Jadikan Data Sensus Pertanian Basis Kebijakan Berkelanjutan
Hasil ST 2023 bisa menjadi basis kebijakan publik yang berkelanjutan dari pemerintah lama ke pemerintah baru, seperti pendistribusian pupuk, perlindungan sawah, pemutakhiran data lahan irigasi, dan pengendalian inflasi.
Oleh
HENDRIYO WIDI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hasil Sensus Pertanian 2023 Tahap I bisa menjadi pijakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan di sektor pertanian secara berkelanjutan. Hal itu tidak hanya mencakup regenerasi petani, tetapi juga distribusi pupuk, peningkatan usaha petani, serta kepemilikan lahan dan perlindungan lahan baku sawah.
Hasil sensus yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) juga bisa menjadi acuan kebijakan pengendalian inflasi. Misalnya melalui peningkatan produksi sejumlah komoditas yang rutin menyumbang inflasi dan pengembangan pertanian di wilayah perkotaan.
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University Dwi Andreas Santosa, Selasa (5/12/2023), mengatakan, hasil Sensus Pertanian (ST) 2023 Tahap I menyingkap sejumlah persoalan penting di sektor pertanian. Pertama, jumlah rumah tangga usaha pertanian (RTUP) bertambah, tetapi malah diikuti dengan penurunan usaha pertanian perorangan (UTP).
”Ini artinya jumlah orang yang memiliki usaha pertanian yang mampu mendukung kesejahteraan ekonomi rumah tangga tani semakin berkurang. Bisa jadi mereka meninggalkan usaha tersebut karena kurang menguntungkan. Bisa juga lantaran luas lahan mereka semakin berkurang gegara dijual atau sejumlah faktor lain,” ujarnya ketika dihubungi dari Jakarta.
Jumlah orang yang memiliki usaha pertanian yang mampu mendukung kesejahteraan ekonomi rumah tangga tani semakin berkurang.
Kondisi itu, lanjut Dwi, juga tecermin dari meningkatkan jumlah petani gurem atau yang memiliki lahan di bawah 0,5 hektar. Bertambahnya petani kecil itu bisa terjadi lantaran penyusutan lahan dan juga alih profesi nonpetani menjadi petani.
Berdasarkan hasil ST 2023 Tahap I, rasio UTP terhadap RUTP turun dari 1,21 pada 2013 menjadi 1,03 pada 2023. Artinya, dalam 10 tahun terakhir, dari 100 rumah tangga petani, jumlah petani yang bergerak di UTP berkurang dari 21 orang menjadi tiga orang. Dalam periode yang sama, jumlah petani gurem di Indonesia bertambah 2,64 juta rumah tangga dari 14,25 juta rumah tangga menjadi 16,89 juta rumah tangga.
Menurut Dwi, sejumlah persoalan itu muncul karena usaha pertanian dinilai tidak lagi menguntungkan. Di sektor tanaman pangan, terutama padi, misalnya. Dalam satu dekade terakhir, produksi padi nasional rata-rata turun 1 persen per tahun.
Nilai tukar petani tanaman pangan pada 2021 dan 2022 juga selalu berada di bawah ambang batas 100, yakni 98,5. Ini artinya biaya produksi masih lebih tinggi dibandingkan pendapatan yang diterima petani.
”Baru pada semester II-2023 petani bisa untung karena harga gabah tinggi. Namun, keuntungan itu kembali tergerus setelah pemerintah mengalokasikan impor beras sebanyak 3,5 juta ton pada 2023 dan 2 juta ton pada 2024,” katanya.
Untuk itu, Dwi berharap agar pemerintah menggunakan hasil ST 2023 sebagai basis kebijakan di sektor pertanian. Pemerintah harus menjamin harga gabah di tingkat petani tetap menunguntungkan, menekan impor beras, memastikan transformasi subsidi pupuk berjalan dengan baik, melindungi lahan tanaman pangan, dan meningkatkan kualitas usaha pertanian.
Integrasi data
Pengamat pertanian dan juga pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori juga berpendapat serupa. Hasil ST 2023 bisa menjadi basis membuat kebijakan publik yang berkelanjutan dari pemerintah lama ke pemerintah baru. Kebijakan itu antar lain mencakup reformasi subsidi pupuk, perlindungan lahan baku sawah, dan pemutakhiran data lahan irigasi.
Khudori menjelaskan, saat ini, pemerintah tengah mematangkan perubahan skema subsidi pupuk menjadi bantuan langsung yang akan disalurkan pada rekening perbankan atau dompet digital milik petani. Artinya, subsidi diberikan langsung pada penerima dan bukan barang, sehingga harga pupuk akan sesuai harga pasar.
ST 2023 dapat menjadi acuan data petani penerima bantuan langsung tersebut. Di sisi lain, hasil sensus itu juga bisa diintegrasikan dengan peta status hara lahan dan rekomendasi pemupukan dalam rangka menjaga kesuburan tanah dan menghindari pemupukan berlebihan.
Jangan sampai lahan baku sawah berkurang dan ketahanan pangan nasional terancam demi memberikan karpet merah bagi para investor.
Menurut Khudori, hasil ST 2023 juga dapat menjadi basis kebijakan perlindungan lahan baku sawah. Pada 2019, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional menetapkan lahan baku sawah seluas 7,46 juta hektar (ha). Dari luasan itu, sekitar 300.000 ha akan dialihfungsikan.
”Kebijakan yang nanti diambil harus mengacu pula pada hasil ST 2023. Jangan sampai lahan baku sawah berkurang dan ketahanan pangan nasional terancam demi memberikan karpet merah bagi para investor. Ke depan, perlindungan lahan baku sawah ini harus menjadi konsensus sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan,” katanya.
Selain itu, lanjut Khudori, hasil ST 2023 juga bisa menjadi basis pemutakhiran data lahan pertanian yang bergantung pada jaringan irigasi. Hal ini terkait erat dengan pembangunan bendungan-bendungan di sejumlah daerah di Indonesia.
Sampai akhir 2022, pemerintah telah membangun 36 bendungan beserta jaringan irigasinya. Namun, masih banyak bendungan yang belum terintegrasi secara maksimal lantaran tidak memiliki jaringan irigasi tersier.
Pengendalian inflasi
Hasil ST 2023 Tahap I BPS juga bisa menjadi basis acuan pengendalian inflasi daerah. Hal itu lantaran hasil sensus tersebut juga menyajikan data pertanian urban atau praktik budidaya tanaman pangan di wilayah perkotaan dan komoditas-komoditas yang dikembangan sebagai UTP.
BPS mencatat, jumlah RTUP urban di Indonesia 12.919 rumah tangga. Provinsi dengan RTUP urban terbanyak adalah Jawa Barat (24,87 persen), Jawa Timur (18,95 persen), dan Jawa Tengah (15,07 persen).
Hasil ST 2023 juga menunjukkan ada sejumlah komoditas yang rutin menyumbang inflasi di bulan-bulan tertentu yang belum banyak dikembangkan oleh UTP. Sepuluh besar komoditas yang dikembangkan UTP adalah padi sawah inbrida, ayam kampung, sapi potong, kelapa, jagung hibrida, kambing, kelapa sawit, ubi kayu, karet, dan padi sawah hibrida.
Pelaksana Tugas Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, cabai merah, cabai rawit, dan bawang merah belum masuk 10 besar komoditas yang dikembangkan UTP. Padahal, ketiga komoditas itu kerap berkontribusi terhadap inflasi. Pada November 2023, misalnya, cabai merah berandil terhadap inflasi sebesar 0,16 persen, cabai rawit 0,08 persen, dan bawang merah 0,03 persen.
”Ke depan perlu didorong peningkatan usaha pertanian ketiga komoditas itu baik dalam bentuk perorangan, badan usaha, maupun bentuk lainnya untuk meminimalkan tekanan inflasi,” katanya.