Keniscayaan Perusahaan Migas di Tengah Arus Rezim Perubahan Iklim
Industri minyak dan gas memang bukan lagi musuh utama dalam perbincangan perubahan iklim. Namun, produsen energi fosil harus segera memaksimalkan diversifikasi ke energi bersih sebelum 2030.
Sehari sebelum pembukaan Konferensi Perubahan Iklim ke-28 atau COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), Kamis (30/11/2023), beredar rilis pers mengenai mundurnya Presiden COP28 saat ini, Sultan Al Jaber, dari posisi Kepala Eksekutif Abu Dhabi National Oil Company (ADNOC), perusahaan minyak nasional UEA.
Rilis yang diedarkan melalui surat elektronik dan situs dengan mengatasamakan panitia COP28 itu keluar setelah beredar laporan bahwa Al Jaber hendak melobi sejumlah negara untuk mendukung proyek bahan bakar fosil.
Baca juga: Dunia Sepakati Akselerasi Aksi Iklim Bersama
Panitia COP28 dalam akun resmi di media sosial X kemudian mengklarifikasi bahwa rilis tersebut tidak dikeluarkan tim COP28 dan dipastikan berita palsu. ”Berita resmi COP28 hanya akan dipublikasikan melalui media sosial terverifikasi dan kantor pers kami,” kata mereka.
Kontroversi kabar mundurnya Presidensi Al Jaber dalam COP28 dari jabatannya di ADNOC mencuat karena UEA saat ini adalah salah satu dari sepuluh produsen minyak bumi terbesar di dunia.
Laporan Administrasi Perdagangan Internasional Amerika Serikat, 25 November 2023, menyebut, UEA memproduksi minyak rata-rata 3,2 juta barel per hari. ADNOC, yang menjadi pemimpin global dalam industri tersebut, akan mencapai produksi 5 juta barel kapasitas berkelanjutan di 2030.
Pada saat yang sama, UEA mengklaim memprioritaskan transisi energi dengan menjadi negara Arab pertama yang menetapkan target emisi net-zero. Pada Desember 2022, ADNOC mengumumkan bahwa sektor baru ini akan berfokus pada energi terbarukan, hidrogen ramah lingkungan, penangkapan dan penyimpanan karbon, serta ekspansi internasional di bidang gas alam cair (LNG).
”Hal ini akan memainkan peran penting dalam memajukan transformasi berkelanjutan perusahaan, yang mencakup fokus pada dekarbonisasi operasinya, efisiensi energi, dan pengurangan emisi metana,” kata laporan dalam situs trade.gov, yang dikutip Jumat (1/12/2023).
Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan bahwa operasi minyak dan gas menyumbang sekitar 15 persen dari total emisi terkait energi secara global atau sekitar 5,1 miliar ton emisi gas rumah kaca.
Pakar energi dan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan, perusahaan minyak dan gas kini sudah tidak lagi menolak isu perubahan iklim seperti beberapa puluh tahun lalu.
”Dulu, musuh utama isu perubahan iklim adalah (industri) minyak. Mereka dulu mengampanyekan bahwa perubahan iklim itu tidak ada, perubahan iklim itu hoaks. Kalau kita lihat sejarahnya, itu didanai oleh perusahaan-perusahaan minyak dari Amerika, khususnya Exxon dan kawan-kawannya,” kata Fabby, saat ditemui Kompas, Kamis (30/11/2023), di Dubai.
Saat ini, perusahaan dan negara penghasil minyak bumi mulai tergerak untuk menahan pemanasan global akibat aktivitas terkait industri yang banyak melepaskan karbon CO2 ke atmosfer. Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan bahwa operasi minyak dan gas menyumbang sekitar 15 persen dari total emisi terkait energi secara global atau sekitar 5,1 miliar ton emisi gas rumah kaca.
Proyek energi terbarukan pun mulai menjadi diverisifiksi bisnis industri minyak dan gas beberapa tahun terakhir. Indonesia pun sudah melakukannya.
”Dulu kita negara penghasil minyak karena sempat 60 persen revenue kita dari ekspor minyak. Sekarang sudah enggak lagi karena cadangan minyak kita sudah turun, sama seperti batubara. Saat ini tetap berkontribusi (ke ekonomi), tetapi tidak menciptakan efek pengganda seperti zaman dulu,” kata Fabby.
Perusahaan minyak bumi dan gas nasional di Indonesia, PT Pertamina (Persero), sejak sekitar lima tahun terakhir telah membuat produk energi terbarukan. Meski belum dominan, Pertamina lewat program New Renewable Energy berharap energi terbarukan menghasilkan 10 persen keuntungan perusahaan di 2030.
Proyek energi terbarukan pun mulai menjadi diverisifiksi bisnis industri minyak dan gas beberapa tahun terakhir.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati, dalam unjuk bincang di Paviliun Indonesia, pada hari pertama COP28, mengatakan, hingga 2022, mereka sukses mengurangi 31 persen emisi dalam operasionalisasi perusahaan. Hal ini dilakukan sementara mereka mempunyai target meningkatkan produksi minyak dari 700.000 barel menjadi 1 juta barel pada 2030.
Indonesia, menurut dia, masih menjadi negara berkembang yang perlu menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat sambil terus berusaha mencari alternatif energi yang lebih ramah lingkungan. Untuk itu, Indonesia menggunakan tiga isu pendekatan.
”Isu pertama, keamanan energi. Kedua, keadilan energi, dan ketiga keberlangsungan energi,” katanya.
Menurut laporan khusus terbaru dari IEA bertajuk ”Industri Minyak dan Gas dalam Transisi Net Zero”, perusahaan minyak dan gas saat ini hanya menyumbang 1 persen dari investasi energi ramah lingkungan secara global. Sebanyak 60 persen di antaranya berasal dari empat perusahaan saja.
Sektor minyak dan gas, yang menyediakan lebih dari separuh pasokan energi global dan mempekerjakan hampir 12 juta pekerja di seluruh dunia, hanya menjadi kekuatan kecil dalam transisi menuju sistem energi ramah lingkungan, menurut laporan tersebut. Padahal, emisi industri minyak dan gas disebut harus turun sebesar 60 persen pada 2030.
Baca juga: Transisi Energi Perlu Diimbangi Tumbuhnya Industri Pendukung
Aksi yang lebih kuat untuk menahan pemanasan global pada batas 1,5 derajat celsius akan membuat permintaan minyak dan gas berkurang. Sejauh ini, 800 miliar dollar AS telah diinvestasikan di sektor minyak dan gas setiap tahun. Nilai itu dua kali lipat jumlah yang dibutuhkan untuk mencapai target pengurangan emisi di 2030.
Dalam skenario tersebut, akan ada penurunan permintaan cukup besar sehingga tidak diperlukan lagi proyek minyak dan gas konvensional yang sudah lama beroperasi. IEA juga memproyeksikan bahwa permintaan global komoditas tersebut akan mencapai puncaknya pada 2030.
”Industri minyak dan gas menghadapi momen yang meyakinkan di COP28 Dubai. Ketika dunia menderita akibat dampak krisis iklim yang memburuk, melanjutkan bisnis seperti biasa bukanlah tindakan yang bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan,” kata Direktur Eksekutif IEA Fatih Birol dalam keterangannya akhir November 2023.
Sejauh ini, COP28 sudah menghasilkan komitmen dari sejumlah besar perusahaan minyak dan gas bahwa mereka akan menuju target net zero pada 2050 dan target net zero metana pada 2030. Hal tersebut kembali dipastikan Al Jaber di hari pembukaan COP28.
Menteri Perindustrian dan Teknologi UEA itu pun seolah menunjukkan bahwa penyelenggaraan konferensi iklim di negeri mereka justru membawa harapan, industri minyak dan gas bisa berbuat baik untuk bumi.
”Saya bersyukur mereka (perusahaan minyak) telah mengambil langkah untuk bergabung dalam perjalanan yang mengubah keadaan ini. Tetapi, kita tahu mereka bisa berbuat lebih banyak lagi,” ujarnya.
Tulisan ini diproduksi sebagai bagian dari Climate Change Media Partnership 2023, sebuah beasiswa jurnalisme yang diselenggarakan oleh Earth Journalism Network Internews dan Stanley Center for Peace and Security.