera mungkin.
Rachmat menilai, Indonesia sudah cukup siap dengan kebijakan-kebijakan yang sudah ada untuk pembatasan energi fosil, terutama batubara. Sebagai contoh Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
”Sangat jelas dinyatakan di situ, yang pertama PLN itu tidak lagi bikin pembangkit listrik tenaga batubara, kecuali sudah dikontrakkan. PLN juga coba mengurangi dari pipeline (prospek bisnis) mereka,” ujarnya.
Pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan batubara juga sudah dilarang kecuali untuk proyek strategis nasional yang meningkatkan nilai tambah dan sebagainya. Kebijakan itu mempertimbangkan keadilan energi di daerah yang belum bisa melepas ketergantungan dengan batubara sebagai sumber pemasukan daerah atau untuk memenuhi keterjangkauan biaya listrik.
Meski demikian, proyek PLTU terpilih yang bisa mendapat persetujuan untuk menggunakan batubara juga harus memenuhi dua persyaratan. Pertama, PLTU harus dimatikan di 2050 sesuai dengan Nationally Determined Contribution (NDC) atau dokumen kontribusi nasional untuk penurunan emisi gas rumah kaca. Kedua, pada 10 tahun operasionalnya, PLTU itu harus menurunkan emisi 35 persen.
”Jadi, menurut kita itu suatu hal yang sudah cukup tegas,” ujar Rachmat.
Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Kemaritiman, Investasi, dan Luar Negeri Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Shinta W Kamdani, pada kesempatan sama, berpendapat, target yang diciptakan global dalam konferensi COP28 terbilang agresif. Sementara semua pihak harus realistis bahwa kondisi semua negara tidak sama.
Dalam hal ini, Indonesia, ujar Shinta, tetap menanti komitmen dari negara-negara maju. ”Dari pengalaman kami sebelumnya, banyak komitmen (dana) yang belum ter-deliver. Keluarnya ciprat-ciprat, katanya itu hampir minimal ya saat ini,” ujarnya.
Semua pihak, menurut dia, perlu menegaskan implementasi komitmen pendanaan terkait iklim. Selama dua pekan penyelenggaraan COP28, misalnya, terkumpul dana 83,9 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 1,3 kuadriliun (asumsi kurs Rp 15.541). Dari komitmen itu, ada 5 miliar dollar AS untuk energi terbarukan, 3,1 miliar dollar AS untuk pangan, 2,7 miliar dollar AS untuk sektor kesehatan, dan sisanya untuk dana yang lain.
Untuk menangkap potensi pendanaan dari komitmen tersebut, Kadin membentuk Sustainable Task Force. Komite itu dibentuk untuk membantu pengusaha agar mengetahui manfaat dari pendanaan yang terkumpul di COP sehingga bisa menyiapkan proyek yang bisa dibiayai sesuai target pendanaan. Mereka juga akan meminta bantuan Pemerintah Indonesia untuk memfasilitasi pembiayaan iklim yang tersedia.
”Jadi, sekali lagi, fokus kita adalah dari hasil komitmen-komitmen ini walau realisasi di implementasinya akan butuh waktu. Kita tetap mau proaktif untuk mencari tahu lebih banyak di mana kantong-kantongnya dan juga di fasilitasi pemerintah kita mempersiapkan proyek-proyek terkait,” katanya.