Kesenjangan Talenta Digital Jadi Momok Perekonomian Nasional
Dalam rentang 2015-2030 Indonesia butuh tambahan 9 juta talenta digital untuk mengoptimalkan ekonomi digital.
JAKARTA, KOMPAS — Kontribusi sektor ekonomi digital terhadap perekonomian Indonesia tidak akan maksimal selama masih ada kesenjangan antara jumlah kebutuhan talenta digital dan ketersediaan di pasar tenaga kerja. Padahal, jika tergarap optimal, potensi pasar ekonomi digital bisa menopang melesatnya pertumbuhan ekonomi nasional.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Digital, Ketenagakerjaan, dan UMKM Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Rudy Salahuddin mengatakan, sebanyak 77 persen dari populasi 277 juta jiwa penduduk Indonesia telah terpapar internet atau teknologi digital.
Dengan potensi tersebut, pada 2030, produk domestik bruto (PDB) Indonesia diprediksi mencapai Rp 24.000 triliun dengan 18 persen di antaranya atau Rp 4.500 triliun disumbang oleh ekonomi digital. Sebagai catatan, PDB Indonesia pada 2022 sebesar Rp 19.588,4 triliun.
Untuk mencapai lompatan PDB dengan penopang ekonomi digital pada 2030, Indonesia memerlukan tambahan 9 juta talenta digital terhitung sejak 2015 hingga 2030.
Tambahan talenta digital baru per tahun ditargetkan untuk memenuhi keahlian dalam bidang pengembangan kecerdasan buatan ( artificial intelligence/AI) dan komputasi awan.
”Kalau dihitung secara kasar, setiap tahun Indonesia memerlukan tambahan sekitar 600.000 talenta digital baru,” kata Rudy dalam pemaparan media bertema ”Peluncuran Buku Putih Strategi Nasional Pengembangan Ekonomi Digital”, di Jakarta, Senin (4/12/2023).
Rudy memaparkan, dari kebutuhan 600.000 talenta digital baru per tahun tersebut, saat ini kebutuhan ditargetkan untuk memenuhi keahlian dalam bidang pengembangan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dan komputasi awan.
Sayangnya, berdasarkan catatan Kementerian Komunikasi dan Informasi, kemampuan Indonesia menghasilkan talenta digital baru saat ini jauh dari kondisi ideal, yakni 100.000 hingga 200.000 talenta per tahun. Institusi pendidikan menjadi ujung tombak untuk menutupi kesenjangan ini.
Menurut Rudy, diperlukan perubahan kurikulum yang lebih menekankan pada aspek analitik; kuantitatif; dan sains, teknologi, teknik, matematika (science, technology, engineering, math/STEM) guna mengejar cepatnya perkembangan teknologi.
Baca Juga: Kebijakan Pengembangan Ekonomi Digital Belum Sinergis
Untuk menutupi kesenjangan tersebut, pemerintah telah terus melakukan kerja sama dengan berbagai platform teknologi lokal maupun asing. Dua nama raksasa teknologi yang telah pemerintah gandeng untuk membentuk sumber daya manusia berkompetensi digital berkualitas adalah Apple dan Microsoft
Sejak tahun 2017, Apple Developer Academy bekerja sama dengan sejumlah institusi pendidikan di Tanah Air mendidik calon sumber daya manusia andal di sektor digital.
Salah satu inisiatif Microsoft mencakup pelatihan literasi digital yang sudah dilakukan melalui peluncuran Skills for Jobs Indonesia pada Januari 2023 untuk penguatan keterampilan digital dan persiapan mencari kerja bagi 1 juta masyarakat hingga 2024.
”Kami juga bekerja sama dengan perguruan tinggi asing, salah satunya King’s College London yang membuka program studi digital economy dan digital future di Kawasan Ekonomi Khusus Singhasari, Malang,” kata Rudy.
Usaha mikro
Berbagai upaya perlu dilakukan untuk mengoptimalkan potensi besar ekonomi digital Indonesia. Nilai ekonomi digital Indonesia terus tumbuh dan tercatat sebagai yang tertinggi di Asia Tenggara. Pada 2023, nilai ekonomi digital Indonesia sebesar 82 miliar dolar AS, dan diperkirakan mampu mencapai 109 miliar dolar AS pada 2025. Selain itu, 40 persen pangsa pasar ekonomi digital Asia Tenggara berada di Indonesia.
Ekonomi digital Indonesia didominasi oleh layanan perdagangan digital atau e-commerce. Sebagai gambaran, valuasi aktivitas ekonomi e-dagang atau e-commerce tahun 2021 sebesar 53 miliar dollar AS atau sekitar tiga perempat dari total kegiatan ekonomi digital nasional.
Pada tahun 2030, diperkirakan besarannya meningkat hingga mencapai dua kali lipatnya. Hal ini salah satunya ditopang oleh sisi kepraktisan yang ditawarkan dalam bertransaksi sehingga e-dagang atau e-commerce kian berkembang secara akseleratif.
Rudy mengatakan, dalam kondisi ideal, potensi pasar digital yang besar ini turut mendorong kencangnya pertumbuhan ekonomi. Perdagangan digital yang tak terbatas oleh ruang dan waktu juga membuka peluang usaha di seluruh Nusantara untuk memperluas jangkauannya, terutama kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Baca Juga: Digitalisasi UMKM Masih Sebatas Ciptakan Persaingan Usaha
”Saat ini sekitar 27 juta UMKM yang telah go digital. Targetnya pada 2024 nanti sebanyak 30 juta UMKM sudah go digital,” kata Rudy.
Digitalisasi birokrasi
Dalam waktu dekat, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian akan mengeluarkan ”Buku Putih Strategi Nasional Pengembangan Ekonomi Digital 2023-2030”. Buku ini akan menjadi acuan untuk banyak kementerian dan lembaga untuk mencapai tujuan pengembangan ekonomi digital yang optimal.
Sebelumnya dalam gelaran Indonesia Digital Summit 2023, pekan lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie menyampaikan, minimnya rasio jumlah aparatur sipil negara (ASN) yang sudah mengadopsi cara kerja secara digital memang masih masih menjadi tantangan besar untuk mencapai potensi ekonomi digital Tanah Air.
”Berdasarkan survei yang kami buat, baru 30 persen dari jumlah birokrat kita yang secara pola pikir sudah mengedepankan digitalisasi. Ini menjadi tantangan kita, bagaimana mau masyarakat bertransformasi secara digital kalau ASN belum berpikir digital first,” ujarnya.
Lebih lanjut, pada 2045, ekonomi digital di Indonesia diproyeksikan sebesar 20,7 persen terhadap PDB. Proyeksi tersebut, lanjut Budi, masih memiliki ruang peningkatan karena nilainya masih jauh jika dibandingkan dengan negara Eropa di mana kontribusi ekonomi digital mereka mencapai 30 persen dari PDB.
Dalam kesempatan yang berbeda, ekonom yang juga pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), Ibrahim Kholilul Rohman, mengatakan, saat ini langkah yang diambil setiap kementerian dan lembaga negara terlihat belum sinergis dalam mengembangkan ekonomi digital.
Ia menggambarkan, Bank Indonesia (BI) fokus pada sistem pembayaran digital, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) fokus pada pengawasan dan pengembangan industri layanan jasa keuangan digital, Kementerian Koperasi dan UKM fokus mendorong masuknya UKM ke ekosistem digital, dan berbagai kebijakan kementerian dan lembaga lainnya. Namun, implementasi tugas masing-masing itu dinilai belum menuju ke satu titik tujuan bersama.
Ibrahim yang pernah bekerja sebagai peneliti ekonomi digital di Komisi Uni Eropa mengatakan, Indonesia bisa mencoba belajar dari kebijakan pengembangan ekonomi digital di kawasan Uni Eropa. Di sana, terdapat berbagai regulasi, seperti eIDAS (Electronic Identification, Authentication, and Trust Services), EGDPR (European General Data Protection Regulation), dan Horizon 2020. Namun, semua regulasi itu mengarah pada satu tujuan, yakni Digital Single Market.