Tiktok Kembangkan Fitur Dukungan pada Peristiwa Tragis
Selama konflik Israel-Hamas mencuat, di Indonesia banyak muncul konten yang menuduh keberpihakan ke salah satu negara berkonflik. Fenomena serupa juga terjadi di negara lain.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tiktok, platform digital yang dimiliki perusahaan raksasa teknologi China, ByteDance, mengumumkan baru saja meluncurkan fitur dukungan peristiwa tragis atau tragic events support. Fitur ini bersifat sebagai pusat keamanan terhadap konten yang di antaranya menyangkut tema perang, bencana, dan insiden serangan teroris.
”Meski Tiktok sebenarnya hanya platform dan bisa dikatakan hanya perantara (distribusi konten), kami tetap memberikan akses informasi keamanan dasar dan pihak yang bisa dihubungi oleh pengguna,” ujar Outreach and Partnerships Manager Trust and Safety di Tiktok Indonesia Anbar Jayadi, Jumat (1/12/2023), di Jakarta.
Di dalam fitur dukungan peristiwa teragis, terdapat daftar negara. Anbar mengatakan, Indonesia termasuk dalam negara prioritas Tiktok dalam fitur itu. Tiktok bekerja sama dengan Wahid Foundation untuk mengimplementasikan dukungan peristwa tragis di Indonesia. Cara kerja fitur ini sama seperti mekanisme pelaporan konten disinformasi.
Head of Communications Tiktok Indonesia Anggini Setiawan menambahkan, Tiktok bukan media sosial, melainkan juga platform distribusi konten. Selama konflik Israel-Hamas mencuat, di Indonesia sendiri banyak muncul konten yang menuduh keberpihakan ke salah satu negara berkonflik. Fenomena serupa juga terjadi di negara lain.
Hanya saja, sebagai platform, Tiktok memiliki tiga faktor yang memengaruhi konten video muncul di layar for your page (FYP) pengguna. Salah satunya adalah faktor interaksi yang dilakukan sendiri oleh pengguna. Algoritma Tiktok pun bergerak sangat dinamis.
”FYP Tiktok mencerminkan preferensi yang unik dari masing-masing pengguna Tiktok,” kata Anggini. Sodoran konten yang muncul di setiap FYP pengguna bukan bergantung dari seberapa banyak pengikut (follower), melainkan interaksi.
Tim moderasi konten di Tiktok pun bukan hanya dari mesin kecerdasan buatan, melainkan juga manusia. Sebanyak 8 persen dari moderator konten di Tiktok yang berjumlah 40.000 bisa berbahasa Indonesia.
”Moderator manusia biasanya akan selalu ditambah. Di tengah memanasnya konflik Israel-Hamas, kami juga menambah moderator berbahasa Arab,” ujar Anggini.
Dalam postingan di blog perusahaan baru-baru ini, Tiktok mengatakan bahwa sistem algoritma rekomendasinya tidak memihak dan memiliki langkah-langkah ketat untuk mencegah manipulasi. Perusahaan teknologi ini juga mengatakan kepada BBC bahwa dari 7 Oktober hingga 17 November 2023 telah menghapus lebih dari 1,1 juta video di wilayah konflik. Pasalnya, video tersebut melanggar ketentuan, termasuk konten ujaran kebencian, terorisme, dan disinformasi. Pedoman komunitasnya melarang konten yang mempromosikan Islamofobia atau antisemitisme sehingga menurut Tiktok ini akan ditindak.
Tahun lalu, ketika perang Rusia-Ukraina memanas, Tiktok mengumumkan menangguhkan streaming langsung dan konten baru yang diunggah dari Rusia. Tindakan ini diambil karena meninjau undang-undang baru Rusia tentang berita palsu. Jutaan orang telah beralih ke Tiktok untuk mendapatkan pembaruan langsung dan klip video pertempuran di Ukraina.
Tahun lalu, ketika perang Rusia-Ukraina memanas, Tiktok mengumumkan menangguhkan streaming langsung dan konten baru yang diunggah dari Rusia. Tindakan ini diambil karena meninjau undang-undang baru Rusia tentang berita palsu.
Perusahaan ini harus menghadapi banyaknya video, beberapa di antaranya dimaksudkan untuk menunjukkan aksi di lapangan, tetapi tidak diverifikasi. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa Tiktok menyebarkan informasi yang salah tentang invasi tersebut.
Menurut ulasan The New York Times, video dengan tagar #Ukrainewar telah ditonton hampir 500 juta kali di Tiktok, dengan beberapa video terpopuler mendapatkan hampir 1 juta suka (like). Sebaliknya, tagar #Ukrainewar di Instagram memiliki 125.000 postingan dan video terpopuler dilihat puluhan ribu kali.
Tiktok bergabung dengan Meta, X, dan Youtube melarang media yang didukung negara Rusia di Uni Eropa dan memberi label pada media yang didukung negara tersebut di seluruh dunia. Platform teknologi tersebut terjebak di tengah perang informasi mengenai invasi. Para pemimpin Ukraina, pejabat Amerika Serikat, dan Eropa menyerukan mereka untuk memutus hubungan dengan Rusia, sementara Rusia menekan perusahaan-perusahaan tersebut untuk menyensor konten mereka.
Partnership Manager Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Dewi Sari mengatakan, konten hoaks ataupun disinformasi mengenai perang Rusia-Ukraina dan Israel-Hamas juga banyak bermunculan. Sebagai contoh, disinformasi salah satu tokoh penting dunia memberikan sumbangan ke Palestina dan ini cenderung dibesar-besarkan. Akan tetapi, hoaks ataupun disinformasi seperti itu kerap tertutup oleh konten politik di dalam negeri.
”Sepanjang Januari-November 2023, sebanyak 53,9 persen hoaks politik mengandung topik pemilu. Sasarannya adalah semua kandidat pasangan calon presiden dan wakil presiden,” tutur Dewi.
Berdasarkan data OECD, tingkat literasi di Indonesia berada di peringkat 74 dari 79 negara dan sesuai data UNESCO Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara.
Konten hoaks ataupun disinformasi setiap harinya banyak beredar. Namun, tidak semua warganet mudah menyaring konten hoaks tersebut. Menurut Dewi, tantangan utamanya adalah literasi yang rendah. Berdasarkan data Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), tingkat literasi di Indonesia berada di peringkat 74 dari 79 negara dan sesuai data Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara.
Direktur Eksekutif Siber Sehat Indonesia Ibnu Dwi Cahyo berpendapat, konten-konten seputar perang Israel-Hamas tersebar dari media sosial sampai ke aplikasi pesan instan. Dia menduga konten tersebut berasal dari unggahan video di media sosial. Algoritma media sosial membuat konten bisa cepat viral tanpa perlu disokong iklan berbayar. Kendati sejumlah perusahaan media sosial mengaku banyak menghapus konten konflik, konten sudah lebih dahulu menyebar ulang sehingga dapat memengaruhi persepsi warga.