Tren defisit gula nasional harus diubah dengan mengembangkan teknologi seperti yang dilakukan Brasil dan India. Pemanfaatan teknologi dapat menjadi solusi bagi anomali industri gula konsumsi nasional.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemanfaatan teknologi dinilai dapat menjadi jalan keluar bagi anomali industri gula konsumsi nasional, di mana produktivitas terus merosot saat luas areal tanam tebu dan rendemen gula alami kenaikan. Tren defisit gula nasional dikhawatirkan akan terus berlanjut jika tidak ada perubahan dalam aktivitas rantai produksi gula,
Berdasarkan data yang dihimpun induk usaha BUMN Pangan, PT Rajawali Nusantara Indonesia atau ID Food, dalam sepuluh tahun terakhir rata-rata produksi gula kristal putih turun 1,16 persen per tahun. Ini terjadi saat luas areal tanam tebu dalam periode waktu yang sama rata-rata naik 0,74 persen per tahun mencapai 505.000 hektar pada 2023, naik dari tahun lalu yang seluas 489.000 hektar.
Selain luas areal tanam tebu, rendemen gula dalam sepuluh tahun terakhir juga naik rata-rata 0,19 persen per tahun. Pada tahun 2023, rendemen gula tercatat 7,32 persen atau naik 0,72 persen dari tahun lalu yang sebesar 6,6 persen.
Direktur Utama ID Food Frans Marganda Tambunan mengatakan, terjadinya anomali dalam industri gula nasional di mana sejumlah variabel produksi mengalami pertumbuhan sementara realisasi produksi tercatat menurun, disebabkan oleh faktor iklim dan minimnya pemanfaatan teknologi di industri gula.
Beberapa negara sudah mampu menguasai pasar gula global karena menerapkan teknologi dalam rantai pasok industri gula mereka.
”Apabila inovasi teknologi tidak segera diterapkan dan dikembangkan, defisit gula konsumsi akan tetap terjadi karena kenaikan konsumsi gula tidak mampu dikompensasi oleh kenaikan produksi,” ujarnya dalam National Sugar Summit 2023 di Jakarta, Rabu (13/12/2023).
Hingga November 2023, Indonesia masih defisit gula konsumsi atau gula kristal putih sebanyak 686.830 ton. Hal ini mengingat produksi gula konsumsi dalam negeri baru sekitar 2,42 juta ton, sedangkan kebutuhannya mencapai 3,11 juta ton.
Frans mengatakan, beberapa negara mampu menguasai pasar gula global karena menerapkan teknologi dalam rantai pasok industri gula mereka. Sebagai contoh, Brasil fokus pada penggunaan mesin di kebun dan pabrik. Teknologi budidaya yang efisien di Brasil meliputi penggunaan mesin-mesin pertanian modern, pemupukan yang tepat, serta pengelolaan hama dan penyakit yang efektif.
”Penerapan teknologi pada aspek-aspek tersebut membantu meningkatkan produktivitas tebu di Brasil dan mengurangi biaya produksi. Produksi gula kristal putih Brasil tahun ini sudah mencapai 43 juta ton,” ujarnya.
Selain Brasil, Frans juga mencatat India dalam beberapa tahun terakhir juga telah mampu menjadi eksportir gula global berkat kombinasi kontrol ketat pemerintah dan pembaruan teknologi.
Secara geografis, kondisi lahan tanam tebu di India mirip dengan Indonesia yang juga terganggu krisis iklim dan kerap diserang berbagai penyakit dan hama. Namun, Pemerintah India secara serius mengembangkan penelitian dan pengembangan tanaman tebu.
”Berbagai inovasi pemanfaatan teknologi telah teruji bahkan diterapkan pada skala bisnis gula global, baik untuk mendukung peningkatan produktivitas, optimalisasi rantai pasok gula, maupun rekayasa teknologi dalam penciptaan varietas unggul terbaru,” ujar Frans.
Direktur Tanaman Semusim dan Tahunan, Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Muhammad Rizal Ismail mengatakan, Kementerian Pertanian dan badan usaha milik negara menggulirkan berbagai langkah konkret untuk mencapai target swasembada gula konsumsi.
Program swasembada gula sudah dicanangkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel). Dalam perpres ini dijelaskan swasembada untuk kebutuhan konsumsi dapat diwujudkan paling lambat 2028. Kemudian swasembada gula untuk kebutuhan industri diwujudkan paling lambat 2030.
Rizal mengatakan, dalam strategi jangka panjang, implementasi teknologi di sektor hulu akan difokuskan pada penyediaan benih dengan varietas unggul dengan rendemen tinggi. Sementara, implementasi teknologi di sektor hilir akan melibatkan lembaga riset dalam pengembangan pabrik bioetanol untuk mendapatkan nilai tambah.
”Menteri Pertanian (Amran Sulaiman) telah menggandeng Pemerintah Brasil untuk transfer teknologi dengan ikut berinvestasi dalam pembangunan pabrik gula dan perluasan lahan tanam tebu,” ujarnya.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengajak para pemangku kepentingan di sektor gula Tanah Air untuk memikirkan ulang di mana posisi Indonesia dalam beberapa tahun ke depan pada rantai produksi gula global. Tanpa inovasi teknologi, Indonesia yang sempat merajai pasar gula dunia kini dikenal sebagai salah satu pasar penyerap produk gula global.
”Kalau kita lihat perjalanan manusia atau dari masa ke masa, memang kan awalnya kita menanam, lalu berjual, lalu menjadi industri. Tapi kok di Indonesia set back, kita dulu rajanya, sekarang malah jadi pengimpor terbesar,” ujarnya.
Mandiri gula
Erick berharap ke depannya Indonesia akan menjadi negara yang mandiri yang tidak hanya bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan konsumsi gula dalam negeri. Pasalnya, dari berbagai aspek mulai ketersediaan lahan dan kapasitas sumber daya manusia, Indonesia sangat mampu untuk menjadi negara swasembada gula.
”Kita jangan terus menjadi bangsa pecundang yang akhirnya hanya jadi market saja, dan saya berharap kita menjadi mandiri, kuat, toh kesempatannya ada, dan tidak lama hanya sampai 2038,” kata Erick.
Sementara itu, Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi optimistis, di tengah tingginya harga gula dunia, ketersediaan gula nasional akan mencukupi kebutuhan dalam negeri hingga akhir tahun 2023. Adapun kenaikan harga gula dunia disebabkan sejumlah faktor, antara lain kenaikan harga produksi, penurunan produksi, serta restriksi ekspor dari beberapa negara produsen gula.
”Peningkatan harga gula dunia ini tentu berdampak besar pada harga nasional karena dari kebutuhan 3,2 juta ton per tahun, produksi dalam negeri hanya sekitar 2,2 juta ton per tahun sehingga 30 persen kebutuhan gula Indonesia masih bergantung dari pasokan luar negeri,” ujarnya.