Pengembangan Kecerdasan Buatan Terhalang Dana dan Data
Kecerdasan buatan menjadi salah satu bagian dari perkembangan teknologi yang tak terbantahkan. Inovasi berpengaruh sekaligus berkembang seiring dengan perubahan perilaku masyarakat.
Oleh
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya industri asuransi jiwa mengembangkan kecerdasan buatan (artificialintelligence/AI) tertahan biaya dan kapasitas data. Pengembangan ini mempertimbangkan perubahan perilaku masyarakat akibat perkembangan teknologi yang tampak pada penurunan produk bancassurance, produk asuransi hasil kerja sama antara perbankan dan perusahaan asuransi untuk memenuhi kebutuhan finansial nasabah bank.
Ketua Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Budi Tampubolon mengatakan, pihaknya tengah berupaya untuk meningkatkan kesadaran asuransi kepada generasi muda melalui platform digital. Sebab, generasi muda saat ini cenderung lebih menggandrungi teknologi berbasis digital.
”Kecerdasan buatan memiliki peluang yang sangat besar. Namun, belum banyak perusahaan asuransi jiwa yang menerapkan itu karena tentunya butuh biaya yang besar. Apalagi, saat ini terdapat wacana dari regulator untuk meningkatkan kapasitas modal minim perusahaan asuransi,” katanya saat ditemui di Rumah AAJI di Jakarta, Rabu (29/11/2023).
Selain itu, pengembangan kecerdasan buatan dalam produk-produk asuransi membutuhkan ketersediaan sumber daya yang mendukung, serta basis data yang kuat (bigdata). Saat ini, pendataan dalam industri asuransi jiwa belum terintegrasi dan masih terbatas.
Menurut Budi, basis data menjadi aspek penting dalam pengembangan kecerdasan buatan. Terkait dengan hal itu, perusahaan asuransi jiwa multinasional berpotensi untuk dapat menjadi pelopor bagi industri asuransi domestik mengingat akses data yang dimiliki berskala global.
Di sisi lain, pola perilaku masyarakat dinilai mulai bergeser dari sebelumnya cenderung beraktivitas secara langsung (offline) ke daring (online). Hal ini tampak dari tren penurunan kanal distribusi bancassurance.
Selama tiga tahun terakhir, produk bancassurance terus menurun. Pada kuartal III-2023, bancassurance tercatat menurun 14,6 persen secara tahunan menjadi Rp 56,08 triliun. Sementara itu, produk bancassurance pada kuartal III-2022 juga menurun 6,6 persen menjadi Rp 65,70 triliun dibandingkan dengan kuartal III-2021.
Ketua Bidang Operational of Excellent, IT, and Digital (Customer Centricity) AAJI Edy Tuhirman menjelaskan, telah terjadi perubahan perilaku konsumen (shiftingbehaviour) sehingga berpengaruh pada produk bancassurance di kantor cabang. Hal ini terjadi lantaran masyarakat yang datang ke kantor cabang perbankan semakin menurun seiring dengan pesatnya layanan digitalisasi perbankan.
”Ini merupakan fenomena yang menarik, produk bancassurance terus menurun secara tahunan. Kenapa? Seperti kita lihat, hanya sekian persen dari masyarakat yang datang ke bank untuk bertransaksi. Tren layanan perbankan sekarang kini sudah berkembang dengan adanya mobile banking dan juga termasuk layanan QRIS,” tuturnya dalam paparan kepada media.
Kami optimistis tahun depan akan lebih baik lagi. (Budi Tampubolon)
Penurunan tersebut juga diiringi dengan turunnya kanal distribusi keagenan sebesar 3,4 persen secara tahunan. Hal ini menunjukkan masih ada kebutuhan dari masyarakat untuk bertemu dengan orang lain secara langsung tatap muka.
Menurut Edy, tren penurunan produk bancassurance seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi akan berlanjut. Oleh sebab itu, industri asuransi perlu menyesuaikan dengan situasi yang ada saat ini dengan berbagai terobosan mengingat tingkat kesadaran masyarakat untuk memiliki produk asuransi masih menyisakan persoalan tersendiri.
Di tengah terbukanya peluang sekaligus tantangan yang dihadapi, industri asuransi jiwa melihat adanya peluang pemulihan (rebound). Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator yang tecermin dalam kinerja industri asuransi jiwa pada kuartal III-2023.
Sampai September 2023, total tertanggung industri asuransi jiwa tercatat meningkat sebesar 16,5 persen menjadi 94,18 juta orang. Namun, total pendapatan industri asuransi jiwa tercatat turun tipis 0,6 persen secara tahunan menjadi Rp 162,87 triliun.
Budi menjelaskan, kinerja kuartal III-2023 menjadi indikator awal rebound industri asuransi jiwa. Dari jumlah tertanggung dan pendapatan premi dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, kinerja industri asuransi jiwa mulai mendekati arah pemulihan (catching up).
”Jadi, penurunan di kuartal III-2023 ini lebih sedikit atau lebih baik dibandingkan penurunan pada dua kuartal sebelumnya dan kuartal III-2023. Posisi tersebut seperti kurva menurun, tetapi mulai melandai sehingga kami optimistis tahun depan akan lebih baik lagi,” tuturnya.
Dilihat dari jenis premi pendapatannya, pendapatan premi produk asuransi jiwa tradisional pada triwulan III-2023 meningkat 12,5 persen secara tahunan mencapai Rp 67,67 triliun. Di sisi lain, pendapatan premi produk asuransi jiwa unit link masih tercatat menurun 22,4 persen secara tahunan menjadi Rp 64,37 triliun
Budi menambahkan, ke depannya, produk tradisional akan mengambil porsi lebih banyak dibandingkan produk unit link. Hal ini sejalan dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 5/SEOJK.05/2022 tentang Produk Asuransi yang Dikaitkan dengan Investasi (Paydi).
”Sebetulnya kebutuhan pasar akan unit link masih besar. Nantinya saat anggota kami semakin banyak yang sudah terbiasa dengan kebijakan tersebut, kemungkinan produk unit link akan kembali mengambil porsi yang lebih dominan, kira-kira masih butuh waktu 3-6 bulan ke depan,” kata Budi.
Ketua Bidang Pengembangan dan Pelatihan Sumber Daya Manusia AAJI Handojo G Kusuma menambahkan, secara keseluruhan, total aset investasi sedikit menurun sebesar 0,9 persen secara tahunan. Penurunan ini sejalan dengan penurunan pendapatan premi dan penurunan aset investasi pada Paydi sekitar 10 persen seiring dengan pendapatan premi Paydi yang juga menurun.
Sementara itu, aset investasi non-Paydi justru meningkat sebesar sebesar 7 persen. Dengan demikian, total hasil investasi per September 2023 meningkat 72,5 persen secara tahunan menjadi Rp 23,42 triliun dan telah berkontribusi terhadap total pendapatan sebesar 14,4 persen.