PT Pupuk Kaltim Gencarkan Ekspansi dan Diversifikasi Produk
PT Pupuk Kalimantan Timur akan meresmikan pabrik amonium nitrat di Bontang dan peletakan batu pertama pabrik pupuk di Fakfak, Papua Barat.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — PT Pupuk Kalimantan Timur (Persero) memanfaatkan momentum peningkatan laba dengan menggencarkan ekspansi dan diversifikasi produk. Selain akan segera meresmikan pabrik amonium nitrat di Bontang, Kalimantan Timur, perusahaan juga telah memulai peletakan batu pertama pembangunan pabrik pupuk di Fakfak, Papua Barat.
Kompas mencatat, pada tahun 2021, PKT mencatatkan laba sebesar Rp 6,17 triliun. Kemudian pada 2022, laba PKT melonjak menjadi Rp 14,5 triliun. Kondisi ini tak lepas dari lonjakan harga komoditas dunia selain juga buah pengelolaan keuangan perusahaan.
Sekretaris Perusahaan PT Pupuk Kalimantan Timur (Pupuk Kaltim) Teguh Ismartono mengatakan, pada akhir tahun ini PKT bersama anak perusahaan PT Kaltim Amonium Nitrat akan meresmikan pembangunan pabrik amonium nitrat berkapasitas 75.000 ton per tahun di Kawasan Industri Kaltim Industrial Estate (KIE), Bontang, Kalimantan Timur.
PKT juga sedang membangun pabrik soda ash di Bontang dengan kapasitas 300.000 ton per tahun. Pabrik ini ditargetkan rampung pada tahun 2026. Soda ash merupakan komponen bahan baku yang dibutuhkan sejumlah industri untuk membuat produk, seperti kaca, keramik, tekstil, kertas, dan aki.
Pabrik di Fakfak kapasitas produksi mencapai 1,15 juta ton urea per tahun dan 825.000 ton amoniak per tahun. Dengan demikian, total produksi Pupuk Kaltim per tahun bisa mencapai 4,5 juta ton per tahun.
”Pupuk Kaltim juga siap mewujudkan hilirisasi industri dengan pabrik soda ash dan amonium nitrat serta kemandirian pangan dengan pabrik pupuk di Fakfak,” ujarnya di Jakarta, Rabu (29/11/2023).
PKT telah memulai peletakan batu pertama (groundbreaking) di kawasan industri pupuk di Kampung Andamata, Distrik Arguni, Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Produksi dari pabrik di kawasan Proyek Strategis Nasional ini nantinya ditargetkan tidak hanya memenuhi stok dalam negeri dan ekspor, tetapi juga membangun pertanian modern di Indonesia Timur.
”Nilai investasi (pabrik PKT di Fakfak), ya di atas 1 miliar dolar AS. Kalau bangun pabrik itu kan perlu mendekati sumber. Di sana kan bahan bakunya melimpah,” kata Teguh.
Teguh mengatakan, kapasitas produksi pabrik di Fakfak mencapai 1,15 juta ton urea per tahun dan 825.000 ton amoniak per tahun. Dengan demikian, total produksi Pupuk Kaltim per tahun bisa 4,5 juta ton per tahun. Hasil produksi akan disalurkan ke 13 wilayah penugasan Pupuk Kaltim, yakni lima provinsi di Sumatera dan tujuh provinsi di Kalimantan dan Nusa Tenggara.
PKT menjadi salah satu pelaku industri pupuk yang mengoptimalkan gas bumi dalam produksinya. Dalam kesempatan berbeda, Direktur Utama PKT Rahmad Pribadi mengatakan, pembangunan pabrik urea di Fakfak bagian dari upaya pemerintah agar pemanfaatan gas di Indonesia tidak melulu diekspor.
”Gas alam Indonesia juga dapat diserap industri yang membutuhkannya, termasuk petrokimia. Dengan demikian, kekayaan alam di Indonesia dapat termanfaatkan untuk beragam kebutuhan dalam negeri,” ujar Rahmad.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai pengembangan industri pupuk dengan memanfaatkan gas bumi sebagai hal positif. Daya ungkit penyerapan gas bumi yang melimpah di Indonesia bisa dioptimalkan.
Hal itu dirasa penting karena berdasarkan laporan ReforMiner, sekitar 70 persen kebutuhan petrokimia untuk domestik harus dipenuh dengan importasi. ”Apabila migas dapat diolah ke situ, akan menjadi positif, termasuk bagi (industri) hulu migas,” ujar Komaidi.
Penurunan emisi
Selain menjalankan bisnis utama, PKT juga menerapkan ekonomi sirkular sebagai bagian dari upaya perusahaan untuk menurunkan emisi karbon hingga 32 persen di tahun 2030. Perusahaan konsisten pada prinsip industri yang berbasis lingkungan, sosial, dan tata kelola berkelanjutan (ESG) dalam mengeksplorasi sumber daya gas sebagai bahan baku pupuk urea dan amonia.
Teguh mengatakan, upaya tersebut dilakukan lewat dua fase. Pada fase pertama, PKT berfokus pada inisiatif penanaman 10 juta pohon hingga tahun 2030, penggunaan sepeda dan motor listrik untuk operasional perusahaan, dan penggunaan PLTS Atap di area operasional perusahaan.
Selanjutnya, pada fase kedua, PKT berfokus pada upaya untuk mendapatkan atau memperoleh sumber daya dengan tingkat emisi karbon yang rendah (low carbon sourcing), salah satunya dengan mengeksplorasi sumber energi terbarukan seperti clean ammonia.
Teguh mengatakan, atas berbagai upaya penerapan ekonomi sirkular, PKT meraih peringkat pertama dunia sektor agrokimia di penilaian ESG Risk Rating Sustainalytics dengan skor ESG terkini sebesar 21,3.
PKT menerapkan ekonomi sirkular sebagai bagian dari upaya perusahaan untuk menurunkan emisi karbon hingga 32 persen di tahun 2030.
ESG Risk Rating mengukur angka capaian PKT melalui dua faktor penilaian, yakni dari exposure dan management. Exposure didefinisikan sebagai kerentanan perusahaan terhadap risiko ESG. Adapun management merujuk pada aksi yang diambil perusahaan untuk mengatasi masalah ESG.
”Tentunya ini akan terus memotivasi kami untuk terus konsisten menggagas inovasi dan implementasi ESG demi keberlanjutan bisnis serta tanggung jawab kita pada generasi yang mendatang,” kata Teguh.