Pemerintah Rangsang Dunia Usaha Terapkan Prinsip ESG
Pemerintah merangsang dunia usaha untuk mengadopsi prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola atau ESG.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah langkah dilakukan pemerintah untuk merangsang dunia usaha dalam mengadopsi prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola atau ESG. Meningkatnya komitmen dalam mengimplementasikan ESG mendorong lahirnya inisiatif-inisiatif dunia usaha untuk memitigasi dampak perubahan iklim.
Dua mekanisme pembiayaan hijau tersebut adalah catalytic funding (pendanaan katalitik) dan program incentivize mitigation plans and outcomes (pemberian insentif pada rencana dan hasil mitigasi). Pendanaan katalitik berfokus pada pengembangan perusahaan rintisan yang menerapkan prinsip ESG dalam menjalankan bisnisnya.
Pendanaan dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama diberikan total 20 persen, kedua 30 persen, kemudian terakhir diserahkan sebesar 50 persen. Pendanaan ini memiliki nilai total 400.000 dollar AS atau setiap usaha rintisan mendapat 100.000 dollar AS.
Dalam tiga tahun terakhir, aset yang dikelola untuk pendanaan ESG naik tiga kali lipat dari Rp 90 miliar pada 2019 menjadi lebih dari Rp 270 miliar pada akhir 2022.
Head of Venture Funds Mandiri Capital Indonesia Muhammad Salman mengatakan, inisiatif pemerintah bekerja sama dengan swasta dalam menghadirkan pendanaan-pendanaan kreatif dan inovatif telah mendorong dunia usaha menjalankan bisnis yang sejalan dengan tiga faktor sentral pengukuran dampak keberlanjutan, yakni lingkungan, sosial, dan tata kelola.
Terlebih, saat ini saat ini, aspek ESG menjadi perhatian beragam pemangku kepentingan, mulai dari pemangku kebijakan hingga investor.
”Jadi, selama perusahaan punya data yang terverifikasi atas ESG yang diterapkan, perusahaan bisa mengambil keputusan untuk meningkatkan dan memperbaiki performa bisnis sesuai prinsip berkelanjutan,” ujar Salman, Senin.
Dalam tiga tahun terakhir, aset yang dikelola (asset under management/AUM) untuk pendanaan ESG naik tiga kali lipat dari Rp 90 miliar pada 2019 menjadi lebih dari Rp 270 miliar pada akhir 2022. Hal itu, menurut Salman, menunjukkan bahwa selera investor dalam berinvestasi di sektor-sektor yang mengedepankan prinsip keberlanjutan terus tumbuh.
Sebelumnya, pada 12 November 2023, Kementerian Keuangan meluncurkan sebuah kerangka kerja dan manual ESG yang berfungsi sebagai panduan bagi semua pihak yang terlibat dalam pengembangan proyek infrastruktur secara berkelanjutan.
Menurut Direktur Pengelolaan Dukungan Pemerintah Pembiayaan Infrastruktur Kementerian Keuangan Brahmantio Isdijoso, kerangka kerja ESG ini merupakan respons terhadap perubahan ketertarikan lembaga donor dan investor yang sekarang cenderung menyukai investasi untuk pembangunan inklusif, tangguh, dan berkelanjutan.
”Dengan penerapan prinsip ESG ini, Kementerian Keuangan ingin membuka peluang bagi investor untuk membiayai proyek infrastruktur ramah lingkungan di Tanah Air,” ujarnya saat dihubungi, Senin.
Pemerintah biasanya masuk ke dalam proyek-proyek infrastruktur di dalam melalui skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU). Uang negara akan masuk ke dalam proyek KPBU dengan beragam bentuk, termasuk memberikan fasilitas penyiapan proyek atau pendampingan awal.
Uang negara juga biasanya masuk lewat availability payment (AP) melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Tujuannya untuk memastikan viabilitas dari proyek tersebut. Bentuk intervensi keuangan negara juga berupa pemberian garansi proyek.
”Penerapan ESG memungkinkan kita untuk menarik investasi lebih banyak untuk pendanaan proyek tersebut sehingga penggunaan APBN tidak sebesar yang dibutuhkan, terutama pada awal proyek,” lanjut Brahmantio.
Sementara itu, Chairperson Indonesia Impact Alliance Romy Cahyadi menjelaskan, mobilisasi pendanaan hijau telah merangsang upaya perusahaan-perusahaan rintisan dalam mengimplementasikan ESG dalam praktik bisnis mereka. Hal ini turut meningkatkan upaya sektor swasta dalam berkontribusi memitigasi dampak perubahan iklim.
Pasalnya, dari sisi investor impact investment (pendanaan berdampak), lanjut Romy, kriteria dan penilaian untuk mencari perusahaan penerima investasi tidak hanya terhenti di performa bisnis, tetapi juga dampak bisnis terhadap aspek sosial dan aspek lingkungan.
Investor impact investment lebih banyak mencari perusahaan-perusahaan yang menjalankan prinsip ESG yang dapat menyerap pendanaan di atas 2 juta dollar AS (Rp 30 miliar).
”Sebagian besar perusahaan Indonesia yang punya kebutuhan pendanaan 100.000 dollar AS hingga 1 juta dollar AS, atau Rp 1,5 miliar hingga Rp 15 miliar, secara bersungguh-sungguh mengupayakan social performance dan environmental performance,” ujarnya.
Kendati demikian, terdapat tantangan, yakni kebanyakan investor pendanaan berdampak cenderung lebih gemar menyalurkan dana besar. Dengan kata lain, investor lebih banyak mencari perusahaan-perusahaan yang menjalankan prinsip ESG yang dapat menyerap pendanaan di atas 2 juta dollar AS (Rp 30 miliar).
”Di sini letak tantangannya karena sebagian besar perusahaan di Indonesia kebutuhannya hanya di bawah Rp 15 miliar. Kalau tantangan ini tidak diselesaikan, berapa besar pun dana kelolaan (impact investment) yang ada, penyerapannya akan minim,” ujarnya.